Secret

Arineko
Chapter #33

Sebuah Keputusan

“JADI, bagaimana keadaan adik saya, Dok?”

“Saat ini tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita wajib bersyukur karena adik Anda berhasil melewati masa kritisnya. Namun, kondisinya masih lemah dan butuh banyak istirahat. Untuk itu, sementara waktu adik Anda harus bedrest selama pemulihan bekas luka operasinya. Kami juga akan terus melakukan evaluasi terapi antibiotik maupun okupasi yang dibutuhkan adik Anda.”

Dari partisi tirai itu Bagas memerhatikan wajah lesi Kara. Bagas tak sanggup membayangkan jika sesuatu yang ia takutkan seperti dalam mimpi buruknya itu akan benar terjadi pada Kara. Bak orang linglung, Bagas tiba di rumah sakit dengan lutut lemas demi mendapati para petugas code blue itu mengupayakan tindakan darurat pada Kara yang mendadak mengalami henti napas.

Bagas tidak butuh apa-apa lagi selain Kara di sisinya. Doa-doanya terjawab kontan oleh datangnya sebuah keajaiban yang tersiarkan dokter. Berangsur-angsur kondisi Kara telah dipastikan dokter bisa lepas dari ruang ICU.

“Dok, lakukan perawatan terbaik untuk adik saya. Dia sudah senang saat mulai bisa berjalan lagi. Saya ingin kejadian ini tidak menimbulkan trauma lagi untuknya,” pinta Bagas serius.

“Sejauh ini tubuh adik Anda dapat merespon dengan baik pengobatan peritonitisnya. Tentu kita berharap prognosis yang positif. Kami akan berusaha semaksimal mungkin demi kesembuhan pasien. Penting juga untuk keluarga pasien tetap memberikan suport terbaik agar jangan sampai pasien merasa stres atau banyak pikiran,” papar dokter paruh baya yang tersemat name-tag Prawira Surya Khaerudi, Sp. B-KBD pada snelli putihnya.

“Baik, Dokter. Saya pastikan Kara tidak akan kekurangan apa pun yang seharusnya saya berikan.” Bagas bergumam lebih kepada dirinya sendiri.

Dihampirinya Kara sepeninggal dokter spesialis bedah digestif itu yang harus memeriksa pasien lain. Merasakan kehadiran Bagas, perlahan Kara membuka matanya yang masih tampak sayu.

“Hei, sudah bangun? Ada yang sakit? Atau mau kakak ambilkan sesuatu? Minum?” tawar Bagas penuh siaga.

Kara menggeleng lemah. Sejenak lalu Kara menganggap dirinya masih berada di awang-awang. Kini ia merasa seperti dejavu dengan semua bentuk perhatian Bagas yang dulu juga akan sekhawatir itu ketika Kara jatuh sakit.

Ah, tampaknya efek bau rumah sakit ini terlalu menyulitkan Kara untuk membedakan mana mimpi dan mana kenyataan. Benar juga, satu-satunya kenyataan yang menyebabkan dirinya bisa berada di rumah sakit adalah insiden penusukan itu.

“Kak Bagas—arrrgh!” Kara lupa dirinya sedang tidak dalam izin sembarangan refleks bergerak karena perban yang membalut perutnya tersebut.

“Kamu jangan banyak bergerak dulu,” ujar Bagas membenarkan posisi tidur Kara kembali.

“Kak ... Pak Hadi ....” Ya, itu yang ingin Kara katakan saat mengenali sosok di balik penyamaran itu.

Bagas mengembuskan napas, lalu menduduki kursi di samping bed pasien Kara. “Polisi sudah menangkapnya.”

“Selama ini aku pikir Pak Hadi orang yang baik. Ternyata Pak Hadi bukan aja mau menguasai perusahaan papa, tapi juga berniat mencelakai Kak Bagas,” gumam Kara tercekat.

Bagas bisa memahami kekecewaan Kara. Sejak kecil Kara begitu menghormati Hadi Kuntoro layaknya paman sendiri. Tak heran jika mereka memiliki kedekatan hubungan. Sebaliknya dari dulu sikap Hadi Kuntoro tidak selalu sehangat itu pada Bagas. Tentu saja sekarang Bagas tahu alasan Hadi Kuntoro tidak menyenanginya lantaran sejak awal pria itu turut memegang rahasia bahwa Bagas bukanlah keturunan Dipta Wardaya. Apalagi setelah Hadi Kuntoro membaca rencana Dipta yang mendapuk Bagas menjadi oposisinya dalam merebut kursi pemimpin.

Kendati kini Hadi Kuntoro mungkin telah menyesali perbuatannya, tetapi proses hukum tetap harus berjalan. Bagas percaya setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua seperti dirinya. Begitu pula Hadi Kuntoro yang ia harap bisa menjalani kehidupan lebih baik selepas dari penjara.

“Kak Bagas, maaf kalau keberangkatanku ke Swiss jadi tertunda. Tapi Kak Bagas nggak perlu repot-repot menjagaku di sini kalau cuma kakak rasa ini adalah utang. Aku menolong Kakak itu ikhlas. Kakak jangan khawatir, aku nggak akan ingkar sama perjanjian kita.”

“Tidak, kamu tidak boleh ke mana-mana. Lupakan soal Swiss, janji, atau kesepakatan apalah itu. Kara, kembalilah ke rumah. Itu rumahmu.”

“Kak Bagas serius? Tapi, kenapa?”

Tidak segera menjawab, Bagas menangkup hati-hati punggung tangan Kara yang dipasangi selang infus. Di tengah tenggorokannya yang mendadak tercekat, ia menyusun kata-kata untuk mewakili setumpuk penyesalan bercampur rasa malunya pada Kara.

Lihat selengkapnya