“Makasih, Kak,” ucap Aluna setelah menerima gelas berisi minuman cokelat kesukaannya. Dia tidak menyangka pacar Arghi—ah ralat, pacar kedua kakaknya—menghafal jelas minuman kesukaannya.
Selina hanya mengangguk. Walau terkejut dengan kehadiran Aluna yang tidak terduga, dia tetap saja menyambut. “Jadi mau ngomong tentang Kakak kamu?” tanya Selina, tanpa basa-basi.
Aluna meletakkan minuman cokelatnya yang sisa setengah di meja. “Iya, Kak. Penasaran juga sama rumah Kakak, biasanya kan Kakak yang ke rumah aku,” ucap Aluna. “Kak, biasanya aku enggak mau loh ngurus masalah Kak Arghi sama sekali. Cuman sekarang aku sampai turun tangan karena masalahnya menurut aku udah parah. Dampaknya besar buat Kak Arghi.”
“Dampaknya ke aku juga gede, Lun,” ujar Selina. Suaranya lirih. Selina menunduk. “Aku sayang banget sama Kakak kamu. Tapi tahu aku cuman taruhan, ya sakit hati.”
“Iya, aku tahu kok.” Aluna menyandarkan tubuhnya di sofa. “Kak, Kak Arghi itu ya beneran nyesel banget. Papa awalnya kan di pihak Kak Selina, jadi ya kayak membela Kak Aluna, gak peduli sama Kak Arghi, bilangnya itu pantas didapatkan. Cuman Papa juga mulai luluh sekarang, padahal awalnya dia nyalahin Kak Arghi sama Arga.”
Rian orang yang keras kepala, tegas saja bisa luluh. Dia mulai bertanya bagaimana keadaan Arghi, masuk ke kamar Arghi dan memberikan nasihat.
Selina terkejut. “B-Bentar, jadi Om Rian awalnya kayak dukung aku dan malah nyalahin Arghi? Jadinya bela aku?” tanyanya tak percaya dan Aluna mengangguk.
“Tapi enggak sama Kak Arga.”
Selina mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Karena menurut Papa, Kak Arga enggak menyesal. Kakak kan pacarnya, pasti Kakak bisa bedain siapa yang dateng ke rumah Kakak terus, Arga atau Arghi.”
Selina terdiam sejenak. Dia menunduk sejenak. “Arghi,” jawabnya kemudian, terdengar lesu.
Aluna tersenyum. Ternyata pacar kakaknya memang bisa membedakannya. “Menurut Kakak, kira-kira Kak Arga dateng berapa kali kesini?”
Selina memandang Aluna. “Satu?” jawabnya. Tidak yakin juga.
Aluna tersenyum dan mengangguk. “Iya. Cuman sekali. Terus dia gak pernah dateng lagi kan? Itupun gak lama banget kayak Kak Arghi. Ya kasarnya, dia gak mau berjuang lebih keras. Cuman sekali, dia anggap itu udah cukup. Dia juga dipukul sama Kak Jero, terus dia anggap udah gak ada kesempatan, percuma ngejar. Pulang cuman bawa luka.”
“Tapi Kak Arghi gak sama pemikirannya. Dia mau ngejar Kakak terus sampai Kakak mau denger penjelasannya. Dia gak mau pisah dari Kakak. Kelihatan banget dia suka sama Kakak. Kak Arga sama Arghi sama-sama suka sama Kakak, cuman Kakak bisa menilai. Ngerti kan maksud aku?” tanya Aluna dan Selina hanya mengangguk sebagai respon. Sebenarnya masih mencerna.
“Aku rela dateng dan ngomong panjang lebar begini karena aku gak tega. Kak Arghi juga kayaknya mulai sakit, tubuhnya agak hangat pas diperiksa sama Mama, tapi dia masih kesini. Cuman hari ini, enggak dibolehin, disuruh istirahat dulu. Selain itu, aku jadinya punya kesempatan kesini.”
Pantas saja Arghi belum datang, padahal biasanya dia sudah datang jam segini. “Dia sakit?” tanya Selina. Tak bisa menahan kekhawatirannya.
Aluna menahan senyum. “Nggak, paling karena maag aja. Dia makan juga, cuman gak terlalu banyak, cenderung sedikit malah. Kalau gak dipaksa, Mama, enggak bakal makan. Juga stress juga mungkin jadi pengaruh, banyak pikiran, kurang tidur, jadinya gitu.”
“Ohhh.” Selina lega mendengarnya. Seharusnya tidak begini.