Lo femes, lo riang.
Lo kaya, lo tenang.
Lo cerdik, lo menang.
Dah kayak premis Veni Vidi Vici-nya Julius Caesar, seperti itulah premis yang melekat dalam pikiranmu. Wajar. Sangat wajar. Mengingat segalanya butuh uang, keamanan, kenyamanan, serta kebahagiaan pada kehidupan yang menuntut diri seseorang untuk menjadi lebih maju dan sukses. Yakni di masa sekarang.
Padahal sebenarnya kamu adalah orang pemalas. Suka mager. Namun karena kamu mempunyai komitmen yang tinggi untuk mencapai impian, dan sudah menemukan jalan, maka kamu menjadikan integritas sebagai habits dalam kehidupanmu. Kamu jelas ingin jadi orang sukses dan terkenal.
Ah, bagai opium yang membawa candu kesenangan pada pemakainya, tatkala situasi dan kondisi berjalan sesuai dengan apa-apa yang dikehendaki. Dalam perjalanan pulang dari rumah Niken, hatimu bersuka cita lantaran mengetahui bahwa Vero sudah membuat draft untuk konten hidden gem. Dia bilang, bahwa perjalanan besok bisa menghasilkan setidaknya sepuluh video. Dua video untuk konten atau Playlist Traveler, empat video untuk konten Histori, Kisah Misteri, dan Kearifan Lokal, dan sisanya untuk video-video pendek, atau kuliner. Dia bilang begitu. Kamu sungguh percaya pada ucapan Vero. kredibilitasnya dalam menggali ide untuk mengisi konten memang tidak diragukan.
Sebelum kedatangannya, kamu cuma menjajakan konten-konten monolog berupa kisah dalam agama samawi, kisah misteri, horor, sejarah, tokoh, dan beberapa konten hiburan lain. Dan harus kamu akui, ketika kamu melihatnya sekarang, semua itu terasa basi. Vero memberikan sentuhan lain pada setiap karyamu, memasukkan kritik serta terobosan yang baik, bahkan memberi ide-ide segar dalam banyak hal. Sampai sekarang pun kamu masih bingung; bagaimana dia bisa menemukan ide kreatif yang tak pernah habis?
"Kak Niken tadi ngobrol sama bapaknya yaa, Mbak?" Panji tiba-tiba bertanya, memotong lamunanmu dan kesunyian di dalam mobil.
"Iya, kayaknya," Vero menjawab.
"Hmmm, lo udah pernah lihat bapaknya Niken belum, Vie?" dan bertanya padamu.
"Udah ... ih, ganteng banget. Kalau bukan bapaknya Niken, gue juga mau tuh, hahaha." Kamu langsung terbayang pada perawakan bapaknya Niken. Pria matang dewasa yang tampak muda dan bersih. Vero pun tertawa kecil mendengarnya.
"Oh ya, tadi gue lupa, mau ketemu sama si-Pongki," serumu, teringat pula pada seekor anjing lucu milik Niken yang pasti kamu temui setiap kali berkunjung ke rumahnya. Kamu suka binatang, tapi jika dibandingkan dengan uang, kamu jelas lebih memilih uang.
"Heh, Panjul. Tadi Niken kasih berapa duit?" Pertanyaanmu langsung ke sana. Panji hanya bergumam tanpa kata."
"Berapa, Panjul? Takut banget gue minta sih lo!"
"Bilang aja gopek, Njul," sambar Vero.
"Gak mungkin! Udah cepetan sebut, berapa?" tegasmu.
"Satu juta, Kak," jawabnya.
"Serius? Jangan bohong lo."
"Iya, serius, Kak."
Kamu terbayang sosok Niken yang amat ringan tangan dalam masalah uang. Sampai-sampai berprasangka jika semua orang yang mendekat pada Niken hanya karena ingin benefit darinya. Tajir benaran dan dermawan. Membuatmu agak iri kepadanya. Tapi kamu tahu, hal ini tidaklah bisa diperbandingkan. Secara, dia memang sudah terlahir sultan. Sedangkan kamu musti berbangga hati, punya uang dari hasil keringat dan kerja kerasmu sendiri.
"Ya udah, habis ini lo belanja pakai uang itu dulu, nanti kalau kurang telepon gue. Oke?" Kamu menoleh kepada Vero. "Lo udah kasih list yang harus dibeli, kan?"