Sekolah kami memang cukup luas. Ada dua lapangan yang menjadi penengah tiap kelas yang berhadapan. Untuk kelas 10 sendiri, kami berada di lantai yang sama. Sehingga perpidahan tiap siswa ke beberapa kelasnya tidak akan memakan waktu yang lama. Berdasarkan lokasi, menurutku tidak mungkin seseorang dari jurusan IPS menitip salam ke anak IPA. Kemungkinan untuk bertemu pun sangat tinggi karena kelasku dekat dengan persimpangan tangga.
"Lo dapat salam, Jen." Ucapnya lagi.
"Oh."
"Cuman oh?" Tanyanya.
"Emang harus apa?"
"Lo jawab dong. Pakai salam hangat, salam sejahtera atau pakai balasan salam keagamaan kek. Lo kok cuman oh?"
"Gini, kelas dia kan dekat. Kenapa gak langsung bilang salamnya ke gue? Nyapa aja gitu. Kenapa harus nitip?"
"Ih, Lo tuh gak asik ya. Lo tinggal jawab pakai apa gitu. Susah banget. Dia udah bela belain nitip ke gue, Jen. Kalo dia nanya respon dari Lo? Masa dijawab oh?"
Memang benar. Aku bukan tipikal orang yang asik untuk diajak ngobrol ataupun main. Tapi bagaimana dengannya yang berbeda? Dia orangnya akraban. Tentunya tidak nyaman berada dalam kondisi yang harus menetap untuk dijawab. Jika aku yang membosankan ini terus diam dan berada di dekatnya, mungkin terasa menyesakkan. Aku hanya perlu menjawab kan? "Hmmm, ya udah. Bilangin. Salam balik."
"Nah gitu. Dari tadi bilangnya. Makasih ya. Udah gue rekam nih. Bye." Dia langsung berlari menghampiri Maria. Sudah hampir setengah jam dari bel istirahat, tapi Rossi dan Selly belum menampakkan batang hidung mereka.
"Nungguin ya," Ucap Selly sambil menunjukku.
"Sorry ya, jadinya lama soalnya diajak anak ini buat ngobrol dulu sama Nadin." Rossi menambahkan sembari menunjuk ke arah Selly dengan kepalanya.
"Hus... Gak gak gak. Tadi kebetulan papasan jadinya ya ngobrol singkat dulu, Rossi." Selly langsung duduk dan menyerahkan keresek padaku.
"Tahu gak dia ngomongin apa?" Bisik Rossi padaku dengan suara yang bisa di dengar beberapa orang terdekat. "Dia ngomongin Jeno, Jen." Tambahnya.
"Lo bisik-bisik gitu. Kedengeran tahu." Kata Selly dengan suara yang agak keras.
"Jen, udah. Gak usah dengerin omongannya Rossi lagi. Mendingan Lo cepetan makan soalnya bentar lagi masuk." Aku mengangguk sembari membuka bungkusan pesanan tadi lalu menyantapnya.
"Ayo, ayo!!! Habiskan... Habiskan...!!!" Disisa-sisa suapan terakhir akhirnya bel pun berbunyi. Aku bergegas membuang sampah lalu bersiap menyiapkan diri agar bisa memulai pembelajaran kembali.
Memasukkan paksa semua angka ke dalam otak sudah jadi keharusan di jurusan kami. Jika kami menghindarinya dengan sengaja, poin bisa menumpuk dan kami diberi sanksi. Biarpun bukan keinginan pribadi, tapi aku harus terbiasa berhitung.
Waktu menuju istirahat terasa lebih panjang saat mempelajarinya. Ditambah dengan guru yang mengoceh tanpa henti dan tanpa memperhatikan kami. Mata-mata anak lain sudah kesana kemari dan kode rahasia tidak dia hiraukan.