Mereka akhirnya pulang ke rumah. Selama dibawa ke parkiran, Selina seperti mayat hidup, dia benar-benar hanya mengikuti Arghi yang menarik tangannya karena Selina hanya diam—efek terkejut sehabis dicium Arghi. Arghi mendadak sekali ciumnya. Sampai di parkiran dan jalan, Selina seperti kembali lagi dan malah berteriak-teriak katanya malu dan tidak habis pikir, tapi ulahnya membuat Arghi malu karena banyak orang yang melihatnya sepanjang jalan.
“Ih Arghi! Malu tahu di kelas tadi! Kamu juga kenapa ya? Sakit? Tiba-tiba cium aja, main nyosor!”
Selina bahkan masih protes sampai mereka sudah sampai di rumah tetangga Selina. Biasanya Arghi sering parkir di tembok seperti perbatasan antara rumah Selina dan tetangganya. Tetangganya juga selalu kerja, jadi jarang di rumah. Tidak masalah juga tetangganya jika Arghi atau Selina biasanya turun di depan rumahnya.
“Nanya terus lo, gue udah jawab tadi. Kayak enggak suka banget gue cium.”
“Ya suka lah!” jawabnya, jujur sekali. “Cuman kan kaget, malu, jangan depan teman-teman dong.”
“Lo bisa malu, tapi di jalan daritadi gak tahu malu.”
“Hah? Maksudnya?”
“Lo teriak-teriak pas ngomongin cium-cium itu, jadi banyak yang ngelihat dan denger. Makin banyak orang yang tahu gue habis cium lo.”
“EH! BENER JUGAK!” teriak Selina langsung. “IH ARGHI! GIMANA DONG! UDAH BANYAK YANG TAHU!”
“Ya biarin aja,” ucap Arghi. Santai sekali membuat Selina mendengus.
“Ya tapi—”
Selina berhenti bicara ketika Arghi meletakkan jarinya di bibir Selina. Jarak wajah yang dekat membuat Selina spontan menelan ludah dengan jantung yang berdebar. Arghi menguji jantung sekali hari ini. Beberapa hari ini memang Arghi semakin dingin, maksudnya adalah dia hanya berbicara jika benar-benar penting. Tidak seperti dulu yang masih bisa merespon candaan teman-temannya. Dia sekarang banyak diam seperti punya masalah. Teman-temannya juga tampaknya tahu sesuatu, tapi berusaha menyembunyikan.
Hanya saja ketika berbicara, dia tidak terlalu singkat seperti dulu, seperti sudah mendapat hidayah. Sikapnya juga menjadi tidak terduga seperti ini. Seperti pria romantis pada umumnya, aslinya tidak sehangat pria romantis.
“Ayo masuk,” ucap Arghi setelah Selina diam. Dia kembali menarik tangan Selina dan Selina dengan pasrah mengikuti.
Tapi Selina berhenti ketika Arghi mendadak berhenti. Ingin bertanya ada apa, tapi tatapan Arghi singin sekali memandang kedepan. Selina ikut memandang kedepan dan dia terkejut melihat siapa didepan rumahnya.
“Eh-Eh, itu anggota Blood Kick kan? Nero?”
Selina ingat Nero karena saat berdua dengan Vino atau sedang mengobrol, Vino sering membahas Nero sebagai temannya. Pria bijaksana, baik, dan lain sebagainya katanya. Selina juga tahu wajahnya karena Nero pernah membantunya dan Vino.
Nero menoleh, bukan hanya Nero, tapi juga Jero dan Vino yang berdiri didepan Nero, jadi mereka seperti membentuk lingkaran. Mereka ada di depan pintu rumah Selina, di jalan setelah masuk pagar.
Arghi berdiri didepan Selina dengan tatapan dingin ke Nero. “Ngapain lo disini?” tanyanya langsung.