SECRET CAVE

Rudie Chakil
Chapter #30

SILVIE : Harapan Terakhir

Tadi kamu sempat mendengar suara Vero yang tengah memanggil-manggil nama saudara sepupunya itu.

"Panjiii ... Panjiiii ... Panjiiiiii ...."

Kini dirimu kini sudah tidak lagi memiliki daya dan upaya walau sekadar melirik ke arah mereka, kecuali hanya bisa mendengar tangisan mereka saja. Pandangmu mengarah ke langit-langit ruangan yang bercorak putih cerah. Pundak kananmu telah mengeluarkan banyak darah akibat luka bacokan.

Biarpun begitu, kamu yakin kalau Vero sedang menangis sembari memeluk tubuh Panji. Vero jelas sangat menyayangi Panji, pria yang telah berjuang bersamamu itu. Dan kamu merasa bangga padanya. Dia benar-benar seorang patriot.

Dingin ... kamu merasakan rasa yang sangat dingin. Hawa dari luar tubuh yang jauh lebih dingin ketimbang suhu pendingin ruangan kamarmu.

Oh, ya ... semenjak melihat bangunan vila ini, sebenarnya kamu sudah merasakan hati kecil berbisik; Di tempat inilah kamu akan mati. Namun suara bisikan itu terasa begitu lembut, sampai-sampai tidak dapat kamu sadari.

Cukup sudah menikmati hidup ini, ada atau tanpa dirimu, kehidupan dunia akan tetap berjalan sebagaimana mestinya.

Kamu benar-benar tak menyadari bisikan lembut itu. Hanya saja, kamu merasakan sesuatu yang berbeda dari yang pernah kamu rasakan sepanjang hidup. Rasanya seperti berbaring kosong di ranjang rumah sakit dengan tatapan kosong mengawang, melihat sekujur dinding atap yang putih bersih, melihat lampu-lampu yang terang, suasana yang hening, juga sebuah perasaan serupa pertanyaan; Mau dibawa ke mana diriku ini?

Tadinya kamu menganggap, bait-bait suara bisikan dan perasaan gamang serupa dipeluk kematian yang datang dari alam bawah sadarmu itu hanyalah derita hati, atas rasa trauma karena beberapa peristiwa pahit dalam hidupmu. Namun, ternyata, tidak.

Semua kondisi yang sudah kamu lalui sejak pertama kali menginjakkan kaki ke vila ini makin menambah kecurigaanmu terhadap sisi batinmu sendiri. Bahkan kamu sudah diberitahukan perihal tersebut lewat mimpi saat kamu tidur sebentar bersama Rachel dan Vero, sore hari ketika baru sampai. Terlebih lagi ketika kamu menginjakkan kaki di ruang bawah tanah ini.

Sebenarnya kamu merasa tidak asing dengan semua yang kamu lihat, termasuk pintu frameless, sebuah lorong gelap, dan kamar-kamar kosong tempat perkakas. Namun semuanya tertutup karena rasa senangmu, karena sifat hebohmu, dan karena ketidaksadaran yang seringkali kamu alami, meskipun kamu selalu menyadari kesalahanmu di waktu-waktu berikutnya.

Sadarlah, Silvie. Begitu 'kan suara hatimu berujar?

Ya. Pada intinya, kamu lebih sering melihat sesuatu yang ada di luar dirimu, ketimbang melihat sesuatu yang ada di dalam dirimu. Namun, sudahlah, paling tidak kamu sudah berusaha menyadari hal ini. Sekarang. Ketimbang biasanya, dirimu butuh waktu panjang sampai kamu baru bisa menyadari. Seperti saat masih berseragam putih biru, saat kamu menolak seorang laki-laki yang menyatakan rasa cintanya padamu, dan kemudian kamu merasa cemburu ketika dia berpacaran dengan cewek lain. Kamu telat menyadari.

Atau seperti saat kamu marah-marah karena hanya adik dan kakakmu yang dibelikan emas oleh mamahmu, padahal beliau paham jika dirimu jauh lebih mampu membeli apa pun ketimbang mereka.

Sungguh, untuk masalah ruhaniah kamu memang sering kali telat menyadari. Pula untuk saat ini, ketika kamu menahan rasa sakit lantaran terluka parah. Kamu baru menyadari akan arti hidup dan kehidupan.

Sementara, untuk masalah lahiriah, kamu justru menjadi orang yang paling prepare. Kamu mempersiapkan segala sesuatunya dengan masif, terstruktur dan sistematis. Benar. Kamu telah bersiap diri ketika seorang pria yang tidak kamu kenal datang membawa parang. Detik itu bahkan kamu sudah menduga jika tujuan dari pria itu jelas karena dirimu.

Melawan. Ya, tentu saja melawan. Hahaha. Kamu menertawakan diri sendiri. Sudah pasti kamu akan selalu melawan ketika terjadi sesuatu yang mengancam segala hal mengenai dirimu. Harga diri, keselamatan, keamanan, serta privasi-privasi yang lain.

Kamu ingat, dahulu saat masih bersekolah dasar, saat memakai kemeja batik, kamu dijahili oleh seorang anak laki-laki penguasa kelas. Pipimu dicubit sampai kamu menangis. Kemudian saat berseragam putih biru juga demikian. Kamu suka berkelahi dengan para siswi di sekolah, malah terkadang dengan para siswi dari sekolah lain. Karena itulah sejak remaja kamu sering belajar ilmu bela diri. Dan ketika sudah berusia dewasa, sudah memulai karir di entertainment, kamu lebih sering datang ke kelas privat bela diri ketimbang ke gym seperti beberapa selebritis yang suka mengajakmu.

Jadi, masalah lahiriah memanglah sudah menjadi prioritasmu.

Begitu pula saat pria-pria brengsek yang sudah mampus ini mengancam keselamatanmu di ruangan dapur. Kamu sama sekali tidak merasa takut, meskipun saat itu kamu terbilang kalah. Namun, kamu telah mempersiapkan dirimu, ketimbang meratapi nasib seperti dua orang temanmu.

Terlebih lagi ketika kamu dianiaya, bahkan hendak diikat oleh dua pria keparat yang memang tak pantas untuk hidup ini. Perasaanmu mengatakan jika salah satu dari mereka adalah Jericho.

Tepat. Semuanya dapat kamu kendalikan, sampai-sampai kamu dapat memenangkan pertarungan.

Namun, sesuatu yang membuatmu bingung adalah mengenai Dimas. Kamu sungguh tidak mengerti bagaimana ini bisa terjadi? Kamu hanya bisa menebak, jika Rachel adalah orang yang berhubungan dengan pria tampan yang kamu suka itu. Kamu sedikit paham bagaimana persona Rachel di mata lelaki seperti Dimas. Atau, kecurigaanmu justru mengarah kepada Vero, karena dia adalah sosok paling memungkinkan.

Veronika adalah orang yang paling paham semua tentangmu, paling kenal dengan ruang lingkupmu, bahkan paling punya potensi untuk mengkhianati dirimu —Di samping kecurigaanmu terhadap Niken yang sengaja tidak membukakan pintu kamar. Pikiranmu hampir mampu meraba semuanya.

Lihat selengkapnya