Sorot mata Jeno membuat siapapun merasa teduh perasaannya. Dia tersenyum tipis dan manis. Tapi pada siapa dia tersenyum?
"Gue... Dia senyum sama gue, Rosi. Aaaaaaahhh," Selly berteriak girang hingga beberapa penumpang menatapnya tajam. Suara nyempreng ditambah hentakan kaki itu dapat membuat orang cukup terganggu.
"Maaf semuanya." Akhirnya aku meminta maaf duluan karena malu. Teman-temanku mengikutinya hingga bagian gerakan tubuh. Sedikit bungkuk, menunduk sekejap sembari memposisikan tangan selayaknya hendak mengucapkan selamat hari raya. Perjalanan kami setelahnya menjadi hening karena tatapan manusia-manusia tadi. Walaupun hening, tapi aku masih bisa merasakan hawa girangnya Selly.
***
Kami berhenti di depan gerbang asrama. Tentu saja, tujuan awal kami menaiki angkot agar segera tiba disana. Hanya karena ada Jeno, bukan berarti kami sengaja membuntutinya diam-diam.
Asrama kami berlantai tiga dengan nuansa coklat bercampur hitam. Halaman yang tidak terlalu lapang dan bangunan yang tidak terlalu luas membuat para pengurus asrama mudah memantau para penghuninya. Karena ini adalah asrama khusus puteri, maka kami di jaga ketat dari segala bentuk dan hal yang berkaitan dengan laki-laki. Jika memasuki wilayah kami, peraturan utama yang di pasang adalah dilarang membawa tamu laki-laki, kecuali keluarga.
"Ini siapa?" Interogasi mengerikan disini bisa terdengar bahkan sampai ke beberapa kamar terdekat. Lebih nyaring lagi jika itu berkaitan dengan hubungan spesial antara laki-laki dan perempuan. Jangan berpacaran dan dilarang mempunyai pacar sudah menjadi bagian dari motto disini. Itu adalah sebagian aturan yang biasa digunakan orang tua dengan dalih agar anak fokus dalam belajar. Iya, kehidupan di asrama ini dijamin tidak akan seru.
Manusia kebanyakan pasti akan merasa tertantang untuk melakukan hal yang dilarang. Begitupun disini. Aturannya sudah jelas, tapi buku catatan pelanggaran selalu penuh dan terpaksa di ganti.
Selly adalah pelanggar nomor satu dari murid kelas satu. Catatan pelanggarannya berkaitan dengan banyaknya kiriman dari penggemar laki-laki. Sebagian memang aman di sekolah, tapi sisanya tersesat dan masuk ke ruangan khusus pengurus.
"Lagi, lagi dan lagi. Ini bukan kemauan gue. Ini bukan salahnya gue. Aaarrrgghh." Amukan Selly di selingi senggukan dan tangisan di kamar. Sebuah perwujudan dari bentuk protes atas kinerja para pengurus. Kesalah fahaman ini merugikan baginya. Kerugian bisa mencapai puluhan ribu setiap bulannya.
Padahal bukan kemauannya untuk mendapat kiriman dari lawan jenis. Tapi tetap saja, pengurus selalu mengartikan bahwa dia memiliki hubungan khusus dengan pengirimnya dan mereka beranggapan bahwa dia pantas dikenai denda.
"Gue baru aja pulang coba. Tega banget mereka. Gue capek. Capek terus terusan kayak gini. Terus juga uang gue, Jen." Dia berusaha menarik kuat napas walaupun ada hal yang menyumbatnya. Aku tahu dari dari suara hidung.
Sulit bagiku untuk menjelaskan gambaran wajahnya. Sekarang dia tengah berantakan.