Dear, Panji Pamungkas; orang yang paling santuy.
Kamu layak berbangga, unsur dirimu memiliki sifat bagaikan air sungai yang terus mengalir mengikuti arus. Rileks, ke mana pun alur kehidupan 'kan membawamu. Sedikit mengeluh, ada, tetapi kamu tetap menjalani semuanya dengan santai dan longgar.
Serta ... selalu berpikir dengan imajinasi.
Saking jiwamu suka berpelesiran, kamu sering kali tidak fokus saat berbincang dengan orang lain. Apalagi kalau membicarakan sesuatu yang agak berat dan serius. Kamu pasti merasa kesulitan mencernanya. Bukan karena ogah mendengar tuturan orang lain, akan tetapi dirimu seolah-olah punya jalan pikiran sendiri. Begitu, kan?
Hidup mah tinggal jalanin aja. Masalah buat apa dipusingin. Hari esok, yah lihat saja besok. Demikian prinsip-prinsip yang menjadi pegangan hidupmu. Lantaran prinsip tersebut, banyak orang beranggapan, jika kamu adalah manusia tanpa beban.
Padahal, kamu juga mengerti, bagaimana mungkin seorang manusia hidup tanpa beban?
Ya. Itu mustahil, atau sama saja dengan mati. Sepayah-payahnya dirimu pun tetap memahami perihal ini, dan kamu yakin, kelak kamu akan jadi orang sukses. Kamu hanya tidak mau terbebani oleh masalah kehidupan. Itu saja.
Pukul 18.35, selepas waktu Magrib, kamu menyamperi Vero yang sedang mengolah daging barbeku dengan alat pemanggang stainless. Kamera kecil pun telah kamu bawa untuk merekam seluruh kegiatan makan malam.
"Gue pikir kita bakal benar-benar refreshing, Mbak. Enggak tahunya kerja juga," bisikmu persis di belakang daun telinga Vero.
"Ya elaaah, kayak gak tahu dia aja sih, Ji," balasnya, juga bersuara pelan, lantaran tidak ingin terdengar oleh Silvie yang duduk di sofa panjang bersama Rachel. Posisi kalian berdiri memanggang berjarak sekitar lima meter. Bang Dzul duduk seorang diri di sofa panjang, di depan mereka. Sementara Niken duduk di sofa tunggal. Sejak Magrib tadi kamu bersama Bang dzul mengangkut sofa, meja, tripod lampu, beserta peralatan lain.
Kini nuansa langit baru saja berganti dari samar berbayang menjadi gelap memudar. Lampu-lampu vila sudah dinyalakan. Api unggun sudah berpijar menerangi halaman vila. Kamu menengok lagi, mencuri-curi pandang pada Rachel yang sedang berbincang dengan Niken.
Perfek ... begitu perfek.
Dia memakai kaus merah ketat dengan celana Levis. Rambutnya ikal panjang terurai. Di sebelahnya tampak pula Silvie yang lagi sibuk melihat-lihat hasil tangkapan layarmu pada salah satu kamera —memiliki resolusi paling besar di antara tiga kamera yang lain.
Ah, gadis cantik, manis dan seksi itu menengok karena tahu sedang diperhatikan olehmu. Seketika kamu langsung membuang muka, dan kembali menghadapkan badan pada Vero. Padahal sudah ada sesuatu yang bergerak-gerak di dalam celanamu.
"Lihat aja tuhh, Mbak. Bukannya nikmatin refreshing, malahan mikirin hasil melulu," bisikmu lagi. Sepupumu itu hanya tertawa kecil. Tangannya memegang capit besi, membalik potongan daging.
"Dah, ah. Ayo, makan, Ji. Lo lapar, kan?"
"Lapar banget, Mbak," jawabmu.
"Ya udah, sana, siapin perlengkapan makan," pintanya. Kamu segera menaruh kamera pada salah satu tripod yang bertengger di samping sofa, kemudian mengambil nasi yang sudah di tanak, sekaligus mempersiapkan alat-alat makan.
Kalian berenam menikmati santap malam di halaman vila. Kamu jelas melahap paling banyak, sebab perutmu memang sudah keroncongan semenjak sore tadi. Kondisi alam sekitar benar-benar mendukung selera makan bagi siapa pun. Apalagi bagimu, yang jarang sekali memakan daging bakar.
Vero. Selepas makan dia duduk bersilang kaki di kursi tunggal sebelah kiri sambil memainkan ponsel. Mungkin membuat sketsa kerja, mengedit sesuatu, atau justru menulis puisi. Kamu paham-lah bagaimana kebiasaan perempuan yang sejak masa sekolah selalu mendapat peringkat tiga besar itu. Ingat saja, dahulu dia adalah orang yang selalu mengerjakan PR-mu.
Rachel, Silvie dan Niken pun tak berbeda. Selepas makan, ketiga cewek elegan ini juga memainkan ponsel di tangan masing-masing. Entah, mereka sedang mengerjakan apa? Toh sinyal ponsel dari semua SIM-card sudah hilang, namun tetap saja mereka pada sibuk kotak-katik ponsel.
Bang Dzul. Pria yang duduk di sampingmu ini kelihatan menikmati rasa kenyang dengan menyender santai ke punggung sofa. Asap tembakau yang keluar dari mulutnya seakan-akan melepaskan beban pikirannya.
"Minta rokok, Bang Dzul," ujarmu, mencari cara supaya rasa kantukmu hilang. Selepas makan kamu memang merasakan rasa kantuk yang datang. Kedua kelopak mata bagaikan ada yang menggelayuti. Bang Dzul mempersilakan dengan tangan, saking malasnya untuk berkata-kata.
Kamu sadar diri. Tedas pasti. Setelah membakar rokok, kamulah orang yang akan membereskan semua peralatan makan dari meja. Selain karena kalah posisi, dengan senang hati juga kamu ikhlas melakukannya. Jadi, bisa dikatakan, selain bekerja dengan posisi kameramen, kamu juga merangkap jabatan sebagai pembantu umum.
Setelah itu kamu mengambil kayu kering yang sore tadi kamu kumpulkan, melemparnya ke pengapian supaya menyala lebih terang. Sungguh, kilapan api unggun di atas wajan besar menambah syahdu suasana di sekeliling pepohonan besar berikut alam sekitar yang gelap dan dingin.
"Ambil wine-nya dong, Jul, kita buka sekarang."
Ah, akhirnya ... suara cempreng agak cadel yang dari tadi kamu tunggu-tunggu untuk mengutarakan perihal ini pun tertutur. Benar-benar cantik. Sesuai harapanmu yang sudah sangat ingin menikmati wine mahal plus ganja. Double combo. Tidak apa-apa. Toh, kamu tahu, dua objek benda terlarang dalam agama tersebut tidak akan sampai membuatmu mabuk dan tak sadarkan diri. Kamu memang cukup tangguh dalam hal ini.
Hanya saja, ketika otakmu sudah keserempet efek minuman atau asap ganja, karaktermu justru menjadi sosok sangat pendiam. Kamu bisa lebih introver ketimbang Vero, sebab terlibat dengan alam imajinasimu sendiri