Aku Irfan Ramdhani, pemuda kelahiran 26 April 1990. Waktu itu malam Jumat, ibu melahirkanku secara normal karena belum banyak metode me-lahirkan dengan operasi caesar pada dekade 90-an.
Masa kecilku layaknya anak laki-laki generasi 90-an pada umumnya, kami belum mengenal gadget. Aku dan teman-teman biasa bermain di alam terbuka sepulang sekolah. Aku memiliki banyak sahabat saat itu. Ada Stephan, Osman, Oji, Gunawan, dan ... ma sih banyak lagi. Aku tidak bisa menyebutkan satu per satu saking banyaknya. Masa-masa itu penuh kenangan indah dan kami belum mengenal masalah. Kerjaan kami hanyalah bermain dan bermain. Aku sering bermain sepak bola di lapangan besar bersama teman-teman yang bertetanggaan di sekitar kompleks rumah di Depok Timur. Aku sempat tinggal di sana, sebelum pindah ke daerah Cibinong.
Setiap tahun, aku dan teman-teman mengikuti kejuaraan sepak bola antar-RT dan kami selalu men-jadi juara. Kami berlatih hampir setiap hari. Pada akhir minggu kami akan bermain sepak bola di lapangan pangan besar. Kami melakukan latihan fisik agar menjadi prima.
Selain sepak bola, setiap harinya kami melakukan permainan tradisional, misalnya petak umpet, petak jongkok, benteng, galasin, dan masih banyak lagi. Semuanya sangat menyenangkan. Pada era sekarang, permainan-permainan seperti itu sudah sangat langka dimainkan anak-anak kecil. Kebanyakan dari mereka memilih game dalam gadget bertenaga baterai.
***
Sedari kecil, aku aktif dalam bidang olahraga. Entah mengapa aku sangat suka dengan permainan olahraga. Mungkin juga karena faktor lingkungan rumah. Misalnya ibuku, beliau sosok wanita pantang menyerah dalam menghadapi keadaan sesulit apa pun. Beliau seorang wanita pekerja keras. Jadi, bo-lehlah mengatakan buah jatuh tidak jauh dari pohon-nya, sifatku yang aktif dan ingin tahu hal-hal baru didapatkan dari sifat ibuku.
Mulai kelas 5 SD, aku mencoba bermain tenis meja. Di dekat rumah ada tempat untuk berlatih tenis meja dan aku mulai menyukai olahraga ini. Aku selalu bermimpi menjadi atlet tenis meja, siapa tahu bisa menambah uang sakuku kelak. Olahraga yang kerap disapa pingpongini akhirnya mengisi hari-hariku. Aku terus berlatih agar selalu siap menghadapi lawan tanding.
Tidak jarang aku mengikuti kejuaraan, demi menambah jam terbang. Aku sempat mengikuti suatu kejuaraan tenis meja di Kota Depok dan menjadi juara satu, lantas mewakili Kota Depok mengikuti kejuaraan tingkat provinsi di Kota Bandung. Ibu mengantarku ketika mengikuti kejuaraan di sana.
“A, enggak usah berpikiran selalu harus menang dalam pertandingan, tetapi berikanlah yang terbaik. Menang ataupun kalah enggak jadi masalah dan jangan gugup nanti pas bertanding,” saran Ibu.
“Siap, Mah. Ipan akan berikan yang terbaik. Insya Allah,” balasku.
“Jangan lupa berdoa, minta petunjuk kepada Allah untuk berikan yang terbaik.”
“Siap, Mah.”
Itu disampaikan Ibu menjelang bertanding me-lawan wakil dari Purwakarta pada babak pertama.
Akhirnya, aku memenangkan pertandingan. Padahal, saat berada di depan meja tanding, aku gugup sekali. Walau begitu, aku mengikuti saran Ibu untuk tetap tenang dan berdoa, agar selalu diberikan kemudahan dan dijauhkan dari rasa panik.
Aku pun beristirahat dan bersiap melawan wakil Indramayu pada babak selanjutnya. Namun, kali ini aku lebih gugup dibandingkan dengan saat melawan Purwakarta. Karena saat itu, banyak yang mengatakan bahwa Indramayu memiliki atlet dengan kemampuan di atas rata-rata. Entah mengapa aku menjadi gugup, padahal sudah diberi tahu Ibu agar tetap tenang.
Saat pertandingan melawan wakil Indramayu akan dimulai, aku menghirup napas panjang agar tidak gugup. Bet, alat pukul untuk bermain tenis meja, sudah di tangan. Aku dan lawan tandingku mu-lai melakukan pemanasan. Kutatap wajah Ibu. Beliau bertepuk tangan, mengingatkanku agar tetap te-nang. Benar saja Ibu perlu melakukan itu, jantungku berdegup lebih kencang dari biasanya. Baru pema-nasan saja aku sudah bercucuran keringat bak sedang mandi.
“A, ayo, semangat jangan gugup!” teriak Ibuku. Pikiranku semakin kacau. Benar saja, kemampuan lawan tandingku di atas rata-rata. Dia berada di atas angin. Selesai set pertama aku kalah. Aku harus memenangkan babak kedua agar terjadi babak tambahan, dan semoga bisa memenangkan pertandingan.
Babak kedua pun dimulai, dan aku masih dilanda rasa gugup. Kegugupan itu membuat kualitas per-mainanku menurun. Aku terus-menerus diserang se-lama babak kedua, sehingga hanya sanggup bertahan. Jangankan menyerang, aku sudah termakan rasa ce-mas sehingga tidak fokus. Itu semua berujung pada kekalahan dan membuatku gugur dalam kejuaraan antarprovinsi.
“Yang sabar, ya, A. Enggak usah sedih. Namanya permainan, ada yang menang dan ada yang kalah. Wajar kamu kalah karena kamu gugup. Yang penting kamu sudah melakukan yang terbaik. Banyak-banyak latihan lagi, biar nambah jam terbangnya.” Ibu menasihatiku agar tetap berlatih kembali.
“Siap, Mah. Aa akan terus berlatih setelah ke-juaraan ini.”
Semenjak kejuaraan tingkat provinsi, aku terus berlatih untuk kejuaraan selanjutnya. Aku sudah cukup senang dapat bertanding dalam ajang besar tingkat provinsi. Walaupun berlatih sangat melelah-kan dan menyita waktuku sepulang sekolah, aku tidak menyesal. Karena dari berlatih aku bisa menambah jam terbang dan kemampuan, agar bisa menyuntikkan aliran semangat menghadapi pertandingan ataupun kejuaraan nantinya.
***
Memasuki jenjang sekolah menengah pertama, aku mendapatkan beasiswa dari Wali Kota Depok untuk masuk SMP unggulan di Kota Depok. Aku diterima di SMPN 3 Depok yang notabene adalah sekolah ung-gulan nomor satu di kotaku pada saat itu. Aku sangat bahagia bisa masuk SMP ini. Apalagi lokasinya ber-dekatan dengan rumahku, sehingga aku tidak perlu repot-repot menaiki transportasi umum menuju se-kolah. Kaki ini bisa melangkah dengan nikmatnya menyusuri gang-gang untuk mencapai sekolah.
Sejak kelas satu [1], aku mulai mengikuti ekstra-kurikuler futsal, padahal aku sangat ingin mengikuti ekskul tenis meja, sayangnya tidak tersedia di sekolah. Aku harus mengubur impian untuk bisa berlatih di sekolah. Namun, aku mengalihkannya ke sepak bola kembali.
Aku mulai gelisah menjalani pilihan tersebut. Pertama, tenis meja masih kujalani dan aku masih berlatih, meski sekolah tidak menyediakan wadah-nya. Aku berlatih tenis meja di dekat rumah, untuk menambah teknik permainan. Kedua, aku juga harus berlatih futsal. Setidaknya masa-masa remajaku ter-hitung sehat, dikelilingi oleh beragam aktivitas olah-raga.
Setelah melewati masa-masa SMP, aku memasuki masa-masa pubertas SMA. Aku mulai bimbang dengan jati diri, apakah harus kuteruskan aktivitas dalam bidang olahraga atau mencari jati diri yang lain?
Pernah suatu waktu, di kantin SMA-ku Jalan Sukatani, daerah Cimanggis, Kota Depok (dahulu SMAN 1 Cimanggis, sekarang SMAN 4 Depok), salah seorang kakak kelas mengajakku bergabung dalam Pendidikan Dasar Pencinta Alam bernama Plasma 4 Depok. Dari situlah aku mulai mencoba hal baru. Saat mengikuti pendidikan dasar, aku merasakan hidup yang sesungguhnya. Berada di sekitar alam yang indah, aku merasa jati diriku berada di sini.
Ketika mengikuti pendidikan dasar pencinta alam, setiap aku berada di gunung ataupun hutan, rasa-nya jiwaku berada di sana. Membuatku merasa lebih bersyukur. Dan alam membuatku belajar mengargai hidup. Itulah alasanku beralih menjadi seorang pen-cinta alam dan meninggalkan kehidupan sebagai atlet.
Tenis meja dan futsal kutinggalkan karena menjadi atlet membuatku terkungkung dalam latihan dan latihan, tidak ada masa-masa bermain. Di organisasi Pencinta Alam, aku bebas mengekspresikan diri un-tuk bermain di alam terbuka.
Memasuki masa perkuliahan, aku mengikuti ke-giatan mahasiswa pencinta alam di kampusku. Aku mulai mencintai hobi ini, sehingga apa pun yang kudapatkan tentang materi alam bebas akan menyu-kainya. Bahkan, menggilainya. Aku sangat mencintai alam yang disuguhkan oleh Sang Mahakuasa. Aku cinta lukisan yang merona dalam hijaunya pepohonan rindang, juga luasnya bentang biru lautan di negeri tercintaku ini. Indonesia.
Namun, pada 13 Maret 2010, aku mengalami musibah. Aku terempas dari ketinggian sepuluh meter papan panjat di kampus. Tubuhku meng-alami kelumpuhan. Hanya kepala dan tangan yang bisa bergerak. Gusti, mengapa ini terjadi kepadaku? Aku sempat bertanya dalam hati ketika tubuh ini terpelanting ke atas aspal. Aku tidak bisa mem-bayangkan kehidupanku nantinya dengan tubuh yang memiliki keterbatasan. Aku tidak sempat melihat apa-apa, pandanganku ketika itu kabur. Hanya ada satu warna: hitam.
Aku sudah pasrah dengan keadaanku saat itu. Bagaikan tarik ulur tambang, seakan nyawaku di-cabut oleh malaikat maut. Bersyukur, aku masih diberikan kesempatan kedua oleh Allah Swt. Kejadian ini memang catatan takdir untukku. Mungkin aku diberikan kesempatan kedua agar bisa memperbaiki kesalahan sebelum ajal menjemput.
Karena aku berada di dunia pencinta alam, dibesarkan di dunia pencinta alam, dan jatuh di dunia pencinta alam, salah satu komunitas terbesar Indonesia ini tidak berdiam diri. Mereka bahu-membahu menye-mangati hidupku. Apalagi, saat itu beberapa rumah sakit di Jakarta dan Depok memvonisku tidak bisa berjalan kembali.
Beberapa tahun kemudian, ternyata aku dapat berjalan kembali, mematahkan vonis keji dari dokter-dokter. Bahkan tanpa kusangka, aku bisa menelurkan karya pertamaku berjudul Tabah Sampai Akhir. Aku menulis karya ini atas dukungan teman-teman pencinta Alam di seluruh Indonesia yang menyokongku untuk bisa bangkit dari segala keterpurukan. Dari perwakilan Sabang sampai Merauke ada yang menjengukku.
Bersyukur, aku didukung oleh semua saudara-saudara sehobi, yang membuatku kuat melawan rasa sakit. Rasa sakit tidak mengalahkan semangat yang mengalir dalam tubuh. Aku masih tetap ingin sembuh menjadi aku yang dahulu. Aku hanya ingin melihat Ibuku tersenyum melihatku kembali berjalan dengan normal tanpa menggunakan alat bantu.
Diskriminasi
Setelah beberapa bulan berlalu, akhirnya aku dapat beranjak dari tempat tidur. Aku mulai memberanikan diri bepergian ke luar rumah mengendarai kursi roda. Tubuh ini akhirnya keluar dari belenggu kebosanan di dalam rumah. Biasanya aku hanya bisa menatap langit-langit sekitar delapan sampai sepuluh bulan lamanya.
Berkat uluran tangan dari salah satu abangku di Mapala, akhirnya aku mempunyai kursi roda. Setelah mempunyai kursi roda, rasanya senang sekali bisa berkeliling kompleks menghirup udara segar.
Aku didorong oleh seorang sahabat, yaitu Fernando Halim. Tanpa kenal bosan, Nando setiap pagi mendorongku menggunakan kursi roda ke luar kom-pleks.
Gemuruh suara batu yang terlindas, membuat pagi semakin hangat. Hamparan langit biru yang menghias, serta kokok ayam jago, membuat diri ini merasa lebih berbahagia.
Kudongakkan kepala, menghirup udara melalui hidung dan mengeluarkannya lewat mulut.
Meskipun Nando sabar mengantarku mengelilingi kompleks, terkadang aku risi melihat orang-orang yang menatapku aneh, seolah-olah aku ini makhluk dari planet lain.
Padahal, aku tak menyangka bisa keluar dari penatnya ruangan dan menghirup udara bebas. Layak-nya keluar dari penjara terpencil, melebihi Penjara Nusa Kambangan. Bebas, lepas, dan ingin teriak se-kencang-kencangnya. Seharusnya aku mensyukuri momen-momen ini.
Keesokan harinya, aku sangat ingin main ke kampus. Entah bagaimana jadinya nanti sesampainya di tempat kuliah, aku harus menahan malu, senang, atau apalah itu. Aku mengunjungi sekretariat Mapala yang merupakan rumah kedua bagiku.
Woi, Yan ..., di mana? Gue mau ke kampus, nih. lo di sekret[2], kan?
Aku mengirim pesan singkat kepada Rian Pane, salah satu rekan seangkatanku.
Iya, nih, kenapa?
Rian membalasnya.
Kini aku berjalan menggunakan tongkat.
Gue ke sana, ya. Tapi gimana caranya biar gue sampai kampus?
Hmmm ..., gue cariin dulu anak-anak yang punya mobil, nanti gue kabarin lagi.
Langit pun meredupkan sinarnya menuju senja. Kubulatkan tekad mengubah rutinitas saat itu. Aku ingin sekali membiasakan diri beraktivitas layaknya teman-teman. Kembali ke kampus adalah salah satu caranya.
Kerik jangkrik mulai bersenandung, sehingga aku harus bergegas ke kampus sebelum malam meng-hampiri.
Sekitar lima belas menit kemudian, Rian kembali menghubungiku.
“Fan, anakanak yang punya mobil lagi pada enggak ke kampus, nih. Ya udah gini saja, lo naik taksi minta tolong adek lo. Terus lo naik sendiri aja, nanti anak anak yang bayar kalau udah di kampus,” kata Rian.
“Yoi, Yan. Nanti sampai kampus teman-teman angkatan 2008 suruh nongkrong depan sekret, ya! Biar rame.”
“Oke, nanti SMS saja kalau udah mau sampe, ya. Ada Bobby juga, nih. Hatihati di jalan.” Bobby adalah seorang teman seangkatanku bersama Rian dan Nando.
Dalam dua puluh menit, aku sampai di depan kampus. Begitu tiba di depan sekretariat Mapala, sudah ada Rian beserta teman-teman angkatanku menyambut taksi yang menghampiri. Saat keluar, aku dibopong beramai-ramai oleh sekelompok teman-teman menuju kursi roda yang terlebih dahulu di-taruh di depan jalan menuju sekretariat.
Namun saat duduk di kursi roda, aku merasa tatapan mahasiswa-mahasiswi tertuju kepadaku. Entah apa yang mereka pikirkan soal aku. Rasanya malu sekali saat itu.
Aku hanya bisa tertunduk lesu, bukannya senang dikelilingi teman-teman. Malah aku terpuruk dalam suatu keadaan yang menyesaki rongga dada.
“Tolong ditutup dong, jalan menuju sekret! Asli, gue kenapa jadi malu gini, ya? Ketemu orang-orang baru, seolah-olah pandangan mata mereka tertuju ke gue.” Aku meminta tolong kepada Christo, salah satu temanku yang berada bersamaku di sekret.
“Iya, Fan. Ya udah gue tutup jalannya pake tong sampah saja, ya. Yang deket mading, sama yang di atas biar orang-orang enggak bisa lewat sini.”
“Ya udah gitu saja, To. Enggak tahu kenapa gue malu banget ini.”
“Tapi, nanti kalau diomelin satpam gimana?” Christo khawatir.
“Udah, woles, enggak usah mikirin satpam. Nanti, gue yang urus kalau satpam mempermasalahkan. Orang kayak gini doang masa marah? Satpam juga ngerti sama kondisi Si Irfan,” papar Rian.
Alhasil, dua tong sampah menutup jalan menuju sekretariatku, agar orang-orang tidak melewati area sini. Sungguh bahagianya mempunyai sahabat-saha-bat yang mengutamakan solidaritas kebersamaan. Aku merasa teristimewa saat itu dan sebagian teman-teman mencoba menghiburku.
Setelah menutup jalan dengan tong sampah, aku merasa lebih baik. Aku merasakan solidaritas tinggi dari teman-teman, walaupun merasa malu karena belum terbiasa dengan keadaan sekitar. Terlebih mahasiswa yang menatapku seakan melihat mahluk dari planet lain.
Waktu pun berlalu. Aku mulai lebih intensif pergi ke kampus menggunakan kursi roda, entah diantar oleh teman atau menaiki taksi. Senja itu, kala matahari akan tenggelam, aku berpamitan kepada Ibu untuk menginap di sekretariat Mapala.
“Mah, Aa nginep di sekret, ya?” tanyaku kepada Ibu.
“Ya udah, sama siapa saja nginepnya?” “Ramean, Mah. Banyak anak-anak, kok, ada
Nando, Kak Nonik, Bobby, Rian juga.”
“Naik apaan nanti ke kampusnya, A?” “Paling naik taksi saja.”
Akhirnya, aku diizinkan Ibu menginap di sekret-ariat. Betapa repotnya kala itu, bepergian meng-gunakan kursi roda. Rasanya ingin sekali meng-injakkan kaki ini untuk melangkah kembali. Namun, apa daya ....
Sesampainya di sekretariat Mapala, aku dijemput di depan jalan menuju sekret oleh Kak Nonik dan Nando. Dikeluarkannya kursi roda oleh Nando, lalu aku digendong untuk duduk di kursi roda. Shalat Magrib baru saja selesai ketika aku sampai di sekret.
Angin yang berembus perlahan, menyambutku untuk bermalam di rumah keduaku ini. Rasanya senang dapat merasakan suasana di sekretariat yang dipenuhi orang, mulai dari anggota Mapala hingga tamu Mapala yang sedang bersilaturahmi.
Banyak orang di luar anggota Mapala yang me-natapku dengan pandangan heran. Seorang anak muda digendong dari lantai satu menuju lantai dua, di belakangnya sebuah kursi roda membuntuti. Pasti mereka memiliki seribu pertanyaan tentangku. Dan aku mulai memikirkan jawaban apabila salah satu dari mereka bertanya.
Ternyata benar, baru saja duduk di kursi roda, seseorang bertanya kepadaku.
“Bang, kenapa kok, digendong?” tanya seorang pemuda.
“Habis kecelakaan,” sahut Nando.
“Kecelakaan kenapa, Bang?”
“Tanya saja sama orangnya.” Nando menunjuk ke arahku.
Aku bingung harus menjawab apa. Aku masih malu apabila bertemu orang baru. Entah karena kondisiku, entah karena alasan lain. Yang jelas aku masih suka minder kala itu.
“Bang, kaki lo kenapa? Maaf, Bang, lo enggak bisa jalan, ya?” Dengan nada pelan orang itu bertanya kepadaku. Mungkin dia takut menyinggung perasaanku.
“Hmmm ..., iya, nih. Kenapa emang?” Aku men-coba menjawab.
“Kenalin, Bang, nama gue Ojan. Enggak apaapa, Bang cuma nanya saja.” Ojan menjelaskan bahwa dia juga anggota Mapala dari daerah Jakarta Pusat.