Second Chance

Mizan Publishing
Chapter #3

Fajar - Aku Berbeda Pembuanganku Melalui Kantong

Aku seorang pelajar di Sekolah Menengah Kejuruan negeri di Cikampek. Aku bangga dapat diterima di sekolah tersebut karena predikat negeri dan status akreditasi A. Banyak orang bilang, sekolah ini bagus dan berprestasi.

  Aku selalu tertarik pada kegiatan-kegiatan menan-tang. Maka, aku bergabung dengan beragam ekstra-kurikuler sekolah, seperti: PASKIBRA, taekwondo, OSIS, dan Rohis. Namun, aku merasa ada yang kurang. Tidak ada ekstrakurikuler Pencinta Alam.

 Dulu, semasa SMP, aku menjabat sebagai ketua OSIS, dinobatkan juga sebagai penggerak SISPALA. Banyak organisasi yang kugeluti, banyak pula saudara yang kudapatkan.

  Banyaknya kegiatan ekstrakurikuler yang kuikuti, memberiku banyak pelajaran berharga. Aku belajar bersosialisasi dan berorganisasi. Ditambah lagi, aku sangat senang mengikuti PASKIBRA dan taekwondo. Aku berkesempatan mengharumkan nama sekolah dengan menjadi salah satu pengibar bendera pusaka (paskibraka) tingkat kabupaten dan menjadi atlet di cabang olahraga taekwondo.

Untuk urusan akademis, aku memilih jurusan mesin. Banyak teman-temanku bilang ini jurusan ter-favorit.

  Begitu resmi menjadi murid di sekolah ini, aku pun mengikuti kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS). Kegiatan ini sangat menyenangkan karena aku bisa kenal dan bercengkrama bersama teman-teman baru. Kakak-kakak kelas pun tak mau ketinggalan, mereka dengan pintarnya mengerjai adik kelas dengan berbagai kejailan. Tak jarang para adik kelas kena omelan para senior-senior.

  “Bagaimana kita bisa melawan senior, mereka punya pasal pamungkas ala senior,” kataku.

  “Memangnya pasal apa?” tanya Sari, salah satu teman baru saat MOS.

“Ya, pasal yang menyatakan, ‘Pasal satu: senior tidak pernah salah. Pasal dua: kalau senior salah, kembali ke pasal satu.’ Ya, itu artinya senior selalu merasa benar dong.”

 “Benar juga kamu, Jar.”

 Saat MOS, setiap murid baru wajib mengikuti ekstrakurikuler yang ada. Namun, hanya satu yang boleh dipilih. Aku pun memilih PASKIBRA yang me-mang telah kupilih sejak awal karena aku memiliki dasar PBB (peraturan baris-berbaris) dari SMP.

Di SMP, aku bergabung dalam PASKIBRA, jadi di sekolah lanjutan pun aku akan tetap memilih kegiatan ini. Aku sangat bangga pada Indonesia tercinta. Walau harus bercucuran darah sekali aku akan tetap membela negaraku tercinta. Semangat adalah harga mati, tanpa memiliki semangat tidak berartilah hidup ini.

  Setelah mengikuti MOS, aku pun memulai sekolah dengan seragam putih-abu dan sepatu kets hitam. Kutinggalkan putih-biruku yang dulu. Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, aku membantu orangtua merapikan rumah dan membuka warung. Ibu berjualan sayur mentah di rumah. Ibu harus berjuang setiap pagi buta saat orang lain masih terlelap dan menikmati empuknya tempat tidur. Ibu berjuang men-dapatkan rupiah untuk membantu Ayah yang hanya seorang buruh pabrik. Aku pun mempunyai cita-cita untuk membahagiakan orangtua, agar mereka puas bahwa anak-anaknya mampu meraih prestasi.

  Aku dididik oleh Ibu untuk selalu menjadi orang sabar, meski nyatanya sabar itu berat. Ibu tetaplah guru terhebat yang pernah kutahu dan kumiliki. Meskipun kegiatan banyak, aku tak pernah meninggalkan pe-kerjaan sekolah dan rumah yang menumpuk. Kalau kutinggalkan, nanti aku keteteran membantu Ibu berdagang di warung. Padahal, waktuku banyak di-habiskan di sekolah dan kegiatan tambahan seperti PASKIBRA, yang dalam waktu dekat akan diadakan seleksi PASKIBRAKA tingkat kabupaten.

  Bila beruntung, aku bisa terpilih mewakili pro-vinsi di tingkat nasional. Seleksi PASKIBRAKA ini cukup ketat, aku harus mengikuti beberapa seleksi, mulai dari seleksi sekolah hingga seleksi kabupaten. Lolos seleksi sekolah, aku bersama tiga teman lain menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti seleksi di tingkat kabupaten. Dengan persiapan dan mental yang matang, aku optimis dapat melalui seleksi dengan mudah. Rahma, gadis berkulit putih, dan Refi, pemuda tinggi yang sedikit gemulai, keduanya adalah temanku yang lolos seleksi tingkat kabupaten.

  Selama dua hari aku mengikuti penyeleksian. Juri dan panitia berasal dari Komando Batalyon 305 Telukjambe, Karawang. Pada hari pengumuman seleksi PASKIBRAKA tingkat kabupaten, diinformaskan juga berapa lama seseorang akan dididik untuk seleksi tingkat provinsi. Hasilnya, aku terpilih sebagai PASKIBRAKA tingkat kabupaten saja. Aku selalu ingat pesan Ibu, “Jangan pernah memikirkan hasil akhir. Nikmati setiap proses tujuanmu, dan yakini hasilnya akan indah jika kamu menjalani proses dengan baik. Semangatmu harga dirimu, Nak.”

Aku tetap bangga meski tugas pengibaran Sang Saka Merah Putih dilakukan hanya di tingkat kabupaten. Bagiku ini tetap tugas mulia, sekaligus menunjukkan betapa bangga dan kagumnya aku ke-pada NKRI.

  Cukup lama para peserta mengikuti latihan pra-pemusatan, hingga akhirnya tiba hari pemusatan sesungguhnya. Para peserta dididik layaknya tentara siap tempur. Kami harus selalu disiplin dan kompak, saling membantu. Setiap peserta wajib bangun pagi dan mengikuti setiap jadwal yang telah ditentukan panitia. Olahraga, sarapan, dan tentunya latihan menurunkan dan menaikan bendera. Selesai latihan, ada pemilihan ketua barak untuk memimpin setiap anggotanya dan aku termasuk salah satu kandidatnya. Akhirnya, aku terpilih sebagai ketua barak karena suara yang kudapatkan cukup banyak.

  Setiap hari, aku dan teman-teman latihan, latih-an, dan latihan. Tanggal 17 Agustus tinggal 3 hari, sehingga latihan semakin padat. Aku terpilih menjadi pasukan inti yang sering disebut Pasukan Delapan. Aku menjadi Tiang Tiga tepatnya pembawa bendera.

  Akhirnya, hari yang ditunggu tiba. Pengibaran dimulai saat komandan Pasukan 45 menyerukan komando dengan lantang, “MAJU ... JALAN!” Setelah teriakan itu, para hadirin dengan saksama menatap pasukan PASKIBRAKA yang melangkah diiringi Pasukan 45 dari TNI. Saat Sang Komandan melapor kepada Pembina Upacara bahwa pengibaran Sang Saka Merah Putih siap dilaksanakan, Pembina Upacara pun membalas dengan seruan, “LAKSANAKAN!”

  Di sinilah peran setiap pasukan dipertanggung-jawabkan. Pasukan-pasukan telah bersiap pada posisi masing masing. Aku dan ketiga rekanku siap mengibarkan Sang Saka Merah Putih. Begitu kuterima bendera, aku bergegas menyerahkannya kepada Sang Pembentang. Dibentangkannya Sang Saka dengan gagahnya, walau harus melawan angin sejuk pagi hari. Sang Saka naik ke tiang tertinggi diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya.

 “Hiduplah Indonesia raya ....

  Di akhir lirik, Sang Saka menancapkan diri un-tuk berkibar lepas di ujung tiang. Kami bangga telah berhasil menaikkan bendera dengan sempurna. Sete-lah semua peserta kembali ke barak untuk istirahat dan menyiapkan diri menghadapi penurunan bendera sore nanti, kami bersenda gurau seraya membicara-kan pelaksanaan pengibaran bendera tadi. Lama-lama, kami semua tertidur. Kami baru dibangunkan menjelang penurunan bendera.

  Pada penurunan bendera aku tidak ikut serta karena ini tugas untuk pasukan B, yaitu pasukan penurunan bendera. Aku duduk di tribun untuk menyaksikan proses tersebut. Bendera yang sedang berkibar dengan bebasnya kemudian turun dari pun-caknya, dijemput oleh pasukan PASKIBRAKA yang gagah.

  Setelah penurunan selesai, kami pun kembali ke barak untuk bersiap bertemu Bapak Bupati. Di sinilah kami berbincang-bincang dengan Bapak Bupati.

  Beliau bertanya, “Besok kalian mau jalan-jalan ke mana?”

  Aku mengacungkan tangan dan meminta jalan-jalan refreshing ke Jakarta. Beliau setuju. Besoknya, kami pun mengemas barang-barang dan berangkat ke Jakarta. Selama perjalanan, kami bernyanyi de-ngan riang karena tugas mulia dan berat ini telah kami lewati. Di tempat tujuan, kami pun langsung masuk dan bermain sebebas mungkin. Aku menaiki semua wahana yang ada. Pukul 3 sore, para peserta harus kembali ke mobil untuk perjalanan pulang. Di Gedung Wisma Haji, tempatku menjalani karantina, para peserta diberi sedikit wejangan oleh pelatih dan kami pun menangis karena harus berpisah.

  Aku pulang ke rumah dengan rasa capek, lelah, letih, bercampur senang. Kuceritakan semua keluh, kesah, dan kegembiraan kepada Ibu. Esok paginya aku kembali kesekolah untuk mengejar ketertinggalan.

Di sekolah, aku disambut dengan gembira. Banyak pertanyaan datang dari teman-teman, bagaimana rasanya menjadi petugas pengibar bendera di tingkat kabupaten? Kujawab, “Asyik dan banyak pengalaman kudapat!” Begitu banyak hal yang selalu kudapatkan dari berorganisasi, diantarnya kedisiplinan, kemandirian, ketekunan, keuletan, dan masih banyak kebaikan lain. Aku selalu semangat untuk menjalani hidup karena hidup seorang manusia adalah petualangannya sendiri.

  Setelah beberapa bulan dilantik sebagai Purna PASIBRAKA Indonesia (PPI), aku pun mendapat banyak tugas untuk Indonesia tercinta. Aku bertugas mengibarkan bendera pada hari Kesaktian Pancasila 1Juni 2009. Beberapa bulan kemudian, aku ditugaskan kembali menjadi pasukan pengibar bendera pada 28 Oktober 2009, memperingati hari Sumpah Pemuda. Sayangnya, pengibaran kali ini tak seindah dan semulus pengibaran sebelumnya. Terbaliknya bendera merah putih saat akan dibentangkan menjadi perkara buruk dalam hidupku.

  Setelah tugas pengibaran bendera selesai, tibalah waktu makan siang,  

“Jar, ayo makan dulu di warung nasi favorit Akang,” ucap Kang Arif, seniorku, dan dia adalah ketua Purna Paskibraka Karawang.

“Siap, Kang. Makan itu penting, Kang. Hehehe,” gurauku.

  Di tempat makan ini, aku berbincang dengan Refi, rekanku dalam tugas pengibaran.

“Ref, porsi makan lo itu, lho ..., kayak habis ma-cul,” ucapku kepadanya.

  “Kapan lagi ada yang mau bayarin? Hahaha ...,” balas Refi.

Selesai makan siang, aku dan teman-teman purna PASKIBRAKA, kembali ke sekretariat.

  Dinda, gadis berpostur tinggi dan paras hitam manis, adalah gadis yang kusuka.

  “Hei, Din. Gimana saat pemusatan Paskibraka di tingkat Provinsi kemarin?”

  Dinda adalah PASKIBRAKA yang lolos seleksi tingkat provinsi.

  “Ah, menurutku lebih asyik di sini. Di sana boro-boro bercanda, semuanya serba-ketat,” ungkapnya kesal.

  “Eh, azan asar berkumandang. Yuk, shalat. Nanti habis selesai shalat kita pulang,” ucapku kepada Refi.

 “Oke, siap!”

  Setelah Refi mengepak tas, aku pun bergegas mengenakan sepatu lalu pamitan kepada semua senior. Bergegas pulang dari sekretariat PPI Kabupaten Karawang dengan jarak 10 kilometer menuju rumah.

Aku berencana mengajak teman menaiki bus Warga Baru jurusan Cikampek. Kuajak Nabila Zahra. gadis tinggi semampai, yang tampak manis. Dia seorang atlet basket. Kukirim pesan kepadanya.

 Sore, Bil. Pulang ke Cikampek bisa bareng?

 Maaf, Jar. Gua udah di bus, nih.

 Balas Nabila yang kubaca dari handphone mono-kromku. Handphone yang kata orang buat lempar Maling.

Aku akhirnya pulang bersama Refi menaiki motor. Sepanjang perjalanan, aku dan Refi hanya terdiam. Entah mengapa Refi malah menarik gas motor bebeknya dengan cepat.

 “Jangan kebut-kebut. Bahaya,” tegurku. “Tenang. Aman, kok,” jawabnya. ”Aman dari mana? Lo lihat di depan sana ada mobil tangki Pertamina?” Kebetulan saat itu akses jalan menuju Cikampek sedang dalam perbaikan, jadi jalurnya dibuat satu arah.

 Kehadiran mobil tangki di jalur kanan, lalu kontainer di sebelah kiri, sama sekali tak Refi hiraukan. Setelah aku berteriak lagi untuk mengingatkannya, pikiranku mulai kalut. Aku sudah membayangkan melompat ke sebelah kanan kalau-kalau terjadi sesuatu. Na-mun, jika melompat ke kanan, mobil tangki itu akan menghantam kepalaku. Sementara di kiri ada kontainer.

  Refi masih melaju dengan kecepatan tinggi. Aku melihat besi yang melintang di kontainer dan berpikir, Andai aku melompat dan menggapai besi itu, aku akan selamat dari maut.

  Namun, tidak. Aku melompat ke arah besi ter-sebut, dan motor yang kami kendarai malah jatuh. Aku gagal menggapai besi, malah masuk ke sela-sela roda kontainer. Diseretnya aku sejauh delapan meter. Saat kejadian itu, aku mengucapkan takbir tiga kali dan mobil pun berhenti.

  Kuasa Allah tidak ada yang mengira. Ucapan pertama yang kulontarkan saat mobil berhenti adalah, “Ibu ... maafkan aku yang tidak bisa menjadi Tentara Nasional Indonesia. Allah berkehendak lain.”

  Setelah kecerobohan teman yang membuatku ter-kapar di jalan raya, aku hanya pasrah dan memohon kepada Allah agar memanjangkan umurku.

  Kalimat ALLAHU AKBAR kuucapkan terus-menerus. Begitu banyak orang berkendara yang menolongku.

“Pak, tolong bawa saya ke rumah sakit terdekat!” Itulah kata yang kuucapkan kepada salah satu bapak yang menolongku. Setibanya di rumah sakit terdekat, ternyata mereka tak mampu merawatku karena luka yang kualami sangat parah. Pantatku terseret aspal bak keju diparut.

  Aku dirujuk ke rumah sakit terbesar dan terlengkap.

  “Ya Allah, cobaan apa yang Kau beri kepada hamba? Apakah ini dinamakan Sumpah Pemuda yang penuh pengorbanan?” Itu kata-kata yang terlontar dari mulut Ibu. Beliau tak mampu menahan air mata. Beliau pun pingsan melihat lukaku yang begitu parah dipenuhi darah.

  Setelah melewati pemeriksaan dari petugas medis di rumah sakit, aku tetap harus menahan rasa sakit dan bersabar. Mereka bilang, aku hanya mempunyai 38% kemungkinan untuk bertahan hidup. Alhamdulillah, kaki kiriku yang sempat didiagnosis harus diamputasi, ternyata tidak perlu mengalaminya karena persendianku masih sangat bagus.

  “Ya Allah, tolonglah anak hamba ini, ya Allah. Jangan Kauberi cobaan yang tak bisa dia lalui. Semoga dia bersabar dan terus bersabar,” kata-kata ini adalah doa dari Sang Ayah untuk anaknya. Agar aku senantiasa diberi kesehatan dan disembuhkan dari luka ini.

  Musibah ini cobaan sangat berat karena aku sangat tidak suka dan tidak pernah ingin dirawat di rumah sakit. Namun, aku harus menghadapi itu semua demi kesembuhanku. Setiap hari kulalui waktu di rumah sakit seraya menahan rasa sakit yang teramat sangat. Aku berteriak terus-menerus. Mungkin satu bangsal sudah terbiasa mendengar aku menjerit saat luka di pantat dibersihkan. Rasanya perih sekali. Bak luka disiram cuka.

  Hari demi hari, kucoba melewatinya dengan se-nang hati. Terkadang, Ibu bersenda gurau untuk menghiburku. Tak jarang, aku pun bergurau dengan para suster. 

Pada pemeriksaan mingguan, dokter berkata bahwa aku harus melakukan operasi lagi agar cepat sembuh. Padahal, aku bukan sekali dua kali operasi, melainkan lima kali operasi! Sampai-sampai aku tidak takut lagi mendengar kata operasi karena telah lima kali merasakan dan melakukannya. Dan aku pun tahu jodoh dan maut itu di tangan Tuhan, jadi semuanya kupasrahkan kepada-Nya.

  Berhari-hari dan berminggu-minggu aku dirawat, sampailah aku pada bulan ketujuh masa perawatan. Aku sudah bisa berjalan dan luka di pantat mengering.

Aku boleh pulang ke rumah. Sepulangnya ke rumah, aku ditengok tetangga-tetangga dan teman-teman. Aku hanya bisa berbagi pengalaman pahit dan sedih ini kepada mereka. Mereka semua memberi semangat kepadaku.

  Aku tetap harus melakukan pengobatan di ru-mah. Setelah sembuh betul, aku baru mulai sekolah dengan bantuan tongkat untuk membantu berjalan. Aku masuk pada hari Senin saat upacara bendera. Saat itu pula, teman-teman satu sekolah melihat dan memandangku dengan aneh. Banyak yang bilang, aku tak mungkin bisa sekolah lagi karena cacat. Tapi, aku terus bersemangat dan tak pernah putus asa. Banyak guru yang bersimpati kepadaku sampai-sampai meneteskan air mata.

  Saat itulah, aku dapat melontarkan terima kasih kepada ibu dan bapak guru, serta teman-teman. Aku merasa beruntung bisa menjalani cobaan dengan sabar dan penuh semangat. Walau harus bersekolah menggunakan tongkat, aku tak mau dilihat orang seperti itu, ditatap dengan sinis.

  Pada hari pertama kembali ke sekolah, aku ber-temu teman yang memboncengku saat kecelakaan tragis itu. Rasa kesal dan benci menyelimuti pikiran-ku.

Setelah dipikir-pikir, untuk apa aku membenci dan memusuhi dia? Toh mungkin ini takdir yang Allah berikan untukku. Dan mungkin saja suatu hari nanti ada sebuah jawaban atas musibah yang menimpaku ini.

  Satu bulan di sekolah kulewati dengan meng-gunakan tongkat. Aku malu harus membawa tongkat setiap berangkat ke sekolah. Hingga akhirnya, aku memberanikan diri melepas tongkat. Padahal, Ibuku dan dokter yang merawat bilang, aku belum boleh melepaskan tongkat.

  Syukur alhamdulilah aku bisa berjalan tanpa alat bantu lagi, walau jalanku agak terpincang-pincang. Aku tidak malu menjalankannya. Aku sadar tujuh bulan tertinggal pelajaran. Menurut wali kelas, aku tidak memiliki nilai sama sekali di semester tiga. Aku harus berusaha dan bekerja keras untuk mendapatkan nilai-nilai yang kosong itu.

  Mau tak mau, aku harus mengejar dan meminta nilai kepada setiap guru yang mengajar agar aku bisa naik kelas. Aku tak ingin tinggal kelas.

  “Pak, saya mau remedial nilai mata pelajaran yang Bapak ajarkan,” kuungkapkan keinginan ke-pada salah satu guru.

  “Kerjakan Lembar Kerja Siswa seluruhnya.” Dengan tegas Pak Guru memberi tugas.

“Terima kasih, Pak,” jawabku.

 Padahal hatiku berkata, Boro­boro tahu, Pak gimana pelajarannya. Masuk saja enggak.

 Untungnya, aku punya sahabat yang sangat baik dan pengertian. Dia mau membantu menyelesaikan tugas-tugasku.

***

Awal Perjalanan (kembali)

“Bu, aku pamit dulu, ya. Doain aku selamat dalam perjalanan sampai pulang nanti,” kataku kepada Ibu ketika pamit pergi ke suatu tujuan.

  “Iya, kamu hati-hati. Jangan lupa baca doa. Awas di daerah orang enggak boleh ngomong sompral, lho,” pesan Ibu.

  “Iya, Ibu cantiiik. Assalamu ‘alaikum,” salamku sambil mencium tangannya.

 “Wa ‘alaikum salam,” jawab Ibu.

 Tepat 26 Oktober 2015, hari ketika aku akan pergi mendaki Gunung Pangrango bersama Rully, Indra, dan Gandhi. Kami berempat janjian bertemu di Terminal Cikampek pukul 6 pagi untuk naik bus menuju Jakarta.

 Tuuut ... tuuuttt ....

  “Halo, Ndra? Di mana? Gue otewe terminal, nih!” kataku kepada Indra.

  “Gue juga. Si Gandhi sama Rully mah udah nyampe terminal, noh,” balasnya. 

“Oke, deh. Lo bawa, kan, pesenan gue kemaren, Ndra?”

“Hah? Apaan, sih? Kayaknya gue lupa! Hehehe.” “Euh, lo mah .... Itu, tuh, sunblock. Lo, kan, biasa pake begituan. Hahaha ....”

 “Ah, kirain apaan!”

 “Ya udah, entar kabarin saja kalau nyampe terminal, ya.”

 “Okeee.”

 Tuuut ... tuuuttt ....

  Akhirnya, aku sampai di terminal. Kutemui Rully dan Gandhi yang sampai lebih dulu.

 “Eh, Brooo ..., si Indra belom nyampe, ya?” “Belom. Emang dia udah berangkat dari rumah?

  Dia, kan, paling susah bangun pagi.”

  “Udah, kok. Tadi dia bilang, sih, udah otewe. Enggak tahu tuh otewe-nya on the way atau on the WC,” candaku kepada mereka.

  “Hahaha ... bisa jadi, sih. Dia, kan, gitu,” Gandhi menambahkan.

Tak lama Handphone-ku berdering. Telepon dari Indra. “Di mana lo? Katanya tadi otewe? Gue udah di terminal, nih, sama Si Rully sama Gandhi.”

  “Bentar, angkotnya mogok. Gue harus ganti angkot dulu. Sepuluh menitan lagi, lah.”

  “Oke, jangan ke mana­mana dulu. Entar keburu siang.”

“Iya, bawel deh, ah!”

  Benar, sepuluh menit kemudian Indra datang sambil menggendong carrier besar berwarna kuning cerah. Dia juga menjinjing kantung kresek hitam kecil di tangan kiri. “Nih, gue bawa gorengan. Pasti pada belom sarapan, kan? Gue mah baiiikkk ..., hehehe....”

  “Huuuhhh ..., iya deh, iya. Daripada enggak dapet gorengannya,” sahutku sambil merebut gorengan dari tangannya.

  “Yok, langsung naik ke bus saja! Takut keting-galan. Makan gorengan di dalem saja,” ajak Gandhi yang dari tadi sudah mengeluh pegal karena lama menungguku dan Indra.

  “Kalian duluan saja. Gue pengin beli kopi dulu,” sahut Indra yang memang selalu terlambat kalau mau pergi ke mana-mana.

  “Iya, jangan lama!”

Setelah menghabiskan semua gorengan, akhirnya satu per satu dari kami tidak kuat menahan kantuk. Gandhi yang sudah menguap karena kelelahan menunggu, jadi orang pertama yang tak sadarkan diri alias tidur. Disusul oleh Rully, kemudian Indra. Sebenarnya aku mengantuk, tapi aku ada janji mene-lepon pacarku, Indah, agar dia enggak panik selama aku tinggal pergi mendaki.

  “Kamu hati­hati ya, Sayang. Jangan pisah sama temen­temen kamu, ngomongnya jangan sompral. Awas itu shalatnya dijaga biarpun kamu lagi di gunung.” Suara merdu itu bagaikan musik klasik di telingaku, apalagi sambil berpesan agar aku berhati-hati.

  “Iya, Sayang, I will. Kamu juga hati-hati, ya, jangan bandel. Hehehe .... Love you ....”

  Love you too. Assalamu ‘alaikum.” “Wa ‘alaikum salam.”

  Sehabis mendengar suara merdu pacarku, aku bisa tertidur lelap di dalam bus. Alarm pun kupasang agar kami tak kebablasan.

  Akhirnya, kami sampai di Terminal Rambutan, Jakarta Timur. Dari sini, kami harus menaiki bus lagi ke arah Cianjur, karena rutenya melewati wilayah yang kami tuju, Cibodas.

  “Woy, woy, bangun! Dah nyampe, nih. Kita nyari bus Maritha buat ke Cibodasnya. Ayo, cepet!” Aku membangunkan mereka bertiga karena bangun lebih dulu berkat alarm yang kupasang.

  Dengan mata masih berat untuk dibuka, dan sedikit air liur di dagu, akhirnya mereka bangun.

  “Udah nyampe? Hoooaaammm ...,” kuap Indra yang masih terlihat mengantuk.

 “Iya, ayo. Cepet, yok!”

  Perjalanan Jakarta–Cibodas dilalui selama kurang lebih selama dua jam. Kami memutuskan kembali tidur karena masih mengantuk. Belum sampai mata ini terpejam, HP-ku berbunyi. Kupikir Indah yang menelepon, ternyata Ibu.

 “Assalamu ‘alaikum, Mas? Udah nyampe mana?” “Wa ‘alaikum salam. Udah di bus Maritha, Bu. Ini baru berangkat busnya.”

  “Oh, ya udah. Kamu hati­hati, lho, Mas. Sebenarnya, Ibu masih khawatir sama kondisi kamu. Ibu takut sakitnya kamu tuh kambuh, mana jauh di tengah hutan.”

  “Tenang saja, Bu. Insya Allah aku enggak akan ke-napa-kenapa. Ibu enggak usah parno gitu, ah. Doain saja aku selamat sampai pulang, Bu. Ya?”

Lihat selengkapnya