Selesai makan, kalian berleha-leha sebentar. Kamu mengelap lensa kacamata dengan sapu tangan, kemudian mengenakannya kembali. Tertampak dua dara jelita yang duduk di depanmu, Silvie dan Rachel. Masing-masing sibuk dengan ponsel di tangan.
"Bang Dzul," Niken yang duduk di sebelah kananmu kemudian memanggil, mengulurkan tangannya untuk meminjamkan sebuah kartu kredit. Setelah itu ia mematikan rokok di asbak. Kalian semua tahu, Niken terkadang merokok kadang enggak. Kadang nge-vape, terkadang enggak. Namun bukan cuma mengenai rokok dan vape. Dalam hal apapun dia memang suka berbuat semaunya. Pun ketika sedang di kampus. Kelakuan itulah yang mungkin bikin orang lain meradang, atau merasa kesal. Dahulu beberapa kali kamu mendengar desas-desus tentangnya. Seorang crazy rich dari fakultas hukum yang berpikiran absurd.
"Yuk, ah." Dia beranjak dan mengajak yang lain. Kamu melihat piring kotor berserakan di ujung meja panjang. Jumlah paling banyak ada di hadapan Panji. Saat tadi memesan menu makanan, Niken menawarkan si-perut kadut di samping kirimu itu untuk makan apa saja sebanyak ia mau. Tentu saja dengan mulut terbuka Panji tidak menyia-nyiakan kesempatan.
Bang Dzul kemudian membayar semua tagihan santap siang ke kasir rumah makan. Sebelumnya tak lupa pula pria berusia paling senior di antara kalian itu membuka kunci mobil dengan remote.
Hari yang cerah. Terik sinar matahari yang menyengat serasa menganggu langkah kalian. Rachel, Niken, dan Silvie berjalan keluar lebih dahulu, sementara kamu dan Panji beberapa meter jalan di belakang mereka.
Dua orang pengamen telah menunggu di area parkir dekat mobil. Kamu melihat dan mendengar si-pengamen menyanyikan sebuah tembang dari sang maestro musik sunda, Doel Sumbang, yang mereka nyanyikan dengan terpatah-patah. Lagu berjudul Ema.
"Mbak, ada recehan gak? Gue mau kasih." Panji meminta uang padamu.
Kamu lantas melihat salah satu dari mereka melakukan flirting yang buruk atau catcalling kepada tiga gadis cantik di depanmu, khususnya Niken, karena ia mengenakan kaus putih lengan pendek dengan celana short pants, ditambah pula memakai bando kuping kelinci. Kamu melihat wajah dari kedua pengamen itu tampak sangat menjijikkan.
"Gak usah, nanti gue aja yang ngasih," jawabmu.
Meski ilfil melihatnya, kamu bersyukur karena timbul inspirasi lewat mereka. Lagu Ema sepertinya bisa dijadikan background musik instastory dalam perjalanan kali ini, tinggal bagaimana mencocokannya. Tanganmu pun mengambil uang recehan.
Namun baru saja kamu akan memberikan uang, Niken menghentikan langkah, berdiri tegap seakan-akan menantang mereka untuk berkelahi. Silvie dan Rachel juga ikut berhenti. Lalu dengan wajah geram, Niken berlekas mengambil dua lembar uang seratus ribu rupiah dari dalam tas. Suara nyanyian sumbang, alunan gitar, dan pukulan gendang pun seketika berhenti.
"Kontol lo!" hardiknya, langsung merobek-robek uang tersebut. "Rugi gue mau ngasih uang ini ke lo berdua!" Setelah itu ia melempar potongan uang ke tanah, lalu melangkah pergi. Kedua pengamen itu sangat terkejut hingga tak bisa berkata apa-apa.
"Anying, sombong sekali!" Kamu mendengar celetukan salah seorang seniman jalanan itu ketika tersadar. Padahal menurutmu apa yang dilakukan Niken bukanlah perkara sombong, tetapi merekalah yang tolol. Sama sekali enggak profesional.
Kalian pun menunggu Bang Dzul di dalam mobil. Niken masih tampak sewot. Seolah-olah belum puas memberi pelajaran kepada dua pengamen genit bertampang menyebalkan itu.
"Niken, parah banget, asli," seru Silvie, memecah keheningan sambil tertawa geli, sesekali juga melihat ke arah si-pengamen.
"Buset, Niken, kaget gue, beneran. Hahahaha." Rachel ikut berkata setelahnya.
Kamu pribadi ... malahan tidak heran dengan sikap Niken yang seperti itu. Dasarnya adalah sifat dan pola pikir absurd yang tidak bisa ditebak.
Dahulu saat pertama kali bertemu dengannya, ada kejadian yang membuatmu sedikit mampu membaca karakternya.
Kala itu kamu benar-benar sedang kesal pada Silvie. Habis manis sepah dibuang. Kamu sudah bekerja sangat keras secara fisik maupun pikiran guna menuklirkan namanya di jagad entertainment. Namun, ketika kamu meminta bantuan padanya untuk biaya pengobatan ayahmu yang masuk rumah sakit, ia enggan membantu. Padahal kamu tahu, ia kuasa membantu. Pelit. Sifat dasar Silvie benar-benar pelit. Kala itu kamu amat kecewa padanya. Terombang-ambing mencari cara untuk mendapatkan pinjaman uang.
Kamu benar-benar merasa buntu ketika itu. Lalu tiba-tiba tergambar dalam pikiranmu tentang sosok Niken. Benar saja. Pada sore hari kamu bertemu dengannya di area parkir kampus. Dia sedang duduk santai sambil menunggu jemputan.
"Mohon maaf ... kakak yaa, yang bernama Niken?" tanyamu sambil berdiri di depannya.
"Iya, kenapa?" jawabnya, juga bertanya. Sorot matanya tampak dalam menghunjam. Alis matanya lentik tersambung.
"Enggak apa-apa, Kak. Saya Vero, saya cuma mau bilang sesuatu yang mungkin kurang penting," ujarmu.
"Apaan?" ia menengok, masih duduk dengan anteng.
"Semalam saya mimpi melihat kakak menangis tersedu-sedu. Maaf juga yaa kalau saya lancang menyampaikan hal ini."
Mendengar pernyataanmu itu ia agak terkejut, walau pada dasarnya ia orang yang tenang dan santai. Ia lalu memandangimu dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Lo jangan stres deh, kenal gue juga belum!" tukasnya, hendak berdiri.
"Iya, Kak, makanya tadi sebelumnya saya minta maaf." Kamu sedikit merunduk sembari memandanginya. Seketika itu juga ia kembali duduk santai.