SECRET CAVE

Rudie Chakil
Chapter #2

RACHEL : Dua Hari Sebelum Seseorang Terbunuh

Akhir-akhir ini kamu sering berpikir tentang kemandirian. Lebih tepatnya, bebas, merdeka secara paripurna. Wajar. Kamu mungkin sudah gerah. Sikap mereka yang suka meremehkan dan hanya ingin dimengerti membuatmu alergi. Kicau sindiran mereka yang selalu negatif thinking juga menambah beban emosi. Enggak di rumah, di kampus, di tongkrongan, bahkan di dunia maya atau di kontak pribadi. Pokoknya ada saja situasi dan kondisi yang bikin kamu stres. Padahal kamu tidak pernah memulainya lebih dahulu.

Adapun soal kemandirian dan kebebasan, sebenarnya kamu sudah memahami perihal ini sejak lama, di saat-saat baru masuk kuliah. Namun kamu paham, lari dari kenyataan cuma bisa dilakukan oleh orang-orang yang bermental payah. Kamu tidak demikian. Kamu justru ingin menunjukan citra dirimu kepada dunia.

Lusa kemarin Mamahmu bilang; Udah lah, Rachel, cukup. Ekspektasi kamu jangan terlalu tinggi.

Petuah tersebut sungguh terasa berbenturan dengan prinsipmu yang pantang menyerah. Sementara, kamu punya cita-cita besar dalam hidup, bahkan sudah memulai progres nyata meskipun baru sejengkal langkah.

Ah, sudahlah. Tatap mata fokus dengan ekspresi manis kala menikmati perjalanan menjadi pertanda dari bahasa tubuhmu yang berkata demikian.

Semenjak kecil kamu memang kerap kali bersilang pendapat sama Mamahmu. Akan tetapi, untuk yang satu ini, konteksnya sangat tidak bisa kamu terima. Kamu selalu optimistis dalam mencapai impian. Sebab tiap kali kamu melihat cermin tertampak sosok dewasa yang cantik, anggun, cerdas, serta punya sikap dan tutur kata yang bagus. Terlebih lagi kamu percaya diri dan mau berjuang. Jadi, apa salahnya berekspektasi sesuai tindakan yang sanggup kamu lakukan? Begitu 'kan menurut pemikiranmu?

Ya, sudahlah. Bagai butiran air bercampur debu pada kaca depan mobil yang tersapu wiper. Kamu segera melenyapkan beban di dalam pikiran. Cuek! Tidak peduli! Lihat nanti!

Kamu menyalakan lampu sein mobil sekaligus memutar setir ke arah kiri dengan satu tangan. Kendaraan pun berbelok. Pertigaan barusan adalah tikungan terakhir menuju rumah Niken.

Niken adalah teman kuliahmu yang paling baik, royal, tapi juga absurd, sekaligus dijuluki sebagai crazy rich di antara teman-temanmu. Hari ini kamu diundang untuk merayakan ulang tahun Veronika di rumahnya Niken.

Oh, ya ... Vero adalah orang yang memperkenalkan dirimu dengan Silvie Michael, seorang Youtubers yang dahulu kamu idolakan. Juga temanmu satu universitas. Sekarang kamu makin dekat sama Silvie, bahkan berulang kali tampil di kanal Youtube miliknya.

Sedangkan, Vero, sudah lama dia bekerja pada Silvie sebagai admin, editor, konseptor, sekaligus content creator di balik layar. Berbeda denganmu. Kamu sosok menarik, percaya diri, public speaking berkarakter, serta tidak demam panggung. Vero tidak demikian. Jika Silvie lagi bikin konten bareng kamu, pasti seru, dan view-nya juga pasti banyak.

Niken? Ah, kamu tahu lah, mana mau dia eksis di depan kamera, atau cari sampingan yang menghasilkan uang, atau berjuang untuk bisa terkenal. Dia mah murni anak sultan. Sudah tinggal menjalani hidup nyaman tanpa ada masalah apa pun.

Mobil yang kamu kendarai mulai menepi di depan sebuah rumah putih yang terlampau mewah berlantai tiga. Definisi konkret dari perumahan elit dengan jalan lebar dan bersih. Kamu melepas sabuk pengaman sambil membuka kaca depan, terus memasuki gerbang yang dibuka penuh oleh petugas keamanan tempat tinggal. Kamu melaju pelan, sekalian memandangi beranda rumah bak istana, lalu mencari parkiran di belakang mobil milik Silvie.

Ponselmu berdering, tepat ketika kamu hendak keluar dari mobil. Familier. Begitu mengangkat panggilan ponsel, suara imut bernada unik dari seorang wanita yang bertanya langsung terdengar.

"Rachel, posisi?"

Kamu jelas tahu, si-penelepon adalah Silvie, orang yang amat perfeksionis dalam pekerjaan.

"Berisik ... ini gue dah nyampe," jawabmu, sembari menutup pintu mobil.

Beberapa bulan yang lalu, rumah Niken sudah seperti tempat tinggal kedua bagimu. Seringnya bertandang sampai-sampai kamu mengenal betul bagaimana Niken Poetri Hartono beserta keluarganya. Tiada lagi rasa canggung ketika memasuki rumah. Para asisten rumah tangga di sana juga telah mengenalmu. Salah satu dari ART itu memberitahu, bahwa Niken dan teman-temanmu sudah berada di lantai tiga. Kamu pun bergegas ke sana.

Dugaanmu tepat. Mereka berkumpul di pinggir kolam renang. Area segar dan terbuka seluas 10×15 meter yang terdapat sofa untuk bersantai.

"Heiii," serumu, berjalan mendekat seraya menghitung jumlah mereka satu per satu dengan jari telunjuk. Beberapa orang melambaikan tangan. Mereka sedang berbincang-bincang.

"Ya elah, gue pikir rame, ternyata cuma delapan orang."

Lihat selengkapnya