"Jeeeeennn," Teriakan seorang Selly lebih nyaring berkali kali lipat dibandingkan toa masjid di kampungku. Padahal dia berjalan dengan jarak yang cukup jauh dari tempatku duduk. Biar kuperkenalkan dulu, dia adalah primadona di asrama. Aku tidak tahu seberapa banyak fanboynya. Jelasnya, selain daripada itu, ada banyak fans dari para perempuan yang sering memberinya hadiah yang wah.
"Naaaaaa." Kenyataan mengenai pribadinya nampak tidak ada rahasia. Dia anak yang riang dan ceria. Oh iya, hal lain yang tidak boleh orang lain ketahui tentangnya adalah dia menyukai laki-laki dari jurusan lain. Hanya aku saja yang tahu. Hobinya adalah meneriakiku lebih lantang saat orang yang diidolakannya ada. Dia berdalih agar seseorang yang bernama Jeno itu dapat menoleh ke arahnya.
"Maaf, tadi gue manggil teman gue. Sorry ya." Aku merasa laki-laki itu berbalik lagi seperti semula. Aku selalu saja tidak mendapat kesempatan untuk melihat wajahnya. Setiap kali di kantin, posisi duduk kami selalu saling memunggungi. Tidak ada celah bagiku untuk melihat wajah yang disukai sahabatku.
"Pangeran gue tadi liatin gue. Ya ampun, dia ganteng banget," bisik Selly sambil mengipas ngipas mukanya yang merah seperti tomat matang. Aku yakin, dia duduk di depanku dan saling berhadap hadapan karena berharap dapat melihat Jeno saat berbalik. Setelah diperhatikan lagi, gerakannya kali ini lebih seperti orang yang kesurupan cabe domba.
"Dia tuh bukan liatin Lo. Lo kan manggilnya kayak gitu. Ya kali dia enggak ngeuh sama sekali. Dia ngerasa kepanggil, tahu." Aku menekankan kata 'tahu' agar dia sedikit menyadari perilakunya. Untuk kesekian kalinya dia seperti itu. Jeno pasti akan menandainya. Eit, sebenarnya aku terbiasa menggunakan 'aku-kamu' dulunya. Sekarang 'gue-lo' digunakan karena semua teman menggunakannya juga.
"Dia gak bosan apa ganteng mulu tiap hari, Ya Allah." Aku menenggelamkan mie yang nyaris didaratkan ke mulut. Santapanku harus diam di tempatnya.
"Lo bisa diam gak? Gue gak bisa fokus makan, Sel."
"Pangeran gue..." Tangannya sekarang menampung dagu yang hampir tumpah. Padahal apa yang dilihatnya? Hanya punggung yang sesekali bergetar karena gelak tawa.
"Lo kesabet, pasti." Mie yang sempat menganggur beberapa menit tersebut kutambah dengan sambal dan diaduk.
"Dia berdiri, Jen," ucapnya sambil menggoyangkan pundakku. Masa bodo dengan tingkahnya. Tujuanku ke kantin untuk mengisi perut agar sedikit buncit. Bukan untuk cuci mata atau pamer muka. "Dia nengok, dia nengok." Selly sedikit berjingkrak dan tiba-tiba diam terpana melihat seseorang di mulut pintu.
Seseorang yang pertama kali aku lihat sepanjang belasan tahun hidup di muka bumi. Bayangkan saja, manusia dengan kepala yang di soroti cahaya ilahi. Begitu terang dan menyilaukan. Mungkin karena terlalu tampan, alam pun menghiasi rupanya dengan demikian.
"Dia ganteng, kan?" Tanya Selly. Aku membenarkan posisi duduk agar nyaman menyantap mie yang mulai membengkak. "Dia ganteng, gak?"
"Gue gak bisa lihat."
"Tuh kan, karena saking gantengnya Lo gak bisa lihat."
Aku hanya bisa melihat bentuk muka tanpa hiasan. Bagaimana cara menilai tampangnya?
"Kayaknya dia biasa aja."
Selly berdiri lalu menggebrak meja. Ya Tuhan, untung jantungku lagi sehat. Hal yang mengagetkan buatku bukanlah dari suara, tapi muka. Eh bukan, lebih tepatnya dari mata. Matanya melebar dan seperti ingin keluar. "Biasa aja?"