“Bangun juga,” ucap Arghi melihat Selina sudah terbangun dari tidurnya.
Dia buru-buru membantu mengambil kain Selina di dahinya, kemudian membantu Selina yang hendak duduk, meletakkan bantal di punggung kasur dan Selina bersandar di punggung kasur dengan bantal itu. Selina melihat jendela, sudah malam ternyata, dia padahal tadi tidur jam 2, ketika melirik jam sudah pukul enam, sudah empat jam dia tidur. Setelah minum obat tadi, dia benar-benar mengantuk. Obatnya dia yakin Arghi membelikannya dan tidak mau uang untuk membeli obat tadi dikembalikan oleh Jero.
Dia sudah hafal sekali tabiat Arghi. Tadi saat pulang, untungnya berkat jas hujan, tubuh Arghi tidak basah, yang terpenting kepala tidak terkena air hujan dan memang tidak kena. Celananya saja yang basah karena hujan dan dia sudah diganti seragam sekolahnya dengan kaos biasa dan celana jeans.
Arghi sudah memprediksi dia akan kena hujan dan disuruh berganti baju. Dia memang sudah meminta adiknya mengantarkan kaos dan celana untuknya pulang sekolah tadi. Memang bajunya hanya kena sedikit, tapi dia ganti juga seragam sekolah dengan baju biasa. Aneh kalau hanya memakai celana jeans dengan seragam sekolah.
“Ghi, kamu kok masih disini? Udah malem,” ucap Selina melihat Arghi disini.
“Jagain lo.”
“Ih, pulang aja gih, udah malem. Bang Jero bisa jaga kok,” ucap Selina. Tak enak dijaga Arghi sampai malam seperti ini. Sudah lama sekali Arghi disini, sejak pulang sekolah.
“Bang Jero lagi kerja kelompok. Temennya masukin dia ke kelompoknya tadi walau Bang Jero gak masuk. Gue yang jaga lo.”
“Mama?”
“Udah pulang, cuman lagi tidur, kayaknya kecapean. Gue gak bisa ninggalin lo dulu.”
“Tapi—”
Selina berhenti berucap ketika Arghi meletakkan tangannya di keningnya, memeriksa suhu. Arghi tersenyum tipis merasakan kening Selina memang masih panas, hanya saja tidak sepanas tadi, sudah cenderung hangat. Setidaknya sudah jauh lebih baik.
“Udah turun panasnya, masih anget aja. Masih pusing?”
“Iya, kliyengan gitu. Tapi udah gak kayak tadi, rasanya tadi pas muter aku udah di dunia lain,” jawabnya membuat Arghi harus menahan tawa.
“Ya udah, ganti baju dulu ya, baju lo berkeringat banget. Gue keluar, nanti panggil aja kalau udah selesai. Bisa kan ke kamar mandi? Atau mau gue minta—”
“Bisa kok. Ya udah, kamu keluar aja.”
Arghi mengangguk. Walau khawatir, tapi tidak punya pilihan lain. ”Habis ganti baju, lo harus minum obat. Gue beliin makanannya.”
“Bakso!” pekik Selina langsung. “Aku mau makan bakso.” Tampaknya memang Selina sudah lebih sehat. Napsu makannya sudah kembali. Tak apa, itu bagus. Tak masalah makan bakso, yang penting tidak memakai cabai.
“Ya udah, gue pesen online.” Arghi tidak bisa membeli sendiri tentu saja, tidak mungkin dia meninggalkan Selina sendiri.
Dia akan memesan baksonya tanpa bihun, jadi hanya nasi, kuah, dan bakso. Walau napsu makannya sudah kembali, dia yakin pasti Selina hanya makan sedikit, kepalanya masih pusing, pasti tubuhnya masih belum sembuh sepenuhnya, tubuhnya juga masih hangat. Dia akan meminta banyak sayur sebagai ganti bihun saja.
“Oke! Pake cabai yang banyak ya!”
Seketika Arghi menoleh dengan tatapan tegasnya. “Lo sakit begini masih mau pakai cabai? Gak!”
“Dih, mana enak gak pakai cabai?”
“Lo masih belum sembuh. Gak.”
“Tapi Ghi—”
“Jangan sampai gue kasih minum alpukat,” selanya membuat Selina bergidik nyeri.
Alpukat. Dia sangat tidak menyukai minuman itu sejak kecil karena pernah meminum alpukat yang rasanya sangat pahit, sampai dia muntah. Sejak saat itu, dia benar-benar membenci alpukat. Arghi tahu itu, dan dia sekarang malah menggunakan alpukat sebagai ancaman.
“Apaan sih ngancemnya? Pake alpukat, bisa demam lagi aku.”
“Ya udah, kalau gak mau makan bakso gak pakai cabai, minum alpukat aja.”
“Ck! Ya udah, bakso aja, bakso,” kesalnya.