Banyuwangi, 1998.
Teriakan warga mengumbar kebengisan. Langkah-langkah mereka tampak kokoh memijak bumi. Tiada satu pun raut muka yang tampak meneduhkan. Amarah seakan-akan dibiarkan berkobar dan membakar kedua bola mata. Demi satu nama, Brata.
Pria tengah abad dengan janggut dan kumis tipis itu berlarian di tepi pantai bersama sang istri. Brata tak ingin dikuliti warga dan berakhir dengan kepala terpisah dari raga. Sejak kematian saudara mudanya, Brata dituduh sebagai pelaku pembunuhan dengan media santet. Padahal, tiadalah berniat dia untuk berbuat sedemikian keji, meski seluruh harta warisan telah dihabiskan adiknya. Brata hanya ingin memberi peringatan. Namun, siapa sangka ulahnya mendapat imbuhan, entah dari mana.
“Kita istirahat dulu di sini,” ucap Brata.
Dia duduk di batu besar Pantai Triangulasi. Sementara istrinya, Lasmini, mengelesot di pasir putih. Irama embusan napas mereka tak teratur. Peluh terbit sesuka hati di kening, bahkan membasahi punggung mereka.
“Kang, kita mau lari ke mana lagi sekarang? Cepat atau lambat, mereka akan menemukan kita.”
“Bersabarlah, Lasmini! Pasti ada jalan untuk kita.”
“Jalan yang mana, Kang? Kita sudah ada di pucuk timur Pulau Jawa. Warga sudah pasti akan menemukan kita cepat atau lambat.”
Lasmini meremas-remas daster lusuhnya. Dia pun memandangi sandal jepit yang tak serasi. Satu merah, satu biru dengan ukuran yang lebih besar.
Beda halnya dengan sang suami. Setelah tindakan sembrononya, Brata telah bersiap. Pria itu membawa bungkusan—selembar kain batik yang berisi keris dan benda-benda pusaka hasil petualangannya di alam gaib selama ini—yang dianggap lebih penting daripada harta benda.
“Kamu tunggu di sini! Aku akan meminta bantuan Kanjeng Ratu.” Brata beranjak dari batu besar. Dia berjalan mendekati pesisir.
“Kanjeng Ratu. Kang, maksud Kang Brata apa? Kanjeng Ratu siapa?” Lasmini menyusulnya.
Brata membuka bungkusan. Dia gelar kain batik sebagai alas. Lantas dia duduk bersila di sana, menjajarkan benda-benda pusaka di depannya. Tiga batang dupa dia keluarkan dari bungkusan. Dengan pemantik api berbentuk balok kecil dan bersumbu, dia berupaya menyalakan dupa. Namun, angin kencang mempersulitnya. Brata beranjak menjauhi pantai dan mengabaikan pertanyaan Lasmini. Di bawah pohon besar, dia kembali mencoba dan berhasil. Kemudian, Brata duduk dan menancapkan benda beraroma wangi itu ke pasir.
Sementara mulut Brata komat-kamit merapal mantra, Lasmini beringsut mundur. Dilihatnya gelombang air laut meninggi. Angin pun berembus semakin kencang. Dedaunan seakan-akan dipaksa meninggalkan ranting, melayang, dan jatuh jauh dari pohonnya.
“Ada apa ini? Apa yang sedang dilakukan suamiku?” gumamnya.
Lasmini memeluk raga. Bibirnya bergetar. Bukan hanya disebabkan oleh dinginnya udara yang menerobos pori-pori dan menusuk tulang, tapi juga bayang yang ditanggap oleh retinanya.