Secret Between Us

Hh
Chapter #1

BAB I

“Moonlight Sonata.”

Di tengah buaian denting piano pada acara demo ekskul ini, suara Nino membuatku terseret lagi ke dunia nyata. Aku melihatnya dari ujung mata, Nino tampak melipat kedua tangannya, duduk bersender sesekali menguap. Sama sekali tidak menaruh minat.

Kupikir ia hanya sedang mengguman.

“Itu loh, nada yang sedang cowok itu mainkan.” Ucapnya lagi setelah beberapa saat aku tidak merespon.

“Kalau kau sebanyak itu tahu tentang piano, darimana datangnya rasa kantuk itu?” aku menangkapnya kembali menguap.

“Ini karena duduk di sampingmu!” Nino mengaduh ketika aku menyikut lengannya, tapi kami kembali diam karena beberapa siswa menatap tajam.

Aula sekolah disulap seperti bioskop saja. Sepi dengan satu titik jadi sorotan. Cowok pemain piano itu. Rambut dengan gaya tebal bagian atasnya itu tampak kecoklatan terkena cahaya benderang. Ada titik-titik debu kecil yang menguar dari arah cahaya, tapi kulihat itu sebagai kilauan yang membuat penampilannya semakin eksklusif. Ketika aku ingat untuk menarik napas, rasa berat begitu kentara di dada. Bahkan pesona yang ditunjukkan cowok itu melarangku untuk bernapas meski sejenak.

Dia yang duduk di atas panggung itu, yang tengah memainkan jemarinya pada tuts hitam putih itu, kurasa dialah yang menyihir kami semua. Aku dan Nino duduk pada barisan belakang, tetapi masih bisa kulihat keseriusan mimik wajahnya. Gerak punggung dan kepalanya begitu bergairah, seakan ia ingin mengatakan sesuatu lewat nada-nada. Aku tidak pernah melihat orang bermain piano secara langsung, tapi tidak semenakjubkan ini jika di televisi.

Nadanya tidak kumengerti, tapi sesuatu di dalam dadaku bergejolak. Tidak ada lirik, tidak ada musik dentuman, hanya ia dan pianonya. Jelas bukan musik yang sering kudengar, tapi aku menyukainya.

Gemuruh kagum dan teriakan kecil muncul begitu cowok itu lekas berdiri untuk membungkuk. Lagi-lagi aku tercekat, baru sadar kalau ia sudah selesai. Tanpa sadar bola mataku mengikuti kepergiannya ke belakang panggung, sampai badanku rasanya agak maju. Lantas suara cempreng pembawa acara yang tadinya membuat ramai suasana, kini tidak lagi asyik menurutku.

“Apa kita bisa pergi?” tanyaku sembari menoleh, kini merasa ajaib karena ekspresi Nino tiba-tiba saja berubah. Ia sumringah.

“Dan melewatkan demo yang paling ditunggu? Nggak, nggak bisa, kita di sini dulu.” Ucapnya menuntut. Nino memajukan badannya, memanjang-manjangkan leher meski tahu hal itu sia-sia.

Sesuatu yang membuat Nino bersemangat yang kutahu hanya makanan dan cewek cantik. Tebakan pertamaku adalah tampilnya anggota cheerleader, Nino segera menggeleng. Lalu tataboga, memangnya ada? Nino malah balik bertanya. Tapi yang keluar di atas panggung hanyalah sekumpulan orang dengan make-up seperti badut. Saling tabrak dan menutupi. Gelak tawa dan sahutan mengejek datang dari berbagai sudut, bukannya tetap profesional dengan diam dan memulai drama, salah seorang anggota teater itu maju berkacak pinggang dan balas meneriaki penonton.

Setelah aksi pianis tadi mampu membuat kami merasa damai, kedatangan teater di panggung memicu rusuh suasana.

“Ini dia, teater yang sering dibicarakan itu!” Nino menyeringai, tapi aku tahu konotasinya sangat buruk.

Setelah dipaksa panitia untuk melanjutkan atau pergi saja, para pemain di depan membentuk baris lalu menunduk. Beberapa anggota lari ke belakang panggung, sementara tersisa satu orang di depan. Ia mengenakan kostum singa, berjongkok di antara rerumputan karton. Seperti tidak peduli pada sorakan penonton, si singa itu menggerakan tangannya seakan tengah mengintai dibalik rerumputan tadi. Lalu terdengar suara rekaman bicara si singa.

Ini cukup menarik. Maksudku audionya. Suara yang dihasilkan jernih, penempatan volume musiknya sesuai. Kalau rekaman itu dibuat sendiri oleh anggota teaternya, itu berarti mereka cukup bagus.

Nino tertawa-tawa, “Senangnya bisa melihat ini di sekolah tanpa harus ke kebun binatang. Setelah singa, muncul sapi. Selanjutnya apa ya?”

Aku mengerenyit. Nino keterlaluan. Tapi benar, cerita itu tidak cukup jelas. Muncul sapi-sapi yang tidak beraturan berdirinya, saling tabrak, dan pengucapan yang tidak sesuai dengan suara dubbing. Aku berusaha menutup mata, mencoba mendengar suara rekaman itu di antara sorakan penonton. Para sapi tengah memakan rumput bersama. Singa berkata kalau ia kecewa karena tidak bisa memburu sapi jika mereka berkumpul bersama, karena kalah dari segi jumlah. Sapi-sapi tampak kompak bergandengan tangan, sesekali menyanyikan lagu yang tengah viral di media. Konyol sekali, tapi menurutku kalau ini komedia maka mereka cukup berhasil. Walaupun separuh lucu, separuh hinaan sih.

Lalu di tengah kekecewaan singa karena tidak kunjung berhasil, salah satu sapi terlihat melepas genggamannya dengan yang lain. Ia mengatakan kalau rumput di dekat lembah jauh lebih banyak dan segar dibanding yang ada sekarang. Sapi yang lain tidak setuju, menurutnya rumput di dekat perkebunan lah yang paling baik. Ada lagi yang mengatakan kalau di tempat lain sudah ada hewan lain yang menguasai jadi lebih baik tetap di sini. Akhirnya mereka berseteru dan tidak ada yang ingin mengalah. Semua ingin didengarkan dan mempertahankan pendapat masing-masing. Puncaknya para sapi berpisah. Singa lalu dengan mudah melahap satu persatu sapi.

Yah, intinya selalu menjaga kekompakan jika tidak ingin hancur. Masalah apapun seharusnya dalam tim dapat diselesaikan dengan baik dan tidak berujung cerai berai. Aku tersenyum. Meski aktingnya buruk, meski terkesan acak-acakan dan tidak jelas, aku bisa menangkap apa yang ingin mereka sampaikan melalui drama ini. Sebenarnya akan lebih baik kalau dibawakan dalam bentuk anak sekolah, atau yang lebih realitas sih dibanding berbentuk fabel begini, kesannya seperti kekanakan. Tapi harus kuakui mereka boleh juga semangatnya.

“Sudah selesai mengoloknya?” tanyaku di sela tawa Nino akibat salah satu kambing jatuh berguling di panggung.

Cowok itu mengelap matanya, “Ya ampun, kau ini tidak mengerti caranya bersenang-senang ya!”

“Arti bersenang-senang menurutku itu bukan menertawakan kelemahan orang lain.” Ucapku dan Nino mulai diam.

Ini hari terakhir masa orientasi siswa baru di SMA. Kalau tiga hari sebelumnya adalah neraka bagi siswa baru atau yang disebut ospek yang diisi materi dan tata terbit lainnya, tapi hari ini kebalikan. Lebih seperti festival. Ada bazar, berbagai stan dari macam-macam ekskul, penampilan di aula, dan masih banyak lagi. Tujuannya adalah menarik minat anak baru untuk ikut ekskul mereka sekaligus berkeliling mengenali lingkungan sekolah.

Lihat selengkapnya