Suara si psikopat bertubuh pendek terdengar lantang, persis di belakang daun telingamu.
"Berhenti! Atau gue gorok lehernya!"
Tiada lagi sesuatu yang memenuhi benakmu, kecuali berkas perasaan terhadap bayang-bayang kematian.
Rongga dadamu begitu sesak. Serasa jiwa seakan-akan telah hilang, hanyut, atau larut dalam satu kondisi yang tidak pernah kamu rasakan, atau bahkan tak pernah terpikirkan.
Tangan kirimu ditekuk dan dicengkeram erat-erat. Sementara tangan kananmu cuma bisa memegang lemah pergelangan tangan pria yang mengancam lehermu dengan bayonet yang terhunus. Dalam posisi berdiri, kamu tidak dapat berbuat apa pun atau bergerak sedikit pun. Taruhannya nyawa. Hanya dengan sedikit menggesek gagang bayonet, maka bisa dipastikan darahmu akan menyatu warna dengan kaus merah yang kamu kenakan.
Padahal beberapa saat lalu dirimu baru saja mengalami perubahan rasa. Yakni sedikit ketenangan batin ketika gerak kaki yang terlihat pertama menuruni undakan tangga adalah langkah Panji, bukan orang lain.
Meski tak melihat apa-apa yang terjadi di ruang depan, kamu bisa menduga, sosok pria di halaman yang membawa parang tidak datang sendirian, melainkan datang bersama dua orang temannya. Para psikopat gila yang entah apa maksud kedatangannya. Mungkin itulah alasan utama mengapa Silvie mencari-cari senjata tajam. Jelas untuk membantu Panji melawan mereka.
Ya. Kamu merasa sedikit lega ketika Panji datang ke ruang bawah tanah, biarpun sangat takut saat melirik parang miliknya yang berlumuran darah diletakkan di atas meja. Namun jelas, itu adalah darah dari seorang di antara mereka yang tadi berteriak keras. Kemungkinan Panji telah melukai, atau bahkan sudah membunuhnya.
Ah, Panji. Kamu bilang bahwa kamu baru saja berubah rasa. Itu benar. Disamping merasa tenang akan kedatangannya, kamu melihat sosoknya seketika berubah menjadi sangat tampan lagi gagah perkasa. Benar-benar berbeda dengan Panji yang sudah lama kamu kenal. Benakmu pun sedikit menyalahkan diri sendiri, mengapa kamu baru menyadari hal ini?
Setelah mengamankan tiga buah senjata tajam di bawah kolong meja, kamu begitu bangga melihat Panji menghajar pria gila bertubuh tinggi yang hanya berani mengeroyok seorang perempuan, yang ternyata hanyalah seorang pecundang. Kamu bangga lantaran baru mengetahui sisi lain dari seorang Panji.
Dia yang memiliki semangat tinggi serta bersedia berjuang melawan para psikopat. Dia yang rela mempertaruhkan nyawa demi keselamatan tiga orang perempuan. Dia yang ternyata sangat menguasai ilmu bela diri. Terlebih saat kamu menyaksikan mereka saling mengancam sebelum akan berduel. Sungguh, hawa laki-laki yang terasa begitu kental. Tak bisa dimungkiri, kamu melihatnya seperti melihat seorang pahlawan tampan yang datang menyelamatkan kalian, bukan?
Ah, Panjiii ... menyaksikan dia baku hantam, rasanya dirimu sangat ingin memeluknya, mencumbunya, mengulumnya, bahkan ingin melakukan hubungan badan dengannya. Bagimu pria seperti dia melambangkan keperkasaan seorang pria sejati, yang mungkin akan sanggup memuaskan dirimu dalam olah asmara. Kamu rasakan hawa kelaki-lakian dan keberaniannya sama persis seperti cowokmu.
Namun, kondisi tersebut seketika berubah histeria. Raut wajah Panji kini tampak begitu khawatir, panik, dan takut menjadi satu. Kedua matanya menatap haru padamu yang sedang terancam. Tampak begitu maskulin memancar. Seakan-akan berkata bahwa dia sangat sayang padamu, bahwa dia tidak ingin dirimu celaka atau terluka sedikit pun. Padahal saat tadi bersama Vero melihat kondisi Silvie yang sedang menyender di sisi tembok, kamu sudah terbesit niat, kelak akan lebih menghargainya. Teringat, jika dirimu dahulu sering kali meremehkan saudara sepupu dari sahabatmu itu.
Adapun perihal mengenai Silvie, kamu mengerti. Silvie telah berkorban banyak. Kamu sangat ingin menangis, tetapi sadar kini bukan saatnya untuk menangis. Kamu sungguh tidak tega melihat sahabat, rekan kerja, sekaligus sosok yang kamu kagumi itu penuh luka.