“Ghi!”
“Arghi!”
“Kak!”
Arghi tidak merespon panggilan keluarganya kepadanya sama sekali, terlebih Arga. Dia melihat Alya, ibunya benar-benar khawatir padanya, memegang wajahnya yang pipinya memar. Dipukul lagi oleh Jero. Hampir setiap hari rasanya dia dipukuli, semua karena Arghi bertekad datang ke rumah Jero terus-menerus.
Sudah beberapa hari dia dan Selina seperti ini atau bahkan sudah seminggu lebih? Entahlah. Arghi tidak menghitung.
“Astaga, Arghi. Kamu bandel banget! Mama udah bilang, enggak usah dateng lagi. Kamu pasti dipukulin. Udah cukup, Ghi,” ucap Alya khawatir.
Dia tidak bisa menahan kekhawatirannya, dia tahu setiap kesana pasti akan mendapatkan pukulan dari Jero. Alya tidak marah karena tahu Selina pasti sangat sedih dan yang dilakukan Jero itu wajar. Sebenarnya satu keluarga tahu mengenai taruhan ini kecuali Rian. Melihat Arga dan Arghi bertengkar karena ini juga lumayan sering. Mereka sudah menduga sebenarnya akan seperti ini, kecuali Rian. Rian benar-benar marah mengetahui hal ini dan itu reaksi yang sudah bisa Arghi dan Arga duga. Itu penyebab mereka tidak memberitahu Rian.
Sebenarnya Arghi dan Arga tidak berniat memberitahu siapapun, hanya saja Alya dan Aluna kebetulan mendengar ketika mereka bertengkar mengenai masalah ini. Alya sudah meminta mereka memberitahu, tapi Arghi mengatakan akan memberitahu ketika waktunya sudah tepat. Tapi sekarang akhirnya beginim
Alya dan Aluna akhirnya hanya bisa membantu Arghi dan Arga saat itu. Arga terus memilih pergi dari rumah ketika Arghi dan Selina mampir kesini dan Alya, Aluna akan menutupi. Untung saja Rian selalu bekerja di siang hari, jadi semuanya aman.
“Iya, Kak. Mungkin Kakak sama Kak Selina udah enggak jodoh. Berhenti aja,” sahut Aluna.
“Ma, Aluna, enggak usah hentikan dia,” ucap Rian dingin membuat semua menoleh padanya.
Rian menatap Arga dan Arghi dingin. Dia sama sekali tidak menghampiri Arghi, dia duduk di sofa ruang tamu sejak tadi dan tidak beranjak sama sekali. Dia marah karena mereka bisa melakukan itu, marah juga kepada Alya dan Aluna yang tidak memberitahu apapun. Walau Alya sudah menjelaskan karena dia takut Rian akan marah dan semua dihadapi dengan emosi. Seperti waktu itu dan sampai sekarang dia masih marah denga kedua putranya.
“Semua salahnya, buat apa kalian peduli? Justru kalau dia pria sejati, dia bakal terus berusaha, bukan menyerah. Itu konsekuensinya. Kalian enggak tahu, Selina pasti lebih sakit dari dia.”
“Rian, kamu tega lihat anak kamu seperti ini?”
“Kenapa memang? Apa kamu enggak pernah mencoba membayangkan gimana kalau kamu di posisi Selina? Coba aja kamu bayangkan, kalau kamu udah bayangin, kamu pasti enggak akan membela anak kamu, Alya. Dia salah. Kalau saya jadi Jero, saya bisa pukul dia sampai gak bangun sekalian.”
“Tapi Rian, Selina salah paham, semua—“
“Ma.” Arghi memegang lengan Alya membuat Alya menoleh. Arghi memberikan senyuman tipisnya. Tipis sekali, kemudian menggeleng. “Gak papa. Biarin aja. Papa benar.”
“Ar—“
“Makasih udah khawatirin aku, Ma. Aku enggak akan nyerah buat dapetin Selina lagi,” sela Arghi. Dia kemudian memandang Rian. “Pa, maaf—“