"Bang Dzuul ..."
"Nikeeen ..."
"Viiii ...."
Suara tangisan dua orang perempuan di ruang bawah tanah terdengar begitu lirih, semakin menambah angker suasana yang kamu rasakan. Dengungan halus seperti atom yang tak terlihat bagaikan merasuk pikiranmu, bersamaan dengan sentuhan hawa dingin yang merambat di tengkuk leher.
Dingin dan hening. Seperti sedang berada di tapal batas antara kehidupan dan kematian.
Satu fakta yang baru saja kamu dengar, dengan seketika meruntuhkan bangunan dendam yang sudah kamu bangun selama dua tahun. Namun, kamu menyesalinya. Bukan karena bangunan tersebut belum selesai dan dendammu belum terbalaskan, tetapi lantaran dirimu justru melakukan satu kesalahan fatal, yang mungkin lebih fatal ketimbang bangunan itu selesai, atau ketika kamu sudah membunuh pelaku sebenarnya atas kematian anak dan istrimu.
Kamu baru benar-benar menyadari, jika dendam ternyata hanya berbuah petaka dan berakhir neraka jahanam. Jika kamu benci terhadap Vero, maka kamu jauh lebih membenci dirimu sendiri yang telah melakukan perbuatan bodoh. Kamu paham, lebih baik mencintai orang yang salah ketimbang membenci orang yang salah. Bukan tanpa alasan, sungguh, efeknya terasa jauh lebih besar. Seperti dirimu yang begitu membenci Silvie Michael, sampai-sampai datangnya kejadian demi kejadian di vila ini.
Kamu jelas merasa sangat bersalah kepada Silvie. Dia orang baik. Bahkan dia benar-benar bisa menjaga rahasia sampai titik darah penghabisan. Bagaimanapun juga dia bersahabat sama Veronika. Dia tidak ingin sahabatnya itu celaka. Bodohnya dirimu, kenapa sejak dahulu kamu tidak bertanya langsung padanya? Mengapa berpura-pura baik sementara kamu memendam rasa benci dalam kurun waktu yang cukup lama? Atau, mengapa kamu tidak bilang saja pada Niken untuk membicarakan hal ini kepada Silvie secara baik-baik?
Pliis, bagi kalian yang melakukan perjalanan dengan mobil, berhati-hatilah. Baca doa juga sebelum berangkat. Tapi, kalau sampai ada kejadian, yaa, kalian musti bertanggung-jawab, atau meminta pertanggung-jawaban.
Perkataan Silvie seakan-akan terngiang kembali dalam benakmu. Dia bukan berbicara tentang dirinya sendiri. Dia justru berbicara tentang Vero. Kamu telah keliru menafsirkannya. Hatimu remuk. Gemuruh perasaan di dadamu sudah tidak lagi bisa ditawar. Bahkan tujuan hidupmu pun sudah tidak ada ada lagi, kecuali berbalik arah dan melihat kebodohanmu sendiri.
Napasmu memburu tak teratur, dengan pandangan serasa berputar ke sekeliling ruangan.
"Nikeeen ..." Kamu mendengar suara Rachel yang tengah memohon. Juga mendengar suara Vero yang sedang memelas.
"Vero benar-benar menyesal, Bang Dzul. Waktu itu Silvie yang minta sama Vero untuk tetap diam."
Pikiranmu seperti melayang-layang. Getir dan tandas. Kamu melihat Panji, kemudian balik lagi melihat Silvie.
"Hus, hus ... Bang Dzul. Itu, Vero, yang udah nabrak anak dan istri lo, buruan lo bunuh dia, Bang Dzul. Kalau enggak semuanya bakal berantakan." Kamu juga mendengar suara Niken.
Ah, sudah, habislah dirimu.
"Hey, ayo, cepetan, Bang Dzul ... buat keputusan lo. Silvie emang manusia bangsat, tapi kalo ngomong dia jujur. Dan orang ini adalah orang yang tukang bohong. Dia emang pembunuh yang harus mati! Cepat laksanakan, Bang Dzul!"
Kamu pun menengok.
"Bang Dzuuul!" bentaknya, dengan mata tirusnya yang melotot.
Benar. Habislah dirimu. Kamu ingat, dahulu saat bercerita, kamu seolah-olah terbius rayuan Niken untuk segera melampiaskan dendam. Bahkan, dia rela melakukan segala sesuatunya demi membantumu. Kala itu kamu sungguh tidak berpikir tentang apa-apa yang akan terjadi di masa sekarang.
Atau, sebenarnya, bukan kamu tidak tahu, tetapi dirimu terlalu bodoh karena tertutup api dendam. Padahal kamu tahu siapa Niken. Dalam semua rentetan kejadian ini, apakah dia benar-benar akan membantumu menegakkan keadilan? Atau justru untuk kepentingan dirinya sendiri yang memang suka membunuh? Kamu sangat yakin, pertanyaan berikut pernyataan kedua itulah yang lebih masuk akal.
"Mohon maaf, Mbak, bagaimanapun juga, saya manusia yang masih punya hati nurani. Saya enggak mau membunuh orang lagi. Semua ini biarlah terjadi. Biar saya yang akan bertanggung jawab," jawabmu, merasa bersalah dan menyesal. Bahkan, dalam hati, kamu sangat-sangat ingin bertobat.
"Oh, gitu ... Ya udah ... kalau begitu biar gue aja yang ngebunuh," ujarnya.
Kamu kembali menengok, ternyata dia sudah melangkah sambil membawa parang. Rasa khawatir datang dan mengalir ke seluruh persendian tubuhmu.