“Sel! Bangun cepetan!”
“Udah kok, Ma!”
“Ya udah!”
Selina hanya tersenyum tipis mendengarnya. Dia memang meminta tolong Zaylnda untuk membangunkannya jam 7 pagi, takutnya dia belum terbangun atau tidak bisa terbangun karena kemarin PR di sekolahnya banyak sekali. Dia mengerjakan sampai tengah malam. Tapi ternyata dia terbangun jam 5 dan akhirnya siap-siap.
Hari ini dia memakai baju serba hitam. Selina kemudian melirik ke foto yang ada di nakas, tersenyum, dan mengambilnya. Fotonya dan Arghi. Dia merindukan pria itu.
“I miss you,” lirih Selina. “Udah lumayan lama, Ghi. Dua tahun lebih hubungan kita. Tapi tetap aja masih buat aku sedih, bahkan kamu tega ninggalin aku,” sambungnya dengan senyuman mirisnya.
Selina menghela napasnya. Kemudian melirik ke arah lampu tidur yang pernah dibelikan Arghi padanya. Seharusnya saat itu dia membuang semua barang-barang yang pernah diberikan Arghi kan? Awalnya memang begitu. Tapi kotak yang berisi barang-barang Arghi, malah akhirnya diletakkan di bawah ranjang. Dia tidak bisa membuangnya. Setelah kecelakaan Arghi, dia akhirnya kembali meletakkan barang-barang yang pernah diberikan Arghi di tempatnya. Dia tidak ingin melupakan Arghi. Dia sudah mengurungkan niatnya.
Selina kemudian memegang kalung yang ada di lehernya. Kalung dengan bandul bulan. Kalung pemberian Arghi. Selina juga jadi tixak tega membuangnya. Dia malah tidak bisa tidur dan baru bisa tidur setelah cepat-cepat mengambil kalungnya di tempat sampah dan dibersihkan kembali. Dia gelisah jika membuang barang-barang pemberian Arghi.
“Setelah hari itu, rasanya aku kesel banget, tapi kangen juga. Tapi aku gak tahu, kamu kangen aku juga atau enggak.” Selina memegang bandul kalungnya. “Cinta kamu masih penuh kayak bandul ini? Kayak yang kamu bilang ke aku?”
Dia jadi ingat, momennya dan Arghi. Dia memang selalu mengingatnya. Setiap momennya dengan Arghi.
“Ghi, kamu kenapa bisa suka sama aku?”
“Harus ada alasan?”
“Iya!”
“Gue cinta aja. No reason.”
“Ghi! Pengen makan pedes!”
“Udah banyak. Makan manis aja. Nih.”
“Permen?! Kamu kira aku anak kecil?”
“Emang anak kecil kan?”
“Arghi!”
Selina menutup dengan senyuman dipaksanya. Selina kemudian meletakkan fotonya dan Arghi kembali ke nakas. Dia terdiam sesaat, memikirkan lagi kenangan-kenangan dengan Arghi. Berkesan, sampai istimewa. Tidak ada yang biasa saja. Rasanya semuanya spesial.
“Gue mau elo selalu bahagia.”
“Iyalah. Bahagia. Kan ada kamu.”
“Belum tentu, Sel. Kita pacaran, bisa aja enggak sampe nikah atau gue dipanggil duluan maybe?”
“Dih! Apaan sih ngomongnya?! Kamu mau pergi?”
“Kita gak bisa nentuin kapan kita mati. Kalaupun bukan karena mati, hubungan itu enggak ada yang tahu. Kita cuman bisa berusaha mempertahankan, tapi kalau akhirnya hancur, kita bisa apa? Gue cuman mau lo bahagia, walau gak sama gue.”