Kamu mengiringi langkah Rachel dengan penuh percaya diri. Sudah basah, tercebur sekalian. Masalah malu urusan belakangan. Toh argumenmu hanya untuk belajar akting menjadi figuran. Terserahlah pada mereka mau percaya atau tidak. Kalaupun mereka tidak percaya, ya sudah, memang kenyataannya demikian. Karena bagimu, yang terpenting adalah kamu sudah menyatakan rasa cinta pada dara jenjang bercelana jogger pants dengan kaus pink dan kemeja flanel yang tidak dikancing itu.
Beberapa tatapan pengunjung tersorot ceria padamu. Ada yang sedikit tertawa, ada pula yang sekadar berbisik-bisik. Namun kamu jangan ge'er. Kebanyakan dari mereka sebenarnya lebih menilik pada Silvie dan Rachel, sebab kemungkinan telah mereka kenal lewat media sosial.
"Semoga film-nya sukses yaa, Jii." Rachel berkata padamu sambil tersenyum.
"Eh, iya, amiiiin. Makasih banyak, Kak," balasmu seraya mengangkat penyangga kamera, merapikan peralatan syuting.
"Paling enggak, gue udah punya gambaran." Kepalamu menunduk, tak berani bertatap pandang dengannya. Padahal kamu tahu, ia sedang berlalu sambil terus menengok.
Senyumnya ... bagimu ....
Ah, sungguh, baru pertama kali kamu merasakan cinta yang benar-benar dalam pada seorang perempuan. Rachel Sulistia, namanya. Jangan lagi untuk melihat ia berdiri sambil menatap padamu, membayangkan sosoknya saja bisa membuatmu serasa terbang. Jangan lagi mendengar suaranya yang berkata tentang sebuah rasa, jikalau mendengar irama kentutnya mungkin terdengar merdu bagimu.
Rasa cinta memang membuat seseorang jadi hilang akal.
Lucu. Kisah cintamu kali ini sungguh lucu.
Semalam Vero bilang, kamu tidak mungkin memperoleh cinta balasan, karena apa yang kamu lakukan nanti pasti akan bertepuk sebelah tangan. Ya, tentu kamu paham. Kamu cuma meminta dukungan saja, demi bisa menyatakan perasaan cinta pada sahabatnya itu. Bagaimanapun, kamu yang merasakan. Rasanya bagaikan kesusupan duri mawar.
Seperti mimpi. Kamu terus membayangkan kejadian barusan. Hati kecilmu merasa tak terima dengan kenyataan. Namun pikiran sadarmu merasa jika kenyataan tidak mungkin dapat diingkari. Setengah mati kamu coba membunuh rasa cinta di dalam dada. Bahwa seperti yang barusan kamu katakan; Kamu cukup sadar diri. Persetan dengan cerita FTV tentang supir truk yang jatuh cinta pada seorang model, atau pramugari cantik yang tergila-gila pada laki-laki cebol. Persetan!
Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Kamu tetap tegas membela pikiran sadarmu, bahkan masih bisa menertawakan diri sendiri. Alih-alih bagai pungguk merindukan bulan, sinar redupnya yang turun menerpa kegelapan saja sudah mampu menerangi malammu.
Enak banget naik mobil ini di depan. Ujarmu dalam hati, merasa nyaman dengan kursi empuk Jeep Wrangler Rubicon.
"Panjul ... sehat?"
Suara Silvie terdengar lembut menggoda. Dia tentu paham, bahwa tidak mungkin ada proyek film yang melibatkanmu sebagai tokoh figuran. Kalaupun ada, Vero pasti akan langsung mengkonfirmasikannya terlebih dahulu.
"Sehat, dong, Kak Silvie," jawabmu.
Tanpa harus melihat, kamu tahu kalau keempat makhluk betina kuliahan itu pada cengar-cengir di kursi belakang mobil. Mereka jelas hendak menggodamu, apalagi Silvie dan Niken, dua hawa nan elok yang tampak bersifat liar.
Sebenernya kamu ingin sekali menikmati pemandangan alam sepanjang perjalanan ini. Area persawahan yang terhampar di kaki-kaki pegunungan. Sungguh, sangat indah dipandang. Namun, kamu paham, tak mungkin kamu cuek ketika mereka menyapamu.
Kekenyangan. Kamu tidak merasa malu lagi sedikit pun, atau tersinggung karena sudah kenyang dirundung sama mereka. Kamu pun sungguh menganggap tiada masalah jika harus menanggung kicau penolakan dari seorang Rachel.
"Akting lo keren juga, Njul, kayak enggak lagi akting. Hahaha."
Suara yang sama terdengar lagi, malah disertai tawa. Kamu pun menengok sembari tersenyum.
"Iya, dong. Panji gitu loh."
"Tapi beneran, lo mau jadi figuran, Njul?"
"Iya ... nanti gue kasih tahu, kalau gue dah mau syuting."
Kamu cengar-cengir dan menjawab seadanya. Mafhum. Mereka tentu mengerti, jika tadi kamu benar-benar menyatakan rasa cinta kepada Rachel.
"Hahaha."
"Kalo dah jadi, lo pada nonton filmnya ya."
"Emang judulnya apa?"
"Ada deh, pokoknya ... nanti aja gue kasih tahu."
Sebisa mungkin kamu terus saja berkilah. Gigih menyatakan jika perkara tadi hanyalah sarana untuk belajar akting. Padahal kamu paham, secara tak langsung, mereka sebenarnya justru angkat jempol padamu. Tapi biarlah. Semua sudah basah.
"Ji, dengerin gue nih."
Pria dewasa di sebelahmu yang sedang memutar setir ke kanan itu tiba-tiba membuka suara.