Rago. Itu nama panggilanku setelah terdaftar menjadi anggota Mahacita UPI pada Januari 2011 dan mengikuti pendidikan maupun latihan dasar XXXI. Nama rimba, kami menyebutnya, adalah nama pang-gilan yang diberikan senior atau instruktur Mahacita saat pendidikan dan latihan dasar berlangsung. Nama yang diberikan secara spontan dan menarik, biasanya dari perilaku yang dilakukan saat di lapangan.
Rahmat Hidayatullah adalah nama asliku yang tercatat di akta kelahiran. Pemberian dari dua orang terhebat dalam hidupku: Ayah dan Ibu.
Semenjak itu, aku menganggap diriku seorang pencinta alam dengan segala kesadaran yang kupu-nya. Kehidupanku berbeda setelah menjadi seorang pencinta alam, dari perilaku menjaga alam sampai menghargai sebutir nasi yang tertinggal di piringku saat makan. Ah, pendidikan dasar memang sangat indah untuk diceritakan, tetapi aku tidak akan pernah mau mengulanginya.
Mendaki gunung, memanjat tebing, mengarungi jeram, dan masuk ke dalam gua adalah kegiatan yang kujalani semenjak itu. Tidak lupa, ilmu berorganisasi yang sampai saat ini terus kudapatkan dari Mahacita UPI. Belum lagi kehidupan sosial yang begitu erat satu sama lain, membuatku tidak ingin beranjak dari tempat ini. Aku punya keluarga.
Belajar dari para senior tentang ilmu kepencinta-alaman, membuatku lebih peka dalam menghargai dan menjaga alam ciptaan Tuhan, bukan sebaliknya. Hal itu membuatku senang, sehingga sering melakukan perjalanan-perjalanan yang tidak dilakukan orang kebanyakan orang. Ke gunung, gua, tebing, sungai, dan banyak lagi.
Banyak pengalaman yang kudapatkan di sini. Senang, susah, sedih, tawa, saling menjaga, dan sa-ling percaya menjadi bagian tidak terpisah yang di-bungkus dalam kegiatan-kegiatan kami. Mengalami kecelakaan saat berkegiatan di alam (tebing) mem-buatku memiliki keterbatasan dalam menggunakan tangan kananku.
Kecelakaan yang tidak pernah kubayangkan se-belumnya. Kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku. Jatuh dari ketinggian lima belas meter dari atas tebing karst di daerah Padalarang, tempat latihan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Indonesia ber-latih, membuat diriku tidak sadarkan diri dan ter-baring selama tiga hari di rumah sakit.
Dengan keadaan muka lebam akibat benturan dengan tebing, kepala gundul, dua selang keluar dialiri darah merah dari dalam kepalaku, ditampung dalam sebuah botol dan dibalut oleh perban mengelilingi kepala, ditambah lagi tangan kananku ditopang kain merah untuk dijaga agar tidak bergerak ..., aku hanya sanggup terbaring dan tidak sadarkan diri.
Hal yang tidak bisa kuterima saat itu, ketika dipaksa hidup hanya menggunakan tangan kiri yang bukan tangan dominan. Tangan kananku tidak bisa kugerakkan. Aku merasa kehidupanku sudah habis.
Jumat, 3 Juli 2011, kami menyiapkan alat dan kebutuhan setelah melakukan perencanaan pada hari sebelumnya. Kami akan melanjutkan proses kaderisasi untuk menjadi anggota penuh Mahacita UPI. Ada tiga tahap yang harus dilewati untuk menjadi anggota penuh, yaitu: pendidikan dan latihan dasar, pendidikan lanjutan, dan season (atau kebanyakan pencinta alam lain menyebutnya pengembaraan— pengambilan nomor. Hari itu aku berada di tahap pendidikan lanjutan. Pendidikan lanjutan adalah tahap pendalaman ilmu kepencintaalaman mengenai spesialisasi keilmuan yang diminati setiap anggota. Sejauh ini, baru ada empat divisi yang tersedia di Mahacita, yaitu: arung jeram (rafting), susur gua (caving), panjat tebing (rock climbing), dan hutan gunung (mountaineering).
Aku memilih divisi panjat tebing sebagai spe-sialisasi keilmuan, karena aku senang berada di ketinggian. Padahal, aku takut ketinggian sebelumnya. Aku percaya, rasa takut tidak akan bisa hilang kalau tidak dikalahkan. Rasa takut itu kadarnya tidak berubah, tidak naik maupun turun. Keberanianlah yang dapat ditingkatkan berkali-kali dan mampu mengalahkan rasa takut.
Setelah semua kebutuhan dilengkapi, akhirnya kami berangkat menuju Padalarang, Tebing Citatah 48. Tebing Citatah 48 adalah tebing yang dikelola oleh Kopassus sebagai daerah latihan panjat tebing mereka. Di puncaknya tertancap pisau komando se-bagai tanda. Kurang lebih dua jam perjalanan dari kampus menuju tempat ini.
Bakda magrib, aku dan tim tiba di tebing. Kami langsung menghubungi Pak Asep (pengelola) untuk melakukan perizinan. Rumahnya tidak begitu jauh dari muka tebing, hanya berjarak sepuluh menit.
“Assalamu ‘alaikum. Punten ...,” sambil mengetuk pintu rumahnya aku berucap. Tidak lama kemudian ada balasan dari dalam rumah.
“Wa ‘alaikum salam.” Pintu rumah terbuka.
“Punten lama. Ada perlu apa, ya?” tanya Pak Asep, sambil mengulurkan tangan.
“Saya Rago, Pak, dari Mahacita UPI. Kami di sini ingin memberitahukan bahwa besok pagi kami akan melakukan pemanjatan di tebing,” jawabku seraya bersalaman dengan Pak Asep, begitu juga temanku.
“Oh ..., yang waktu itu telepon ke saya, ya? Yang mau manjat? Sini masuk dulu biar enak ngobrolnya,” ajaknya.
Sebelumnya, kami sudah memberikan informasi dan menentukan hari pemanjatan, agar tidak berben-trokan dengan kegiatan pemanjatan lain. Dan Pak Asep mengizinkan kami saat itu.
“Siap, Pak!” Kami masuk mengikutinya dan du-duk di ruang tamu.
“Berapa orang yang manjat? Terus, mau nge-camp di mana?” tanyanya.
“Kami tujuh orang, Pak. Kebetulan yang lain sedang mendirikan camp di samping pondok, Pak. Di situ enggak apa-apa, Pak?”
“Oh ..., di sana enggak apaapa. Enggak jauh jugadari tempat ngambil airnya nanti,” jawab Pak Asep. “Iya, Pak, makasih. Oh, iya ..., mungkin besok kami mulai pemanjatannya dari jam delapan pagi, Pak. Saya izin untuk kembali ke tempat camp. Mau bantu yang lain juga.” Aku berdiri dan mengulurkan tangan.
“Iya, mangga. Kalau ada apa-apa, ke sini saja,” jawabnya sambil menyalamiku.
“Siap, Pak. Assalamu ‘alaikum.”
“Wa ‘alaikum salam.”
Kami meninggalkannya dan kembali ke tempat camp. Niatnya ingin turut membantu teman-teman mendirikan camp, tetapi ketika kami datang semuanya sudah selesai.
“Meni lila izin hungkul gé. Sok bantuan tah siapkeun alat jang isukan. Gelar dina matras sakalian diajar simpul lanjutan,[1]” sahut Pak Jango, menyambutku.
“Siap, Pak,” jawabku.
Pak Jango adalah seniorku di Mahacita. Nama rimba yang melekat dan digunakan setelah nama aslinya adalah Iqbal Harja. Beliau kelahiran Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, dan saat ini berdomisili di Banjaran, Kabupaten Bandung Barat. Pak Jango berumur 27 tahun, senior kami dari Jurusan Teknik Mesin Universitas Pendidikan Indonesia. Perawak-annya tinggi, besar, dengan kacamata yang selalu terpasang di matanya. Beliau adalah pembimbingku, mengajariku tentang bagaimana dunia pemanjatan di pendidikan lanjutan ini.
Setelah semua siap, kami memulai materi yang akan disampaikan. Aku senang karena akan men-dapatkan ilmu baru. Kami semua duduk di atas matras ditemani kopi hangat, makanan ringan, dan rokok di bawah langit bertabur bintang. Suasana nyaman dan santai biasa kami ciptakan ketika berkegiatan di alam.
Peralatan panjat sudah tersusun rapi di atas matras. Kami me-review kembali alat dan kegunaannya ditemani oleh Pak Jango. Ada tali kernmantle, harnest, sepatu panjat, cara biner screw, carabiner snap, helm, webbing, prusik, chalk bag, descender (figure of eight), palu, dan pengaman sisip, seperti: piton, chock friend, chock hexentris. Kami bergantian menjelaskan nama alat dan kegunaannya sebagai bukti bahwa kami tahu. Di sela-sela penjelasan, Pak Jango bertanya.
“Go, naon wae simpul nu nggeus manéh apal?[2]” tanyanya sebelum meneguk kopi hangat.
“Simpul delapan, simpul mati, simpul pita, simpul jangkar, simpul pangkal, simpul setengah delapan .., éta hungkul sigana, Pak.[3]”
“Oke, bagus! Éta mah diajarkeun di Diksar[4]. Tahu cara ngebuatnya, kan?” tanyanya kembali.
“Tahu, Pak.”
“Sok, coba buat. Urang hayang apal5].” Pak Jango memberikan prusik sebagai medianya.
“Ini simpul delapan ..., ini simpul pita ..., ini simpul jangkar ..., ini simpul pangkal ..., ini simpul setengah delapan ....” Secara bergantian aku membuat simpul satu per satu. Dan beliau mengoreksi saat aku terbalik antara simpul jangkar dan pangkal.
“Nah, aya deui simpul nu biasa dipake pas manjat, siga[6] simpul nelayan, simpul kambing atau matador, simpul kupu-kupu, simpul prusik, simpul italian hitch, sama simpul knot. Cing coba kernmantle-nya kadieukeun urang contohan[7].”
“Kéla, Pa[8], pelan-pelan,” pintaku seraya mencoba mengikuti apa yang beliau buat.
Kami asyik bermain dan mempelajari jenis sim-pul. Tidak terasa satu jam telah berlalu. Tiba-tiba, ada panggilan masuk ke handphone-ku. Dari ibu.
“Halo ..., assalamu ‘alaikum,” sapa Ibu.
“Wa ‘alaikum salam, Mah,” balasku. Kutinggalkan tempat duduk.
“Kamu lagi di mana? Kenapa enggak pulang?” “Lagi di tebing, Mah. Hehehe .... Enggak pulang hari ini, masih ada materi pemanjatan sampai nanti Minggu.”
“Hah? Di tebing? Kenapa baru bilang? Kan, besok Ncing Dede mau nikahan. Enggak akan datang?” Orang tuaku adalah orang Betawi (Tangerang) dan ncing adalah sebutan adik dari orangtuaku dalam bahasa Betawi. Mungkin kalian mengenalnya dengan sebut-an paman dan bibi.
“Iya, Mah, maaf baru bilang. Entar kalau bilang sebelumnya, kan, enggak akan diizinin sama Mamah. Hehehe .... Yang pasti, enggak bisa pulang sampai Minggu. Lagian nanti Seninnya juga kuliah.” Sudah menjadi kebiasaan saat pergi ke mana pun, aku baru memberi tahu orang-orang setelah tiba di lokasi. Kalian jangan mengikutinya, ya. Karena itu tidak baik.
“Kebiasaan, kan, bikin orangtua khawatir! Terus, di sana sama siapa saja?”
“Sama temen seangkatan dan senior juga, kok, di sini. Tenang saja, hehehe ....”
“Hmmm ..., ya udah. Hatihati, jangan lupa makan, shalat jangan ditinggal, kabarin kalau udah selesai. Assalamu ‘alaikum.”
“Siap, Bos. Wa ‘alaikum salam.”
***
Kali pertama masuk kuliah dan mendaftar keanggotaan pencinta alam, aku tidak memberitahukan orangtua sampai-sampai memalsukan tanda tangan di formulir lewat ibu kos. Kakakku juga melarang mengikuti kegiatan pencinta alam, padahal dia sendiri seorang pencinta alam. Dia salah satu seniorku di Mahacita.
“Jangan masuk pencinta alam. Tapi kalau mau ikutan, masuk yang universitas, jangan yang jurus-an atau fakultas.” Begitu kurang lebih pesannya kepadaku. Karena menurutnya, kegiatan pencinta alam tingkat jurusan atau fakultas itu berbeda dengan yang ada di universitas.
Lebih banyak keuntungan ketika berada di tingkat universitas, seperti: mempunyai badan hu-kum yang legal dan terdaftar, mengurangi biaya yang dikeluarkan olehku karena bisa mengajukan permohonan dana ke rektorat, lebih banyak mengenal teman-teman dari berbagai jurusan dan fakultas lain, dan bisa mengikuti acara atau kegiatan nasional sebagai perwakilan dari universitas. Ternyata, semua itu benar. Aku mengetahuinya setelah menjadi anggota.
Pada akhirnya keluargaku tahu aku mendaftar dalam kegiatan pencinta alam saat tes wawancara. Saat itu seniorku menelepon kakakku dan menanyakan apakah adiknya kuliah di UPI dan mendaftar sebagai pecinta alam Mahacita? Mungkin ada kesamaan garis wajah antara aku dan kakakku yang membuatnya penasaran seperti itu. Setelahnya kakakku menelepon untuk menanyakan kebenarannya.
Saat sedang wawancara, kebetulan diwawancarai oleh Pak Jango, tiba-tiba handphone-ku berbunyi. Kring ..., kring ..., dan Pak Jango menyuruhku mengangkatnya. Kakakkulah yang menelepon.
“Halo, assalamu ‘alaikum, A. Ada apa?” tanyaku. “Lo masuk MC? Yakin lo mau masuk sana?” balas-nya. MC adalah kependekan dari MAHACITA. “Iyah, A. Hehehe .... Ini lagi wawancara.”
“Itu sama siapa wawancaranya?”
“Pak Jango, A. Kenapa emang?”.
“Ya udah, kasih handphone-nya ke dia! Gue mau ngobrol.”
“Ini, Pak. Katanya, kakak saya mau ngobrol.” Kuberikan handphone-ku kepada Pak Jango.
Mereka berbicara tanpa kutahu membicarakan apa. Yang kudengar hanyalah Pak Jango mengatakan, “Oh, pak Jabeng? Kumaha, kumaha, Pak...?[9] Siap ....
Siap, pak. Ngké dikondisikeun.[10]” Kemudian, Pak Jango menyerahkan handphone itu kembali kepadaku.
“Halo, A?” tanyaku di telepon.
“Ya udah, kalau emang serius mau masuk MC, yang bener! Terus, dengerin semua kata senior yang ada. Ikut in semua instruksi tanpa bantahan. Jaga diri baikbaik pas nanti Diksar.” Itulah pesan yang diberikan kakak-ku sebelum menutup teleponnya.
“Iya siap, A,” jawabku yang kemudian telepon ditutup olehnya.
Entah apa yang jadi pembicaraan mereka di telepon seluler saat itu aku hanya bisa memperhatikan ekspresi Pak Jango, serius dan kadang tertawa bertanya. Hal yang membuatku bingung dan kemudian bertanya, “Apa, Pak, kata kakak saya?”
“Oh, manéh téh adina Pak Jabeng? Naha teu bébéja ti tatadi?[11]”
“Iya, Pak. Saya adiknya. Emang tadi ngobrol apa saja, Pak?”
“Ah, teu ngobrol nanaon da. Ngan nitah neunggeulan manéh! Hahaha .... Cenah manéh mah baong.” Kira-kira seperti ini bahasa Indonesianya, “Ah, enggak ngobrol apa-apa. Cuma nyuruh buat mukulin kamu. Katanya kamu bandel.”
“Waduh,” jawabku singkat.
Kemudian, kami melanjutkan wawancara hari itu sampai selesai. Sebenarnya, aku masih bertanya-tanya isi obrolan itu. Mungkin itu obrolan tentang organisasi yang tidak boleh kuketahui karena saat itu aku hanyalah calon anggota.
Namun satu hal yang aku ingat saat itu, orang yang sayang kepadaku adalah orang yang khawatir dan memberikan saran, tetapi tidak melarang apa pun yang aku lakukan.
***
Aku kembali lagi ke tempat duduk setelah menerima telepon dari Ibu.
“Nah, siga kitu. Ngarti, kan, manéh?” jelas Pak Jango kepada temanku.
“Kumaha, kumaha? Ulang deui, urang acan ngarti![12]” sahutku, memotong perbincangan mereka.
“Tah ayeuna manéh ajarkeun ka Si Rago kumaha carana. Urang rék ngagolér heula,[13]” sahut Pak Jango sambil memosisikan diri berbaring.
“Ah, saré geura geus kitu mah, da ...,[14]” sindirku.
“Moal .... Ngan ngalempengkeun awak hungkul,.
Didéngéan ku urang, sok,[15]” balasnya.
“Hudang atuh. Urang bari ngemih ngobrolna, Pak![16]” “Sok, siapkeun heula bahanbahanna.[17]” Pak Jango duduk dan kembali menyeruput kopinya.
“Siap!”
Materi tentang simpul berlanjut. Belajar ditemani semangkuk mi instan yang kemudian diputar secara bergantian, di bawah sinar bulan lengkap dengan dinginnya udara malam menusuk lapisan flannel yang kupakai, tetapi bisa dikalahkan oleh kehangatan yang tercipta dari kebersamaan. Kukira aku bahagia saat ini. Dan aku tahu, kamu juga merasakannya.
Sabtu, 4 Juli 2011, pagi terasa dingin karena semalam hanya tidur dalam sleeping bag beralaskan matras.
Begitu bangun, kami langsung membereskan alat-alat tidur pribadi dan bergantian menggosok gigi di toilet di samping posko.
Tanpa disadari, dua seniorku sudah hadir dalam kelompok ini, Pak Revi dan Pak Kuro. Mungkin mereka tiba saat subuh dan kami masih tertidur. Mereka ikut membantu menyiapkan alat-alat memanjat ditemani dua teman seangkatanku di divisi ini. Ada pula anggota dari tim caving yang ikut dalam kegiatan hari ini.
Sekitar pukul 07.00 kami menyantap sarapan, setengah jam berikutnya melakukan apel pagi se-bagai tanda memulai kegiatan. Sebuah tradisi yang memang sudah menjadi pengantar kegiatan kami. Dan satu hal yang kuingat, hari ini tidak ada yang berbeda seperti hari-hari sebelumnya. Cerah.
Peralatan memanjat terjejer rapi di atas matras, pertanda siap digunakan. Aku berperan sebagai leader pemanjatan pertama, sesuai dengan keputusan se-malam tentang bagian-bagian penugasan dalam pe-manjatan hari ini di tebing karst setinggi 48 meter.
“Sok, pasang harnest kalian masing-masing. Cyntia juga udah mulai ormed tuh sama Margo,” ucap Pak Jango sambil melihat ke arah tim caving yang sudah memasang anchor untuk SRT (Single Rope Technique). Ormed adalah akronim dari orientasi medan yang artinya mengamati medan sebagai perhitungan, perkiraan kebutuhan jumlah, titik pemasangan peng-aman, dan jenis alat yang cocok untuk cacat batu (crack).
Beberapa menit kemudian ....
“Sudah, Pak,” jawab kami, bersiap menerima instruksi selanjutnya.
“Go, langsung ormed saja, coba berapa alat, titik, terus crack yang bakalan manéh pasang pengaman sisip ..., sampe pitch satu,” jelas Pak Jango kepadaku sambil melakukan ormednya sendiri, yang bisa kulihat dari gerak bibirnya yang menghitung.
Aku berdiskusi dengan Wida dan Lovi tentang pengaman apa saja yang akan digunakan untuk sampai ke pitch satu, yang kira-kira tingginya dua puluh meter. Pitch adalah sebuah ornamen dari tebing yang menjorok ke dalam, digunakan para pemanjat sebagai check point pemanjatan dan biasanya sebagai tempat istirahat karena mempunyai ruang yang cukup untuk duduk.
“Lubang tembus, lubang tembus, piton, chock friend, lubang tembus, lubang tembus, chock friend, lubang tembus, piton, lubang tembus .... Udah, kayaknya itu, Pak. Nanti dipasang setiap jarak dua meter,” jawabku sambil meraba-raba alat yang akan kugunakan.
Leader dalam pemanjatan adalah pemanjat per-tama, orang yang nantinya akan memasang anchor (tambatan utama) yang digunakan untuk pengaman utama pemanjatan dan mempermudah jalan peman-jatan bagi pemanjat selanjutnya.
Kami kemudian menghitung dan menyiapkan alat-alat yang akan dibawa olehku saat pemanjatan.
Kubawa semua peralatan yang dibutuhkan dan kutempel di badanku. Bisa kamu bayangkan diriku terlihat seperti manusia magnet yang dipenuhi ba-nyak besi-besi pengaman, disatukan melalui sling prusik dan sling webbing.
“Ada yang kurang enggak?” tanya Pak Jango. “Sudah, Pak. Selendang alat, webbing tiga, carabiner screw dua, sling prusik sepuluh dengan carabiner snap, keluarga chock friend, keluarga piton, hammer, sky hook, chalk bag, sepatu, cowstail .... Sudah, kan, Pak?”
“Itu helmnya enggak dipake?”
“Oh, iya ..., astagfirullah lupa, Pak! Hehehe ....”
“Oke, lebih teliti lagi! Nanti ambil satu seri ya, di evaluasi.”
“Siap, Pak!”
Aku mulai memasang ujung tali kernmantle ke harnest dihubungkan dengan bilayer yang akan mengamankanku saat memanjat nanti. Tim caving sudah mulai melakukan SRT dibor 10 yang anchor-nya sudah dipasangkan oleh Pak Revi sedari tadi.
“Komunikasi, Pak! Belay on,” ucapku. Tanda me-minta bersiap kepada belayer.
“On belay, are you ready to climb?” tanya belayer. “Yes, I’m ready.” Kedua tanganku mulai mencari crack untuk menambah ketinggianku.
“Pengaman satu, lubang tembus pasang sling prusik!” teriakku di pengaman pertama yang kupasang. Kucantolkan kernmantle harnest pada carabiner snap yang sudah terpasang di tebing.
Tanganku meraba-raba ke atas untuk mencari crack yang bisa kupegang dan kujadikan tempat me-masang pengaman selanjutnya.