Second Chance

Amellia San
Chapter #3

The Broken Heart

Pemilik tubuh mungil itu masih saja membiarkan derasnya hujan membasahi seragam putih abu-abunya. Membiarkan dinginnya hujan memeluk gadis yang hatinya sedang hancur berkeping-keping. Tiada yang lebih sakit lagi daripada yang ia rasakan saat itu. Sepasang oase kasih sayang telah memilih pergi meninggalkannya sendiri.

"Kamu bodoh atau gimana? Sudah tahu hujan kok masih aja di tengah lapangan begini! Ayo pergi dari sini!" seru seorang laki-laki yang juga memakai seragam putih abu-abu sambil menarik lengan gadis mungil yang sudah mulai kedinginan.

"Kamu juga bodoh ikut hujan-hujanan. Lepaskan tanganmu!" protes si perempuan itu sambil mencoba melepaskan lengan dari cekalan siswa laki-laki di hadapannya.

"Apa sih yang membuatmu menjadi bodoh seperti ini?! Mau cari perhatian gebetan? Nggak usah sok drama kayak gini! Nanti kalo sakit, mama papamu yang susah, bukan gebetan kamu!" sentak laki-laki itu yang masih bertahan membujuk perempuan yang baginya melakukan hal yang konyol.

"Stop! Hentikan menyebut mama papa di hadapanku! Mereka tidak menyayangiku. Nggak ada lagi yang menyayangiku!" teriak perempuan itu dengan suara terisak-isak sambil terus mencoba menarik tangannya dari kuasa lelaki yang menatap tajam padanya. Tak lama setelah itu, isak tangis lolos dari bibirnya.

Lelaki berseragam putih abu-abu itu pun tampak sedikit tersentuh saat mendengar isak pilu perempuan itu. Demi menghentikan isak tangis gadis mungil ini, ia mencoba menghibur teman satu sekolahnya itu.

"Oke, kita berteman. So, you don’t need to be alone anymore. Oke?" tawar pemuda enam belas tahun itu di bawah rinai hujan.

"Gibran. Kamu?"

"Renata."

"We’re friends now. I will take care of you, anytime you want. Come on." Gibran menggandeng tangan Renata menuju lorong sekolah. Tampak beberapa teman-teman perempuan Renata mengelilinginya sambil memakaikan jaket.

"Kita sudah panggil-panggil kamu, Re. Kenapa sih sampe hujan-hujanan? Nanti kamu sakit. Padahal besok kamu kan ulang tahun," kata Alya, salah satu teman Renata.

Sembilan tahun yang lalu, bagi Renata apa yang diikrarkan Gibran adalah segalanya, hingga detik ini.

Jari jemari halus itu menyentuh kaca jendela lantai dua puluh. Di luar sana turun hujan, otak Renata tak bisa lagi dibendung untuk terus mengingat bagaimana mereka berdua bertemu. Hatinya kelabu lagi. Namun, ia mencoba menghibur diri. Bukankah Gibran telah menjaganya selama sembilan tahun ... sebagai teman baiknya. Persis yang ia katakan di bawah derasnya hujan dengan sorot mata kecoklatan yang perlahan membuat dinginnya hujan seakan menjadi hangat.

"Re," panggil Haris sambil mendekati Renata yang sedang melamun di dekat jendela. Sejenak ia ikut bertanya-tanya tentang perubahan Renata akhir-akhir ini yang tampak muram, lebih banyak diam dan semakin kurus. Biasanya Renata selalu ceria dan bawel.

"I-ya," jawab Renata dengan sedikit gelagapan dan menyeka titik-titik air mata di pipinya secepat mungkin.

"Tadi ada kurir antar pesanan makan siangmu. Ini." Haris menyerahkan paket makanan pada Renata.

"Terima kasih, Mas."

"Makan bareng di sini sambil lihat hujan. Mau?" tawar Haris. Setelah Renata mengiyakan, segera lelaki kalem itu mengambil bekalnya.

Tiba-tiba, ada seorang rekan kerja perempuan mendatangi mereka. "Ikutan gabung dong. Nggak ganggu kan?" tanya Anita sambil membawa kotak bekal makan merk favorit ibu-ibu.

"Iya silakan," kata Haris dengan ramah.

"Re, kamu tau nggak ada anak baru lho di sini. Itu lho yg gantiin Mbak Vera, yang resign karena ikut suaminya ke luar negeri," cerocos Anita.

"Oh, Mbak Vera, sekretarisnya Pak Anwar itu, ya," timpal Renata memastikan.

Anita mengangguk sambil memasukkan satu sendok penuh makanan ke mulut. Lalu bersiap menceritakan sesuatu yang lebih heboh lagi.

"Gila, anak baru itu cantik banget. Tinggi semampai. Body goals lah. Gimana enggak, itu genk kunyuknya Zacky bolak-balik ke ruangannya Pak Anwar buat caper sama anak baru," kata Anita berapi-api.

Tiba-tiba ponsel Anita berdering.

"Eh sudah dulu ya, aku balik ke meja. Panjang umur nih Pak Anwar, tiba-tiba minta kirim report. Urgent nih." Anita pun membawa kembali kotak bekal warna hijaunya.

Salad sayur di hadapan Renata masih saja utuh, hanya teraduk-aduk saja tanpa secuil pun pindah ke perutnya.

"Kok nggak dimakan, Re? Kamu salah pesan makanan?" Haris tak habis pikir, bagaimana bisa campuran sayuran itu bisa menggugah selera makan.

"Oh, enggak kok. Ini makanan kesukaanku," jawab Renata sambil mencoba menyuapkan satu sendok salad sayur, tapi tetap saja hanya berhasil sampai depan mulutnya lalu diletakkan lagi.

"Lalu, kok nggak dimakan?"

"Takut muntah," kata Renata keceplosan. "Aduh jorok, ya? Maaf," sambungnya. Sudah berhari-hari dia hanya makan beberapa sendok saja, sisanya berakhir di wastafel. Begitu menyiksa, betapa kesakitan ditinggalkan Gibran tak ada obatnya, sekaya apapun dirinya.

Berhari-hari Renata mencoba mengirimkan pesan pada sahabatnya, tetapi tidak ada satupun yang dibalas. Hingga terpaksa ia mengirimkan satu pesan 911, yang biasanya berhasil membuat Gibran langsung menemuinya. Sesibuk apapun dia.

Lihat selengkapnya