SECRET CAVE

Rudie Chakil
Chapter #23

RACHEL : Bersama Tangis Ketakutan

Langkah cepat kalian bertiga pun terhenti.

Kamu kelewat bingung, apa yang musti kamu lakukan?

Seperti air bah yang datang secara tiba-tiba, emosi ketakutan seketika menerjang pikiranmu. Berhulu pada perasaan khawatir, bermuara pada sikap resah dan gelisah. Sang waktu seolah-olah tidak memberi sedikit pun ruang untuk menilik kesimpulan mengenai ke mana perginya pemilik vila beserta supirnya. Hanya menghanyutkan isi kepala tentang bagaimana cara kalian untuk menyelamatkan diri.

Kamu melihat Silvie mencari-cari sesuatu.

Mencari tempat yang aman untuk berlindung, mungkin? Atau justru mencari senjata tajam untuk melawan? Sementara Vero hanya berdiri mematung di sampingmu.

Silvie lalu bergegas membuka pintu frameless. Sebenarnya kamu ingin sekali mengekor, tetapi enggan bergerak lantaran belum tahu apa yang akan dia lakukan. Jika dia berlekas bablas menuju arah gua, barulah kamu mengajak Vero untuk mengikut. Ternyata, tidak. Cewek berkaus putih dengan celana hotpants jeans itu memasuki satu ruangan yang ada di sisi kiri lorong suram di depanmu. Fix, dia hendak mencari alat yang dapat digunakan untuk melawan psikopat gila yang membawa parang itu.

Dugaanmu pun tak meleset. Sesaat kemudian dia terburu-buru melangkah membawa dua buah senjata tajam dengan kedua tangan. Sempat pula melirikmu dengan tatap seakan-akan berkata; kalian tunggu aja di sini. Jelas, kamu bisa meraba maksudnya. Kamu paham, Silvie merupakan cewek yang bernyali besar. Tetapi menurut kesimpulanmu tindakannya kali ini terbilang sangat nekat dan ceroboh.

"Cheeel." Satu panggilan dari Vero.

Kamu lihat tatapannya begitu nanar memandangmu. Setelah itu kedua tangannya menutup wajah. Tangisnya perlahan-lahan mulai pecah.

"Ada apa inii...? Gue takuut, Cheeel."

Dengan suara yang terdengar lirih, tubuhnya agak limbung seperti mau roboh. Tiada yang bisa kamu perbuat atas dirinya. Kamu jelas memiliki rasa yang sama. Takut akan kematian.

Kedua tanganmu lantas memegang bahunya supaya tidak tumbang, sembari menatap bola mata yang tampak basah di balik lensa yang ia pakai. Kamu berharap dapat memberikan rasa semangat meski tanpa bicara. Setelah itu kamu menggiring dirinya untuk duduk di kursi meja makan.

Dari kejauhan terdengar suara-suara keributan antara kedua temanmu dengan sosok tak dikenal itu. Timbul tenggelam dalam kesunyian kondisi ruang bawah tanah. Samar-samar kamu mendengar suara teriakan Panji yang meminta Silvie untuk segera melarikan diri.

"Gustiiii ... Niken sama Bang Dzul ke mana sih?" ujar Vero, amat lirih. Kamu benar-benar ingin melihat situasi yang terjadi, tetapi degup jantungmu berpacu tak keruan. Otot-otot kakimu serasa mau lumpuh meskipun dalam posisi duduk di kursi.

Beberapa saat kemudian, rasa peranjat membuatmu langsung beranjak. Terdengar suara pijakan orang berlari, disusul langkah kaki Silvie yang bergegas menuruni undakan dengan lapisan vinil cerah itu. Kedua tangannya tampak memegangi pagar tangga di sisi tembok.

Petaka buruk benar-benar terjadi. Ada sosok yang mengikutinya, dan langsung menendang kepalanya. Temanmu itu jatuh terjerembab dari tangga. 

"Silviiii ...," teriakmu. Disambung oleh jeritan keras Vero yang merambah kesunyian di ruang bawah tanah.

Lihat selengkapnya