Secret

Arineko
Chapter #34

Tidak Mau Egois

SAMBARA STABLE, satu dari top sepuluh destinasi wisata ibu kota paling memesona yang menyuguhkan keindahan bentang alamnya. Sanggraloka yang turut memadukan konsep olah raga berkuda, permainan outbound, kesintasan, seni mural, hingga bersantap kuliner khas nusantara ini diprakarsai oleh pengusaha retail ternama, Dipta Wardaya. Meski awalnya hanya dijadikan area berkuda pribadi, seiring berjalannya waktu Dipta Wardaya mulai memperluas tanah di sekitarnya hingga dibangun sebagai wahana wisata untuk umum.

Dipta telah membaliknamakan kepemilikan Sambara Stable kepada putra bungsunya, Wengi Askara. Kala itu Dipta berharap dengan tanggung jawab yang diserahkannya, maka Kara bisa segera meninggalkan mimpinya di jurusan seni rupa. Namun, taktik Dipta tersebut alih-alih tetap gagal mengubah pendirian Kara.

Kendati demikian, Dipta tahu putra bungsunya yang gemar berkuda serta olah raga panahan itu juga tidak tinggal diam begitu saja. Kara cukup memiliki wawasan mengelola istal dan merawat koleksi kuda-kuda dari berbagai rasnya. Bahkan Kara bersama teman-teman komunitas seni rupanya juga berhasil menyulap tiap-tiap spot area rekreasi dengan beragam karya mural tiga dimensi yang hingga kini menjadi ikon tersendiri untuk berswafoto para pengunjung Sambara Stable.

Di kejauhan, Kara melihat kuda friesian yang ditunggangi Bagas sudah kembali memasuki arena pacu. Tampak kakaknya itu sangat puas bisa membawa Jerry berkeliling Sambara Stable. Turun dari pelana, Bagas disambut Pak Ginanjar yang kemudian membawa kuda friesian dengan warna khas serbahitam serta surai ikal panjang tergerai itu untuk kembali ke istal.

Bagas berjalan menghampiri Kara yang tengah berteduh di bawah parasol. Laki-laki yang hari ini mengenakan setelan celana serta kaus kasual dirangkap knit vest itu lalu mengambil posisi duduk di kursi lipat seberang tempat Kara.

“Kayaknya Kak Bagas mulai bisa mengambil hati Jerry,” celetuk Kara.

“Ya, kamu siap-siap saja kalau sebentar lagi Jerry bakal pilih kakak buat jadi jokinya,” sahut Bagas tertawa menggoda.

Kara berdecak menyangkal kepercayaan diri Bagas. “Siapa bilang? Aku nggak akan semudah itu melepaskan Jerry. Justru aku yang sebentar lagi bakal bawa Jerry jalan-jalan lagi.”

“Bagus, semangat seperti itu yang kakak mau dari kamu. Kakak senang pemulihan luka operasimu berjalan lebih cepat dari dugaan. Kamu tahu, kenapa hari ini kakak ajak kamu ke sini? Tempat ini hadiah dari papa buat kamu. Seperti katamu, di sini penuh dengan kenangan. Jerry dan Sambara Stable masih butuh kamu, Ra.”

Semenjak keluar dari rumah sakit dan pulang ke kediaman Wardaya, Kara semakin banyak melihat kesungguhan Bagas yang berusaha mengembalikan nama baik serta ketenteraman keluarganya. Dalam kunjungan mereka ke makam sebelumnya, Bagas menumpahkan segala penyesalan atas sikap dan perbuatannya yang sangat memalukan itu di depan pusara Dipta dan Erika. Kara yakin kedua orang tuanya sudah benar-benar tenang sekarang karena tidak ada lagi sekat pertentangan antara dirinya dan Bagas. Pun, di makam Abidin dan Risma, orang tua kandung yang tidak pernah Bagas jumpai. Bagaimanapun Bagas terlahir ke dunia berkat mereka. Jalan mengikhlaskan pada yang telah pergi adalah sebagian bentuk keimanan seseorang pada qada dan qadar.

Lalu perihal perusahaan, Bagas sendiri telah mengumumkan secara langsung rahasia dirinya bukanlah putra kandung Dipta Wardaya dalam Rapat Umum Pemegang Saham. Penetapan penerus Wardaya Corporation berdasarkan hierarki keturunan yang telah terjaga selama lebih dari tujuh dekade lantas menjadi keputusan sulit dalam sesi pemungutan suara. Tentu saja banyak pihak lebih menginginkan Kara yang merupakan satu-satunya keturunan Dipta Wardaya diangkat sebagai pengganti sang ayah. Namun, Kara yang turut hadir dalam rapat tersebut justru menjadi orang pertama yang memberikan hak suaranya untuk Bagas.

Sebagaimana amanat ayahnya dan demi keberlangsungan Wardaya Corporation, Kara meyakinkan di depan semua anggota dewan agar tidak menutup mata dengan kinerja Bagas selama ini. Memang tidak dapat dimungkiri bagaimana kompetensi Bagas memberdayakan sistem perekonomian digital di era sekarang ini mampu meningkatkan kualitas pasar modern, menjangkau lebih luas kemaslahatan khalayak ramai, dan artinya tingkat retensi karyawan ikut terlaksana. Apalagi hanya Bagas orang yang berani melawan Hadi Kuntoro serta membereskan semua kekacauan akibat sepak terjang pria diktator itu. Maka, keputusan pamungkas dengan tetap mempertahankan Bagas sebagai CEO diperoleh usai banyaknya suara yang kini mendukungnya.

Buku sketsa yang tergeletak di atas meja parasol sejenak menyita perhatian Bagas. Di detik berikutnya, ia sudah antusias membolak-balik lembaran kertas yang dipenuhi coretan gambar Kara itu. Selagi menunggunya berkuda tadi, rupanya Kara menyelesaikan gambar lanskap arena pacuan kuda dengan latar belakang pepohonan pinus yang menjulang tinggi.

Keterampilan teknik perspektif. Detail yang realistis. Bagas tak pernah meragukan bakat seni rupa Kara sejak adiknya itu mulai memegang kuas pertamanya di usia tiga tahun. Saat duduk di bangku TK, Kara kian menunjukkan minat yang besar dengan mengikuti berbagai perlombaan menggambar. Namun, kegemaran Kara itu lama-kelamaan mulai meresahkan Dipta. Sebagai ayah yang ingin menyiapkan penerus kerajaan bisnisnya yang sudah turun-temurun, sangat muskil bagi Dipta mendukung adanya seniman di keluarga Wardaya.

Larangan keras ayahnya membuat Kara terpaksa bermain kucing-kucingan. Hingga suatu ketika dari sebuah pameran, Dipta sengaja membeli lukisan scribble berjudul 'Rahasia’ karya Arutala hanya demi membuktikan bahwa Arutala adalah Kara. Tak tanggung-tanggung lagi dengan berangnya Dipta merusak dan membakar lukisan yang sempat mendapat pujian kurator galeri seni rupa nasional itu.

Tangan Bagas terus membalik satu demi satu halaman buku sketsa. Tiba pada sebuah lembar halaman, sekejap ekspresinya termangu mendapati hasil karya Kara yang terasa tidak asing.

Sebuah sketsa faceless. Ciri khas Kara saat menggambar tokoh wajah dengan teknik scribble-nya. Dalam coretan yang menonjolkan garis-garis arsiran tidak beraturan itu tampak sketsa seorang pemuda—mungkin—berambut pendek sebagaimana laki-laki. Namun, anehnya ada kesan jelita yang coba disampaikan si pelukis. Lantas, siapa sosok yang digambar Kara itu? Mungkinkah ....

“Oh, saya bisa menyetir lebih cepat lagi, kok, Pak. Saya pastikan dalam waktu kurang dari lima belas menit kita sudah akan tiba di kantor.”

Sopir itu!

Oh, Bagas tidak bisa lagi menyebut Ageng atau perempuan yang selama ini mengecohnya dengan penampilan laki-laki itu sebagai sopirnya. Bagas baru ingat keberadaan Ageng saat mengejar Kara ke bandara. Begitu pula saat Kara dilarikan ke rumah sakit. Gadis itu masih setia menunggu Kara di depan ruangan antara hidup dan mati. Bagas tak mengira hubungan mereka akan jadi sedekat itu. Sekarang ia mengerti kenapa Kara mati-matian melindungi Ageng dari ancaman kolotnya.

Jadi, apa yang harus Bagas lakukan pada hubungan mereka?

“Kak Bagas, ponsel kakak bunyi.” Nihil respons. Kara mengernyit. Dipanggilnya sang kakak dengan suara lebih keras. “Kak Bagas!”

Seruan kedua Kara itu akhirnya baru menyadarkan Bagas dari pikirannya yang terlalu sibuk sendiri. “Ya? Kamu panggil kakak?”

“Ponsel Kak Bagas bunyi dari tadi.” Kara menunjuk dengan dagunya ponsel pintar yang tergeletak di atas meja parasol.

Pada layar alat komunikasi berbentuk pipih itu Bagas melihat nama Irena. Bimbang sejenak, Bagas lalu memilih mengabaikannya saja.

Lihat selengkapnya