Tahukah kamu tentang anak setan?
Itu adalah anak yang enggak mau berterima kasih sama Tuhan, terus dia berbuat enggak benar dan seenaknya dalam mengarungi kehidupan.
Terus, tahukah kamu tentang seseorang yang benar?
Hmmm ... yaitu orang-orang yang mengambil peran Tuhan, kemudian memerangi mereka yang bersifat tidak benar.
Demikianlah dialektika dalam benakmu. Kamu yang bertanya, kamu sendiri pula yang menjawab.
Sungguh, kamu sering tidak sadar punya pikiran yang sangat liar. Seperti waktu masih kecil, saat kamu menyiram bensin kepada anak tetangga yang ada di dekat rumah nenekmu. Kamu tidak sadar. Namun, ketika sedang mencari korek api, barulah kamu tersadar kalau kamu baru saja menyiram bensin pada anak itu, sampai pakaian yang ia kenakan menjadi basah.
Untung saja kamu lekas sadar sebelum membakarnya, sebelum dia bisa jadi cacat permanen.
Kamu tahu apa yang kamu lakukan itu salah, karena itu kamu langsung meminta maaf padanya, kemudian berkata; Dirimu hanya bercanda.
Ya. Kamu memang demikian.
Pikiranmu itu sering tidak bisa kamu kendalikan, bukan?
Buah pikiran secara otomatis suka timbul sendiri, padahal kamu sedang tidak berpikir apa pun. Kosong. Malahan, ketika kamu sedang berpikir, buah pikiran lain justru sering muncul. Dan parahnya pikiran yang datang inilah yang sering kali tidak kamu sadari, meskipun tidak berhubungan sama sekali dengan apa-apa yang sedang kamu lakukan. Atau ada hubungannya, tetapi tidak kamu sadari, hingga kamu melakukan satu perbuatan yang ada dalam pikiranmu itu. Seperti menyiram bensin pada anak gadis seusiamu saat kamu masih kecil.
Nah, rutinitas tak kasatmata itu biasanya berupa sesuatu yang bersifat random, sampai-sampai kamu merasa bingung untuk memeluk atau menentang percikan dari pikiranmu sendiri. Serupa tanya jawab tentang 'anak setan' tadi. Meskipun begitu kamu tetap saja bisa bersikap santai. Bahkan pada momentum yang menurut orang genting sekali pun. Seperti saat kamu duduk santai di pinggiran ranjang, mendengar suara-suara gaduh di balik pintu kamar. Kamu tetap duduk rileks sambil menyilangkan kaki.
Ah, teriakan seorang pria terdengar keras dari arah depan. Sangat melengking. Seperti teriakan Kurt Cobain di album In Utero. Kamu paham dan sedikit tertawa. Itu pertanda, telah ada satu korban yang terkapar. Namun kamu belum tahu siapa dia, kecuali hanya menduga-duga saja.
Sejak pintu kamar dikunci sama Bang Dzul, pikiranmu sudah mulai meraba jalannya peristiwa yang kamu susun dengan rapi ini. Kamu pun mendengar suara langkah kaki yang bergerak dari kiri ke kanan, yang artinya ada seseorang yang bergegas jalan dari ruang depan menuju area belakang.
Sepertinya ke ruang bawah tanah. Tebakmu, dengan kadar keyakinan sembilan puluh lima koma lima persen. Semenjak awal kamu yakin, teman-temanmu pasti akan lari ke ruang bawah tanah. Karena itulah sore tadi kamu meminta Bang Dzul untuk memetik buah kepala, dan memintanya untuk mengajak teman-temanmu ke ruang bawah tanah guna mengambil golok. Dua pulau pun terlampaui. Buah kelapanya kamu nikmati, sementara teman-temanmu juga jadi tahu tentang ruang bawah tanah, tempat mereka pasti akan melarikan diri ketika gerombolan Jericho datang selepas makan malam.
Kamu kembali menikmati rokok sambil bermain dengan pikiranmu sendiri. Untuk kali ini kamu melakukan tanya jawab tentang 'takdir'.
Apa itu takdir?
Ngapain lo bertanya-tanya tentang takdir, orang takdir itu enggak ada kok.
Hey, hey, apa yang udah lo lalui itu namanya takdir.
Bukan ... itu cuma jalan hidup yang udah lo laluin. Lo bilang itu takdir karena diri lo seorang pengecut.
Ah, udahlah.
"Intip yukk, Bang Dzul," ujarmu seketika, beberapa saat setelah keheningan berlalu.
Bang Dzul pun menengok, lalu berlekas membuka pintu kamar dengan hati-hati, lalu celingukan, seperti maling motor yang sedang ketakutan.
"Gak ada siapa-siapa, Mbak," ucapnya, pelan.
"Semuanya udah di ruang bawah tanah," balasmu. Bang Dzul lantas membuka pintu lebih lebar.
"Pakai ini dulu, Bang Dzul." Kamu mengambil sarung tangan karet yang sudah kamu siapkan di atas meja rias, memberikan padanya. Kalian pun mengenakannya.
"Hmm, gue minta sama lo ya, Bang Dzul. Pokoknya lo harus turutin apa kata gue. Gue udah ngatur sedemikian rupa untuk semua ini. Kalau semisal nanti gue suruh lo melakukan sesuatu yang lo sendiri enggak berkenan, lo tetap harus nurutin gue, Bang Dzul. Kalau enggak, semua rencana ini bakalan berantakan. Oke?" tekanmu.
"Siap," jawabnya.
"Oh, ya, satu lagi. Lo jangan bergerak dulu sebelum ada ACC dari gue. Oke?" pintamu lagi.
"Siap ... siap, Mbak." Pria itu mengangguk-angguk kayak burung pelatuk, lalu mengambil parang yang sudah tergeletak di meja lampu, pojokan kamar. Jika dilihat, lagak dia sudah seperti jawara Betawi zaman dahulu yang merasa dirugikan atas kepemilikan tanah. Seram tapi menyenangkan.
"Heh, lihat sini dulu Bang Dzul," ujarmu setelah berada di luar kamar. Kamu melihat tatap matanya penuh kebingungan, kayak garong perawan yang mendapat kabar kehamilan dari korbannya.
Kamu pun melangkah ke arah halaman vila.