Andaikan roda waktu dapat diputar ulang, maka tentu kamu minta mundur sedikit saja. Sungguh. Tidak usah banyak-banyak sampai ke zaman Nabi Muhammad SAW sebagai nabi akhir zaman. Cukup dua tahun lebih dua bulan saja, tatkala anak dan istrimu masih bisa bernapas dengan udara yang sama, yang kamu hirup sekarang.
Andaikan Dina dan Annisa masih hidup, dirimu tidaklah sekacau ini. Mungkin kamu tidak mengenal Niken dan keluarganya. Mungkin. Tapi tak mengapa. Surga bagimu adalah saat dahulu hidup bersama-sama keluarga kecilmu. Hal ini bukan berarti kamu tidak bersyukur karena sekarang bisa kenal dekat sama gadis kaya raya itu. Bukan. Bilamana diperbandingkan dengan keberadaan istri dan anakmu, maka uang sebanyak 271 Triliun pun tidak akan kamu pilih.
Seperti itu 'kan pikiranmu?
Sepanjang masa dua tahun berlalu, sepanjang itu pula napas yang kamu hirup terasa seperti asap neraka jahanam. Karena tiap kali kamu bernapas, rasanya semakin membuat jiwamu tertekan. Terlebih masa-masa satu setengah tahun yang lalu. Kamu sungguh-sungguh ingin menyusul dua manusia terkasihmu ke alam barzakh, bagaimanapun caranya. Kamu optimis, bahwa dunia akan tetap berjalan meski tanpa adanya dirimu. Artinya kamu sudah benar-benar pesimis dalam menjalani kehidupan ini. Namun demikian, kamu tidak mau bunuh diri, lantaran hal tersebut menjadi salah satu dosa yang paling dibenci oleh Tuhan, bahkan oleh iblis. Karena bisa jadi, anak dan istrimu masuk surga —keyakinanmu pun berkata begitu. Sementara, semisal seseorang menghilangkan nyawa sendiri, pasti dia akan masuk neraka. Jadi, bunuh diri bukanlah pilihan. Percuma. Di alam sana pun kamu belum tentu akan bertemu mereka.
Begitu 'kan menurut perasaan dan nalarmu?
Kamu menyulut sebatang rokok yang sudah tercampur ganja, lalu menyeruput kopi hitam yang masih panas. Kamu menganggap benda terlarang itu sebagai efek penenang. Begitu pula dengan Niken Poetri. Cewek yang dengan bebas bisa melakukan apa pun yang diinginkan itu benar-benar mengerti mengenai keadaanmu. Dia bersikap bukan seperti seorang majikan, melainkan sebagai seseorang yang bahkan bisa lebih hangat dari seorang teman.
Duduk santai sejenak sambil tafakur dan menikmati suasana alam memang memiliki keindahan tersendiri. Silir-semilir angin gunung yang menyisir rerumputan di halaman vila terasa sejuk mengelus kulit. Irama hutan pun makin riang terdengar bersahut-sahutan. Maka, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
Kamu lantas melihat Panji datang menghampirimu.
"Bang, gue bagi rokok lagi dong," ujarnya.
Halaaah. Modelan bocah seperti dia ini sudah ratusan kali kamu temui. Sebab kamu sering menghabiskan waktu di jalanan dan bergaul dengan banyak kalangan, kamu paham betul mengenai karakter mereka yang sebenarnya cukup asyik dalam bergaul, seperti Panji Panjul ini. Sayangnya, mayoritas dari mereka memang benar-benar kere. Hahaha.
"Ambil aja, Ji," jawabmu, mengembuskan asap rokok.