Langkah kakiku terdengar seperti seretan di aspal. Rasa campur aduk menyatu dengan lelahku. Hari sudah petang begitu aku sampai di rumah.
“Aku meneleponmu, tapi kau tidak mengangkatnya.” Wajah yang sejak tadi kutundukkan kini berusaha menegak. Kulihat Nino sedang bersender pada kusen pintu sambil kedua tangannya dilipat.
“Jangan khawatirkan aku,” kukibaskan tangan. Aku menerobosnya untuk masuk, hal yang pertama kali kulakukan adalah membanting diri ke sofa.
“Ada apa? Kau kelihatan tidak baik?”
“Kau meninggalkanku, tentu saja aku tidak baik. Semuanya jadi buruk!” protesku yang terdengar seperti meracau. Kelopak mataku berat, jadi kuputuskan untuk tidur-tiduran dulu.
Aku ingat kejadian tadi. Rasanya membekas sekali.
“Ayo! Jangan malu-malu, soalnya ini kan hanya di hadapan kami!” si pengguna kostum buaya dan singa menari-nari untuk menyemangatiku. Aku semakin tidak percaya diri.
“Hentikan! Kalian membuatnya semakin merasa buruk!” maki seorang gadis yang rambutnya dikucir satu. Ia menatapku tajam, wajahnya kelihatan galak, tapi kata-kata yang ia luncurkan padaku membuatku tenang, “Sebutkan saja namamu, lalu ini semua akan selesai.”
Atas dasar kata ‘selesai’, jadi kusebutkan namaku sambil berharap ini benar-benar selesai dan aku bisa pergi.
“Sia. Namaku Sia.”
“Hanya itu?” tanya cewek yang dikucir itu. Semuanya mendadak diam untuk memperhatikanku, bahkan Ethan juga.
“Nama panjangku Akasia. Tidak bisa disebut panjang sih, tapi memang hanya itu.” Sahutku menjelaskan. Mereka saling ber-oh ria dan mengangguk-anggukkan kepala. Beberapa bilang kalau namaku unik, tidak sering terdengar, bahkan memuji.
Aku ingin bertanya apa aku sudah boleh pergi, tapi cowok dengan headset yang melingkar di lehernya mulai menanyakan bakatku. Ketujuh lainnya ikut antusias.
“T-tapi, aku tidak tahu bakat apa yang kumiliki.” Ucapku jujur.
“Tunjukkan apa saja!” ucap dua cowok kembar pengguna kostum kambing. Mereka dengan kompak berkata, “Tahun lalu kami menampilkan goyang ubur-ubur!” lalu mereka dengan senang hati menunjukkannya padaku. Kaki yang dibuka lebar, tangan merentang, lalu bergoyang seakan mereka memiliki tentakel yang bergelombang.
“Kalau aku menunjukkan ini pada mereka!” si kostum buaya mulai melakukan break dance. Ia memutar kakinya melewati tumpuan tangan, lalu kakinya di atas dengan tangan di bawah. Aku bertepuk tangan saking kagumnya. Bagus begini, ia jadi tampak konyol dengan kostum buaya di atas panggung.
Aku menatap pada si kacamata, seperti sadar, cewek berponi itu tersenyum, “Aku hanya menunjukkan karya tulisku pada mereka.”
“Dia ini otak dramanya lho!” sahut si kostum sapi yang energik. Aku mengangguk-angguk.
“Semuanya punya bakat yang berbeda. Tidak masalah kalau tidak keren, yang terpenting adalah bagaimana kau berani menampilkannya.” Ucap si wajah galak.
Aku mundur selangkah hingga sepatu belakangku menyentuh pohon. Kedua tangan kupautkan. Merasakan getaran dan keringat dingin di sana. Apa aku harus menunjukkannya meski tidak bagus? Bagaimana pun, baru orang rumah dan Nino yang mendengarkannya. Meski mereka bilang bagus, aku tidak tahu apakah itu karena memang bagus atau hanya karena ingin menghiburku.
“Kalau kau belum siap, jangan dipaksakan.” Bisik Ethan tanpa menoleh padaku.
Beberapa detik hening. Aku masih sibuk bertengkar dengan pikiranku sendiri, tentang keberanianku. Ethan seperti tidak sanggup lagi melihat ini, ia seperti bisa melihat kalau aku tertekan. Ketika ia ingin mulai bicara, mungkin untuk membiarkanku pergi saja, buru-buru kugenggam lengan bajunya.