Kamu pernah berkata; Ketika orang lain 'melakukan apa-apa yang mereka sukai', maka, kamu harus 'menyukai apa-apa yang kamu lakukan'. Itulah letak sebuah kebahagiaan.
Tertampak jam digital di dashboard mobil, pukul lima belas lewat dua puluh satu menit. Cahaya kemilau cakrawala mulai melemah, pertanda hari telah memasuki waktu Asar. Kamu masih sibuk membunuh pekerjaan demi pekerjaan yang senantiasa bikin keningmu berkernyit. Duduk di kursi depan mobil sambil menikmati laju putaran ban yang pelan mengisar.
"So, pasti, Kak, setelah ini Silvie bakal pakai produknya Kakak, tenang aja. Siap. Nanti malam tolong kirimin video yang tadi yaa. Makasiiih."
Silvie lantas meletakkan ponsel, kembali menyetir dengan kedua tangan. Kamu tentu saja menyimak pembicaraannya, sebab berhubungan dengan endors yang seharian tadi kamu kerjakan. Sebagai seorang influencer, Silvie memang berkembang cukup pesat. Dan kamu adalah sosok yang ada di belakang kesuksesannya.
"Vero ... penampilan gue tadi ada cacatnya gak?" Silvie bertanya padamu.
"Aman sih, Vie. Cuma tadi aja sedikit, pas lo hampir lupa sama kata premis." Kamu menjawab sesuai dengan kenyataan yang terjadi.
"Iya, yah, gue tuh punya kelemahan dalam mengingat kata. "Tangan kirinya menekan suhu AC mobil. "Stupid banget, gue!"
Kendaraan terus melaju memasuki sebuah gerbang besar perumahan. Silvie membunyikan klakson mobil, menyapa para petugas perumahan yang sedang berjaga.
"Panjul, lo belajar setir mobil kek, biar bisa bawa." Dia menengok sedikit ke kursi belakang. Sementara itu kamu kembali menyambut pekerjaan lain, yaitu berpikir tentang giveaway untuk akun media sosial milik Silvie. Kamu mengerti benar, dia akan segera menagih. Kamu pun menuangkan konsep giveaway berupa draft singkat ke aplikasi catatan di ponsel.
"Yaa, kalau Kakak mau minjemin mobilnya untuk belajar mah gak apa-apa." Panji menjawab santai. Laki-laki periang berusia dua puluh lima tahun yang merupakan saudara sepupu sekaligus rekan kerjamu itu juga paham bagaimana karakter si-Bos.
"Eh, emang sebelumnya gue belum pernah ngomong?" Perempuan putih berhidung mancung itu berpikir. Kamu meliriknya. Percakapan mereka mulai menggelitik pikiranmu.
"Belum, Kak. Kakak juga baru ngomong sekarang," balas Panji.
"Ya udah, besok-besok ada waktu senggang lo belajar mobil yaa."
"Oke, siap."
"Oh ya, sama belajar juga lo cari angle yang bagus. Masa musti diarahin melulu sih!"
"Siap, siap."
Kamu tertawa kecil mendengar percakapan mereka. Situasi di dalam mobil seperti ini jelas akan selalu hadir. Silvie memarahi adik sepupumu yang usianya lebih tua dari kalian berdua. Kamu juga tidak mampu membela, karena Si-Panji orangnya rada bebal. Tapi, meski demikian, dia merupakan pekerja yang rajin dan penurut. Hal positif tersebut sama seperti dirimu. Hanya terkadang, kamu seringkali terpukul ketika Silvie sudah keterlaluan memarahi Panji, dan kamu ikutan terbawa-bawa.
Kamu sering merasakan seperti ada belati tak terlihat yang menusuk ulu hatimu 'kan?
Sinis. Dalam beberapa keadaan dia memang seringkali bersikap sinis. Segala sesuatunya harus berlaku sempurna. Saking gila kerja, sampai-sampai ia tidak peduli pada risiko atau perasaan orang lain. Saking mengejar kesuksesan, tiada ragu mengorbankan norma sosial, kesehatan, serta keselamatan.
Di sisi lain, kamu cukup hebat. Dewasa dan enggak baperan. Kamu berlaku profesional dalam membedakan mana urusan pekerjaan, mana urusan pertemanan.
Begitu pula dengan Panji. Kala ia masih di kampung dan berprofesi sebagai pengangguran, kamu mengajaknya bekerja bersamamu. Anak ketiga dari tantemu itu punya sedikit bakat untuk menjadi kameramen. Sedikit pelatihan selama beberapa hari sudah lantas membuat Silvie setuju. Apalagi ada rekomendasi dari dirimu.
Masalahnya, belakangan ini Panji lebih sering menjadi tong sampah berjalan. Maksudnya menjadi tempat pelampiasan si-Silvie ketika emosinya sedang tidak stabil atau ketika sedang tertekan. Ya, begitulah risiko bekerja pada orang lain. Biasa terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta. Menurutmu, ambil positifnya saja. Perihal ini pula yang membuat mental dia bisa bertambah kuat. Dahulu kamu pernah berkata padanya; Orang yang mau dikritik adalah orang yang mau maju. Kamu berharap supaya Panji bisa menjadi orang yang lebih baik.
Simbiosis mutualisme. Seiring waktu kamu bekerja pada Silvie —sebagai sahabat juga tentunya, kamu mulai menyukai apa-apa yang kamu lakukan. Karena bisa dikatakan kehidupanmu menjadi lebih baik ketika Silvie datang dan memintamu bekerja padanya. Padahal kamu adalah teman kuliahnya.
Kamu ingat, semenjak tawaran itu pula kamu sering tidak lagi minta kiriman uang pada orang tuamu di Kabupaten Semarang. Masalah pola pikir dan gaya hidup kamu juga belajar banyak dari dia. Kamu jadi sering bertemu dengan orang-orang yang sosialnya berada jauh di atasmu. Kamu mengenal beberapa orang terkenal. Kamu pun menjalani hidup yang jauh lebih berwarna.
"Harusnya lo bersyukur, Panjul. Lo punya saudara sepupu yang sayang banget sama lo. Gue? Mana ada saudara gue yang mau beliin baju sama celana."
Beberapa saat kemudian Silvie memulai lagi dengan memberi khotbah. Selepas syuting endors tadi, dia mampir ke sebuah butik terkenal, sekadar untuk melihat-lihat. Kamu punya sedikit uang dan membelikan Panji satu stel kaus dan celana Levis. Sejak lama penampilan si-Panji memang membuatmu agak malu.
"Iya, Kak, gue bersyukur kok saudaraan sama dia. Gue juga bersyukur bisa kenal sama Kak Silvie," ujar Panji.
Kamu tersenyum karena puas dengan jawaban Panji atas petuah yang dahulu pernah kamu berikan. Menghadapi orang model Silvie, tinggikanlah harga dirinya, niscaya dia akan berubah simpatik.
Silvie menekan tuas lampu sein kiri mobil. Jalan di depan adalah tikungan terakhir menuju rumah Niken. Ah, ya, Niken adalah sahabatmu yang paling sayang sama Panji. Entah bagaimana ceritanya, Crazy Rich itu amat senang kalau nongkrong terus ada Panji. Menurut dia Panji adalah orang yang sangat polos dan tulus. Siang tadi Niken meminta kalian datang ke rumahnya, padahal kamu tahu, ia jarang sekali meminta hal tersebut. Kamu menduga, dia hendak memberi hadiah pada momen ulang tahunmu yang ke-21, meskipun jatuh pada hari Jumat besok.
"Mbak, serius ini rumahnya Niken?" Panji bertanya padamu ketika mobil hendak berbelok memasuki sebuah rumah mewah.
"Iya lah, ngapain gue belok ke sini kalo ini bukan rumahnya?" Silvie menyambar sebelum kamu sempat menjawab.