Gelap ... sungguh, gelap.
Kamu terkapar dan terpejam. Setengah pingsan. Tidak dapat berpikir apa-apa kecuali serasa berada di awang-awang. Namun entah dari mana sebait kalimat sakral tiba-tiba terngiang dalam bawah sadarmu, bagai suara batin yang berbisik.
Bahkan ketika Tuhan hendak menciptakan manusia, para malaikat pun bertanya; Mengapa Engkau hendak menjadikan orang-orang yang berbuat kerusakan serta menumpahkan darah di muka bumi?
Kelopak matamu sontak terbuka, terarah samar-samar ke pojok ruangan berukuran sekitar 5×6 meter. Suram, temaram dan berantakan, seperti gudang bekas. Perlahan-lahan tampak semakin jelas. Kamu kembali teringat jika dirimu sedang berada di ruang bawah tanah sebuah vila.
Kamu kemudian beringsut dan bersandar pada sebuah peti perkakas, terus mengamati area sekitar sambil mengatur ritme napas. Badanmu terasa lemas, bahkan hampir tidak ada tenaga. Tatapan matamu miris, bagaikan pasien yang baru bangkit di ranjang rumah sakit.
Ya. Kamu sadar. Dirimu bersama beberapa orang lain tengah menjadi incaran pembunuhan sebelum kamu jatuh pingsan. Kamu pun cukup mengerti jika manusia adalah makhluk biadab yang akan selalu menumpahkan darah sepanjang sejarah, akan saling "memangsa" sesamanya, dalam skala global maupun perorangan.
Dengan sisa-sisa tenaga, kamu mencoba beranjak, menggapai sudut atas peti perkakas. Lihat. Kondisi dirimu sungguh memperihatinkan. Wajahmu lebam. Masih terasa perih. Kedua telapak tangan terlihat bekas luka bakar. Pun masih terasa perih. Kulit punggung, perut, siku, dan sekujur kaki terdapat luka sayatan. Pakaian yang kamu kenakan juga telah compang-camping, pada beberapa titik telah mengering bekas cairan merah pekat.
Bau anyir silir meraba indra penciumanmu. Memicu rasa mual. Ada genangan tipis dan bercak darah yang belum kering di lantai ruangan. Pengap, dan agak gelap. Kamu segera bergegas keluar ruangan guna mencari keberadaan seseorang.
Kondisi lorong ruang bawah tanah dengan sinar redup bohlam lima watt yang berderet setiap lima meter tampak masih sama. Suram dan lembab. Hening. Persis seperti yang kamu rasakan saat pertama kali datang berkunjung. Kamu terus menelusuri lorong dengan berpegang pada dinding.