Aku berusaha menyingkirkan ingatan di angkot dengan memperhatikan Selly. Dia mondar mandir merapikan barang-barangnya ke dalam lemari yang khusus dia bawa dari pabrik. Tentu, pabrik milik keluarganya.
"Jen..."
"Hmmm..."
"Gimana perkembangan Lo sama Dion?" Dan lagi, aku diserang dengan pertanyaan basi. Padahal jelas sekali. Aku punya pacar dan Dion pun katanya punya.
"Perkembangan apanya? Dion itu gak jelas. Lagian yang jelas tuh gue ada pacarnya, Sel," Ucapku lalu melempar tas ke depan lemari.
"Santai, Jen. Santai." Aku membuang muka dan melihat cahaya dari celah sudut jendela kamar kami. Entah apa yang dipikirkan Selly kali ini. Perkataannya membuat emosiku agak naik.
"Jen, bukannya gue gimana-gimana ya. Cuman pacar Lo kan jauh dari sini terus dia berondong. Apa Lo mau gini aja?" Aku menoleh ke Selly. Dia tiba - tiba saja berada di sampingku.
"Gini aja apanya?"
"Gini, Jen. Gue gak nuduh apa - apa, tapi menurut gue Lo tuh harus jaga-jaga." Kemungkinan memburuknya hubungan suatu pasangan jarak jauh itu ada di komunikasi kata banyak informasi. Ini pas sekali dengan kondisiku. Sudah hampir dua minggu pesanku tidak di balas olehnya. Aku harap, kedepannya hubungan kami baik.
"Dia gak ngontek lagi?" Aku tidak bisa menjawab pertanyaan mematikannya. Tanpa kuberi tahu, dia pasti sudah mengetahui.
"Jen, alasan sibuk itu cuman buat orang yang gak ada waktu ke kita. Waktu buat orang lainnya? Lo kan gak tahu."
"Iya gak tahu. Gue tahunya dia itu sibuk. Anaknya aktif. Terus temannya sering minta tolong ke dia," Timpalku santai.
"Oh."
"Menurut Lo buat apa Lo pacaran sama dia?" Lanjutnya.
"Buat ada hubungan."
"Kalau sebatas hubungan. Teman kan hubungan juga. Kenapa kalian gak sebatas teman?"
"Pacar itu hubungannya lebih spesial, Selly," Ucapku sembari mengeja kata dengan penuh penekanan.
"Spesial? Apanya yang spesial dari kalian? Selama ini Lo ngerasa di spesialin? Dia ngabarin Lo aja enggak, Jen." Aku hanya bisa mengulang memori saat kami masih satu sekolah. Dia selalu tersenyum, menyapa dan kadang mengajakku untuk pulang bersama. Tapi iya. Dia memang baik dan begitu juga pada temannya.
"Nah kan. Gak ada spesial. Mendingan Lu lupain dia. Sekarang waktunya pindah ke yang lain." Bagaimana bisa beralih begitu saja dari tempat yang membuat nyaman? Tanpa alasan buruk, aku sulit mundur.
"Pindah apanya? Udah ah. Gue ngantuk." Aku menutup mata dan berharap agar pembicaraan ini tidak pernah muncul lagi.
***