DALAM hidup ... jatuh cinta tidak hanya satu atau dua kali. Tetapi berkali-kali dengan orang yang berbeda. Sebelum pilihan stuck pada satu hati, selama itulah kamu berkelana mencari hati yang lain.
Mungkin sangat konyol. Jika pelabuhan hati berganti-ganti. Berpindah dari satu hati ke hati yang lain. Seperti itu pula yang dirasakan Angkasa Daswares, hampir setiap bulan dia putus dengan pacarnya dengan alasan yang bervariasi.
Jika Angkasa ingat-ingat. Rekor terlama dia pacaran menginjak hari ke-29, sebelum pacarnya meminta putus karena Angkasa yang tak pandai bersikap romantis.
'Angkasa memang tak pandai bersikap romantis, dia hanya pandai merangkai kata yang bersifat humoris'
"Ang, kita putus aja, yah? Kamu nggak romantis soalnya."
"Oke." Selesai. Tidak ada lagi hubungan yang mengikat mereka kala itu. Angkasa hanya lempeng karena sudah terbiasa. Banyak celah dalam dirinya yang menjadi tolak ukur si cewek.
Jika berbicara tentang sikap yang tak romantis. Angkasa juga pernah diputusin karena duitnya yang habis. Miris memang, dia dari Bandung pindah ke Jakarta untuk melanjutkan pendidikan. Sekarang sibuk mencari pasangan untuk memenuhi tantangan.
Demi mobil pajero yang diidam-idamkan, untuk mengganti avanza-nya yang sekali senggol langsung dongkrak. Walau begitu, mobil avanza itulah yang membawanya keliling kemana-mana, ngedate dengan si pacar walau berakhir mogok di tengah jalan.
Masih untung jika mogok di tepi jalan depan warung sederhana penyedia ketoprak, dan kawan-kawan. Jika kasusnya seperti itu, Angkasa dengan tenang mengatakan. "Kita makan di sana aja, yah, kayaknya enak," alibinya.
Si cewek cemberut tapi tetap mengangguk. Untung saja wajah Angkasa mendukung, jika tidak sudah tak ada harapan lagi.
Mobil avanza putih milik Angkasa melaju dengan kecepatan sedang, menerobos gelap karena penerangan yang minim. Masih untung dia sempat merawat 'Vaza' di bengkel, hingga sorot lampunya lumayan terang.
Angkasa memberikan nama khusus untuk mobil kesayangannya yaitu 'Vaza' lebih simpel dan enak disebut.
"Kenapa, nih?" Angkasa berdecak saat Vaza tiba-tiba berhenti. Mobil antik ini benar-benar menguji kesabaran. Angkasa membuka sabuk pengaman lalu turun dari mobil. Membuka kap mobil yang mengeluarkan kepulan asap.
"Sial!" Angkasa mengumpat. Waktu yang sangat tidak pas Vaza kembali mogok. Jam menunjukkan pukul satu dini hari, tapi dia justru terjebak di jalan yang sepi. Tahu seperti itu dia memilih tinggal di rumah Rafa.
Angkasa mengeluarkan ponsel dari saku hoodie-nya untuk menghubungi Rafa agar menjemputnya di sini. Namun, suara isak sayup-sayup terdengar. Penasaran, Angkasa langsung menurunkan ponselnya. Mempertajam pendegarannya saat suara isak tangis semakin terdengar nyaring.
Meninggalkan Vaza yang sedang mogok. Angkasa berjalan mencari sumber suara itu, menghampiri bangunan kecil seperti kedai, di depan bangunan itu ada sosok perempuan meringkuk dengan lutut tertekuk. Rambut panjang menjuntai nyaris menyentuh alas, bahunya bergetar dengan suara isakan yang menyedihkan.
Dia menangis.
Kening Angkasa berkerut.
Siapa cewek itu? Untuk apa dia menangis tengah malam seperti ini dan di tempat yang tidak seharusnya?
"Kunti?" gumam Angkasa. Kerutan di keningnya semakin dalam, jaraknya dengan cewek itu masih terpaut beberapa meter. Dia tidak berani untuk mendekat lebih jauh, takut-takut itu hanyalah makhluk yang berasal dari dunia lain. Tapi .... "Mana ada kunti nangis? Setau gue kunti ketawa," lanjutnya.
Hiks!
Angkasa bingung dengan hatinya yang berseru untuk berjalan semakin dekat, dan kedua tungkainya merespons. Suara isak tangis terdengar semakin dekat. Dan, cewek itu belum menyadari keberadaan Angkasa hingga tak bergeming di tempatnya.
Berdiri dengan jarak satu meter, Angkasa menghela napas panjang. "Hai, lo kenapa nangis?" Dia semakin berjalan mendekat. "Gu ...."
"PERGII!"
Kalimat kedua belum selesai meluncur dari mulut Angkasa, karena cewek itu mengangkat wajah, menunjuk Angkasa dengan bengis agar pergi meninggalkannya.
Angkasa terkejut. Dia mundur selangkah. "Nggak usah teriak-teriak bisa kali!" sungutnya.
"PERGI-- hiks."
Cewek itu masih saja menangis, memeluk lututnya semakin erat. Tatapan bengisnya dilayangkan, namun di mata Angkasa tatapan itu sangat dalam dan menyedihkan.
Angkasa tidak bergeming. Dia masih berdiri dipijakannya. Rasa penasaran membuatnya termenung menatap gadis itu. Kerutan di dahinya masih ada, bahkan semakin dalam.