SECRET CAVE

Rudie Chakil
Chapter #22

SILVIE : Di Antara Raungan

Keadaan semakin tidak kondusif, hingga memaksamu berteriak lantang.

"Lariii ... lari, ke ruang bawah tanah!"

Tanganmu masih menggenggam senter. Sayangnya, kalian benar-benar dalam posisi tidak siap.

Entah siapa sosok yang jelas-jelas berniat jahat itu? Demikian pikiranmu saat berlari menuju area dapur. Kamu yakin, semua pekakas yang dibutuhkan untuk melawan orang sinting abnormal itu tersimpan di ruang bawah tanah.

Kamu bergegas menuruni undakan tangga setelah menyalakan lampu utama ruang bawah tanah. Rachel dan Vero juga ikut tergesa-gesa di belakangmu, tetapi gerak mereka berhenti saat tiba di bawah, dan kamu sempat melirik mereka.

Gumaman dari rasa takut hadir bersamaan dengan napas menderu-deru. Terdengar begitu jelas di ruang bawah tanah yang sunyi. Kamu segera mencari-cari ke sudut ruangan yang memungkinkan adanya senjata tajam.

Benar saja. Di dalam salah satu ruangan gudang yang ada di sisi lorong gelap dengan pintu kaca frameless, arah menuju gua, terdapat sebuah peti perkakas berisi aneka senjata tajam beserta peralatan yang biasa digunakan untuk berkebun. Bahkan ada gergaji mesin dan alat pemotong rumput. Ruangan tempat Bang Dzul mengambil panggangan.

Kamu lantas meraih dua bilah senjata tajam, berupa parang dan golok berukuran besar.

Sejenak kamu melihat kedua temanmu. Tampak begitu panik. Namun kamu tak punya waktu, kecuali berlekas naik untuk membantu Panji. Kamu berpikir, ini bukanlah perkara sederhana, ini adalah perkara yang menyangkut nyawa! Tiada waktu yang harus terbuang kecuali untuk menuntaskan masalah ini. Bagus jika mereka mau membantu, jika tidak, yah, tidak mengapa. Biarlah mereka aman di sini. Toh bagimu pribadi lebih memilih untuk melawan, ketimbang pria misterius itu nantinya yang akan mencelakai kalian semua, dan sepertinya sosok manusia tersebut memang punya niat buruk.

Kamu pun kembali ke depan, kemudian melempar senjata tajam ke lantai di dekat Panji. Sebuah golok panjang dengan bentuk agak melengkung.

"Ambiiil, Juuul ...," teriakmu.

Panji lalu menengok, mengambil golok besar yang kamu lemparkan.

"Bangsat, lo ... sini masuk, lo!" serunya, seraya menggenggam erat-erat gagang golok dengan posisi siaga.

Tanganmu gemetar memegang parang. Meskipun kamu pernah belajar ilmu bela diri sejak kecil dan sering kali berkelahi saat masih sekolah, tetapi bentrok secara fisik dengan menggunakan senjata tajam belum pernah sekali pun kamu lakukan. Dan, pula, kamu tidak tahu siapa orang yang kamu hadapi.

Beruntungnya kamu tidak panik, serta masih bisa berpikir akurat. Sebab kamu pernah mendengar Vero berkata, jika Panji sering berantem sama orang karena punya sedikit ilmu bela diri. Dahulu kamu meragukan hal tersebut. Padahal kamu paham bahwa Vero tidak pernah berbohong. Kamu kemudian merasa yakin dengan hal itu saat Panji menatap seseorang preman yang hendak melecehkanmu di pinggir jalan. Kamu paham mengenai tatapan beberapa orang yang bisa melumat habis musuh-musuhnya saat ada event resmi bela diri. Demikian pula tatapan Panji kala itu. Karena itulah kamu tidak terlalu panik.

Orang asing dengan pakaian serba hitam yang memakai masker kupluk penutup wajah itu terus menendang pintu kaca sampai akhirnya terbuka. Sebilah parang di tangannya terhunus hanya satu sentimeter dari lantai.

Tanpa basa-basi Panji langsung membacok orang tersebut. Namun sosok bertubuh sedang itu mundur beberapa langkah, kemudian menahan laju serangan dengan parang yang ia bawa. Suara benturan senjata tajam pun terdengar, bahkan disertai dengan percikan api. Orang tersebut menyabet leher Panji, tetapi Panji mampu mengelak ke belakang.

Lihat selengkapnya