“Ada toilet disini?”
Selina yang duduk di kursi lapangan belakang menoleh ketika terdengar suara. Sebenarnya dia sudah mengenal suaranya, hanya saja dia spontan menoleh dan sesuai dugaannya Arghi yang datang. Arghi kemudian duduk di sebelahnya. Kursi yang didudukinya memang tipe kursi panjang yang bisa diduduki dua orang.
“Tahu aja sih kamu aku disini,” kesal Selina. Padahal dia hanya ingin sendiri.
“Takut lo macem-macem.”
“Emang aku bakal ngapain?”
“Bunuh diri.”
“Arghi!” Selina melayangkan pukulan di lengan Arghi. “Ya kali aku begitu. Cuman masalah begini.”
“Siapa tahu,” ucap Arghi santai. Dia tentu saja hanya bercanda tadi.
“Kamu kenapa bisa tahu aku ada disini?” tanya Selina setelah mereka diam beberapa saat.
“Feeling,” jawabnya santai. Sebenarnya dia menduga, memang dari feeling.
Lapangan belakang saat istirahat seperti ini memang sepi, jadi digunakan untuk merenung sangat baik, tidak ada yang menganggu. Dengan posisi Selina yang mungkin tertekan atau kesal dengan banyaknya tuduhan dan kejadian kemarin, dia akhirnya memutuskan untuk sendiri dan Arghi memutuskan untuk menemani agar pacarnya tidak merasa sendiri.
“Lo bisa ceritain apa aja ke gue, enggak usah dipendam,” ucap Arghi.
Selina menoleh sejenak kepada Arghi yang memandangnya. Arghi menatapnya lekat seakan meminta untuk bercerita saja. Selina akhirnya menghela napas, seakan tidak memiliki pilihan lain. Lagi pula tampaknya lebih baik dia bercerita dibanding dipendam sendiri.
“Gak papa sih sebenarnya. Cuman aku kesel aja, sedih juga reputasi aku jadi kelihatan jelek banget,” ucapnya dengan wajah lesu. Dia akhirnya jujur. “Terlebih aku kan pacar kamu, idola satu sekolah, jadinya makin banyak yang ngomongin aku. Kebanyakan nyinyir.”
“Pas kita tadi lagi berusaha nyari orang buat dapet informasi aja aku denger banyak yang ngomong jelek tentang aku. Aurel terang-terangan aja berani. Pada bilang aku enggak pantes sama kamu.”
“Ya lo enggak usah denger. Orang-orang itu cuman iri sama lo. Kalau emang kebanyakan dari penggemar gue, berarti mereka iri karena lo pacar gue.”
“Semua enggak semudah itu dilupakan Arghi. Ngelekat di hati.”
“Hm, emang. Kalau emang enggak bisa lupain, cerita ke gue. Lo harus cerita, jangan mendem sendiri makin sesak.”
“Iya,” jawab Selina. Lesu sekali.
Arghi menyadari kalau Selina masih sedih. Tentu saja karena reputasi baiknya dipertaruhkan disini. Arghi kemudian semakin mendekat. Selina terkejut ketika Arghi mendadak memegang kepalanya, kemudian dengan sengaja disandarkan ke dada bidang Arghi.
Selina menelan ludahnya sendiri karena dapat merasakan dan bersandar di dada bidang Arghi. Sebenarnya ini bukan pertama kali, hanya saja rasanya masih sangat mendebarkan seakan baru pertama kali merasakannya.
“Gue janji sama lo gue bakal ketemu pelaku sebenarnya, gue gak akan nyerah.”
“Tapi mendingan nyerah deh, Ghi. Kayaknya enggak bakal hasilin apa-apa.”