Alas Purwo, orang bilang, tempat yang menjadi asal-muasal dari semua ilmu di tanah Jawa. Baik itu kesaktian maupun ilmu hitam. Konon, gua-gua yang tersebar di tengah belantara, menjadi tempat bertapa para raja. Bahkan Bung Karno juga dikabarkan sempat mampir untuk mencari wangsit.
Nyi Roro Kidul, digadang-gadang sebagai penguasa alam gaib hutan itu. Kerajaan jin, begitulah orang 'pintar' menyebutnya. Di gua Istana, memang terdapat ruang yang telah dihias layaknya bilik ratu dalam drama kolosal, ranjang lengkap dengan aksesoris kerajaan. Dia pernah mengunjunginya, dulu, ketika masih berumur sepuluh tahun.
Tak dipungkiri memang jika taman nasional itu tersohor beraroma mistis. Semua situs di internet juga membahas tentang sisi gelapnya, tanpa menilik pesona alam yang disajikan.
Putra pun mulai penasaran akan mitos yang bertebaran, tentang mereka yang tak kembali. Orang bilang, "Kalau pergi ke sana, harus dengan maksud dan tujuan yang jelas. Jika tidak, siap-siaplah dibawa ke alam lain."
Benarkah mitos itu atau sekadar bualan untuk menakut-nakuti?
Rasa penasaran yang membuncah, bergumul di hati dan mulai merasuki otak pria 25 tahun itu. Malam ini, tepat satu Suro, dia akan mencari tahu kebenarannya.
"Putra, kamu mau ke mana?" Wanita paruh baya yang terduduk di dipan, menegur. Terlihat di mata indahnya, kerut yang meneriakkan kode larangan.
"Aku ... mau ke rumah Wandra, Bu. Orang tuanya ke luar kota. Dia meminta Putra menginap di sana." Alibi yang mungkin akan diragukan, tapi kebulatan tekadnya tak boleh pupus.
Wanita itu mengernyit. "Jujur sama Bapak! Kamu mau ke mana?"
Ah, feeling orang tua memang tak pernah salah. Dia harus bagaimana sekarang? Jika berkata jujur, beliau pasti akan melarang Putra. Itu sudah jelas, mengingat bagaimana tabiat ayahnya dulu.
Darah lelaki itu ada dalam tubuhnya. Mungkin itulah penyebab mengapa Putra selalu penasaran dengan hal-hal gaib. Bedanya, dia tidak menyukai benda-benda pusaka atau percaya betul akan keberadaan makhluk tak kasat mata. Lain halnya dengan ayahnya yang begitu tergila-gila. Beliau begitu percaya akan segala sesuatu yang berbau magis.
Mungkin akibat kelamnya masa lalu. Di tahun 1998, kedua orang tua sang ayah--kakek dan nenek Putra--meninggal oleh santet, begitu pun sanak saudaranya. Perebutan tanah diduga menjadi awal mula dari peristiwa tragis. Kala itu, Putra yang masih anak ingusan, hanya bisa mengamati dalam diam. Ayahnya menyimpan dendam dan mulai berburu mustika yang diyakini sebagai tolak bala.
Hah, tinggallah masa lalu. Toh pria tua itu sudah pergi akibat ditikam penduduk kampung. Mereka mengira ayah Putra adalah salah seorang penganut ilmu hitam. Mungkin karena benda-benda keramat koleksinya. Entahlah.
Setelah kematian sang ayah, ibunya menyimpan semua barang yang dianggap memiliki aura mistis, kecuali ... benda yang ada di tangan Putra sekarang.
"Bawa ini bersamamu," ujar wanita itu.
Kalung dengan liontin berwarna hijau--hampir serupa dengan giok, tapi lebih terang. Di bagian tengah, ada motif serupa jalur Gumitir yang meliuk-liuk. Entah kenapa dia masih menyimpan benda itu.
Dunia gaib memang sulit dipercaya, bahkan Putra pun ragu untuk meyakininya. Inilah saat yang tepat bagi dia untuk membuktikan, benarkah kalung di tangan seperti anggapan sang ayah--mustika Ratu Kidul--atau hanya sekadar perhiasan. Jika benar wanita itu adalah pemiliknya, maka Putra akan mengembalikan benda yang seharusnya tidak ada di rumah.
***
"Putra, kamu yakin ini Alas Purwo? Kalau kita nyasar gimana? Balik, yuk, Put!" Wandra mencengkeram lengan Putra seperti banci. Hah, dia telah salah memilih kawan untuk petualangan kali ini.
"Katanya mau uji nyali, cari memedi, demit, dan bala kurawanya, kenapa sekarang begini? Payah!" ucap Putra sembari melajukan Civic Wander di tengah rimba.
Redup. Samar. Mereka seperti memasuki lorong panjang tanpa celah dengan senter di tangan. Belum menginjak tengah malam, tetapi aura mistis sudah terasa begitu kuat. Mungkin di sekeliling mobil butut ini telah ada genderuwo atau sejenisnya. Layaknya tamu yang disambut hangat, begitukah?
Putra mengabaikan bulu kuduk yang meremang. Pandangannya tetap fokus ke depan dan berharap tidak ada kuntilanak atau makhluk menyeramkan lain muncul di tengah jalan.
"Bray, balik, yuk!" rengek Wandra.
"Nyalakan kamera! Kita lihat, apakah ada setan narsis di tempat ini?" balas Putra.
Di tengah perjalanan, terlihat kedai kecil di kiri jalan. Bangunan sederhana berdinding anyam bambu. Putra menghentikan laju Civic. Secangkir kopi dan obrolan ringan, mungkin dia bisa menemukan informasi dari pemilik kedai.
"Permisi, Pak," sapa Putra pada pria bersurai putih yang duduk di dipan.
"Oh, Mas. Monggo ... monggo," sahut pria itu dengan senyum ramah.
Setelah memesan kopi hitam, lelaki itu duduk bersila di hadapan mereka. Tepat!
"Cuma berdua?"
Putra mengangguk, sementara Wandra asyik merekam suasana sekitar dengan handycamp.