Mungkin, siapa pun tidak akan menyangka jika musik yang sedang kamu dengarkan adalah musik selera bapak-bapak, yaitu lagu-lagu Ebiet G Ade, serta deretan tembang yang sezaman dengannya. Itulah kenapa kamu tidak pernah bicara pada orang lain mengenai selera musikmu, tetapi bukan berarti kamu malu atau gengsi oleh pandangan mereka. Biar saja! Bagimu, tiada guna sedikit pun dunia tahu tentangmu. Pertama, tidak penting. Kedua, tidak penting. Ketiga, juga tidak penting.
Kamu jelas menikmati musiknya. Mendendangkan nadanya. Menelaah liriknya. Seperti angin, tak pernah diam. Selalu beranjak, setiap saat. Menebarkan jala asmara. Menaburkan aroma luka. Bersama wangi ganja yang kamu hirup di dalam kamar yang terkunci. Kupu-kupu kertas, yang terbang kian kemari. Aneka rupa dan warna, dibias lampu temaram.
Pikiranmu pun tersengat. Lagu tersebut memang diperuntukan bagi para gadis-gadis malam yang sedang interopeksi, atau diskusi sama diri sendiri. Namun bilamana ditilik lebih jauh, itu bukan hanya untuk mereka dari kalangan kupu-kupu malam. Hampir semua manusia memang tak ubahnya seperti kupu-kupu kertas, yang tidak pernah diam dan terbang kian kemari. Kemarin kamu masih di kota, merasakan kebisingan. Sekarang kamu sudah di hutan, merasakan kesunyian. Kemarin gelap, sekarang terang. Kemarin di sana, sekarang di sini.
Aku menunggu, hujan turunlah. Aku mengharap, badai datanglah. Gemuruhnya akan melumatkan semua. Kupu-kupu kertas.
Bisa juga apa yang kamu rasakan ini juga dirasakan sama kupu-kupu kertas yang lain. Rachel misalnya, yang selalu bermasalah dengan sang ibunda. Silvie, yang terus terbelenggu urusan dengan mantan pacarnya. Vero, yang punya problem dengan batiniahnya. Panji, yang sampai kini masih ngambang sama jati dirinya. Bang Dzul, yang tersiksa dengan mentalitas dan peristiwa masa lalu.
Ah, ya, untuk kupu-kupu kertas jantan yang terakhir ini sungguh menggelitik pikiranmu. Sebenarnya kamu tak pernah peduli, apakah dia bekerja padamu atau tidak. Entah bagaimana mendefinisikannya? Hubunganmu dengan pria yang beberapa kali mencari cara ingin mengakhiri hidup itu seakan-akan tersambung secara batin. Bukan tentang asmara, bukan. Dia sungguh jauh berbeda dengan tipe pria yang bisa bikin kamu jatuh cinta. Tipikal juara harapan tiga juga enggak. Namun, ada semacam getaran emosi yang menuntunmu untuk mengenal lebih dekat, seolah ada suara hati yang berbisik; jika kamu harus menolongnya.
Dia merasakan 'kesepian'. Dan kamu tahu, bagaimana rasanya 'sendirian'. Sejak kecil sampai dewasa, segala sesuatu mampu kamu dapatkan, tetapi kamu tetap saja sendirian dan kesepian. Kamu ingat. Kamu habiskan banyak film animasi seorang diri. Les belajar apa pun seorang diri. Kamu bermain gadget seorang diri. Bermain boneka seorang diri. Bermain Playstation seorang diri. Bermain Tamiya berserta rel-relnya sekaligus di rumah, sendirian —karena melihat temanmu laki-laki membeli, dan kamu juga ingin. Kamu pulang pergi sekolah seakan-akan seorang diri di dalam mobil, sementara teman-temanmu jalan bersama. Kamu bisa berbelanja apa pun atau jalan-jalan ke mana pun yang kamu kehendaki, tapi juga seorang diri.
Kamu, jelas paham bagaimana rasanya 'kesepian' karena selalu merasa 'sendirian'.
Dia butuh ditolong dan butuh seseorang yang peduli padanya. Kamu ingat. Selama bertahun-tahun kamu merasa tidak ada satu orang pun yang mengenali dirimu secara paripurna, sesuai dengan citra diri yang tercermin dari pikiranmu. Maksudnya, semua orang hanya menyapamu sebagai putri dari seorang hartawan. Semua orang cuma menghargaimu berdasarkan pandangan yang mereka tahu tentangmu. Semua orang selalu membawa-bawa kepentingan dirinya saat berinteraksi denganmu. Semua hanya butuh uangmu! Tidak ada dari mereka yang benar-benar jujur! Seperti halnya sang filsuf Diogenes yang mendekatkan lentera menyala di siang hari kepada banyak orang. Tiada satu pun sosok yang tulus. Bahkan, sekalinya ada, sosok tersebut hanya berlalu selayang pandang. Maka dari itu kamu tahu kalau dirimu butuh ditolong oleh seseorang yang memang peduli pada dirimu.
Ya. Dian Dzulkarnain memenuhi kriteria itu. Dia murni menolongmu saat kamu sedang ada masalah dengan seorang janda kembang yang mengancam akan membunuhmu. Kamu ingat, kala itu kamu hampir mati dikejar dua pria teman si janda. Bermula dari peristiwa di malam itu kamu merasa jika dia merupakan orang baik yang datang ke dalam kehidupanmu.
Ternyata, oh, ternyata.
Dia merupakan orang paling pesimis yang pernah kamu tahu. Pria pemurung yang merasa dirundung oleh semesta yang tak ikut berkabung.
Kematian anak dan istri membuat dirinya seperti itu. Mungkin hal yang wajar bagi kebanyakan orang, merasakan sebuah derita parah saat ditinggal pergi orang yang disayangi. Kamu juga pernah merasakan hal tersebut, yaitu pada seorang pemuda anak petani di sebuah dusun di kaki gunung. Perjaka tampan religius yang sudah meninggal saat kunjungan kedua kamu menemuinya. Ah, sudahlah, itu cerita usang yang hampir kamu lupakan.
Bang Dzul bahkan lebih lemah darimu, secara mentalitas. Okelah, perihal yang mungkin ia terima lebih parah, karena kehilangan anak dan istri. Namun, bilamana bicara tentang kenyataan, tak seharusnya menjadikan dirinya seperti itu. Hidup dan kehidupan akan terus berjalan. Jika dia tidak bersemangat, bagaimana dia bisa menjalaninya dengan baik?
Kamu pernah baca satu novel yang tokoh utamanya berkata; Jika ada satu permintaan yang pasti dikabulkan Tuhan, maka aku akan minta untuk tidak diciptakan. Nah, konteks dialog dan tokoh dalam novel tersebut sangat cocok sama karakter Bang Dzul. Mati Sajroning Urip, Urip Sajroning Pati. Gimana, coba? Karena itulah dia merasa kesepian dan butuh ditolong.
Mendengarkan ocehan orang, bagimu tuh seperti berada di dalam neraka. Namun, hal tersebut tidak berlaku padanya. Semenjak dia bekerja di rumah, kamu dengan sabar mendengar keluh-kesah mengenai kecelakaan yang menewaskan seorang istri dan anak. Dah kayak dengerin berita di televisi nasional.
Kupu-kupu kertas, yang terbang kian kemari. Aneka rupa dan warna, dibias lampu temaram. Kupu-kupu kertas.
Tak terasa, memang. Barusan kamu sedang sendirian di kamar yang terang benderang. Kini kamu sudah selesai makan malam dan bersantai bersama teman-teman di halaman vila yang gelap di sekeliling. Binatang-binatang malam tak henti bersuara nyaring. Saling bersahutan mengalunkan orkestra sempurna di dataran tinggi yang hening.
"Nikeeen, besok gue mau lihat sunrise. Kalau dari wilayah sini kelihatan gak?" Silvie bertanya padamu.
"Bisa, kalo lo naik ke atas genting vila tuhh," balasmu, singkat.
"Hahahaa." Serempak kalian tertawa.
"Bangsat emang si Niken ... kalau ngomong asal aja dia ... songong lo."
Suara Rachel terbata-bata karena bicara sambil tertawa. Dalam suasana gelap, kulitnya tampak putih cerah, duduk di dekat lidah api yang menari-nari.
"Gue serius, Ken ... lo mah kebangetan kalo sama gue." Cewek bertubuh semok mata sipit agak sayu yang duduk di depanmu itu komplain.