SECRET CAVE

Rudie Chakil
Chapter #33

EPILOG : Secret Cave

Biarpun agak malas, tentu saja kamu tetap menikmatinya. Toh bagimu ini adalah kebutuhan pribadi; Mengambil peran Tuhan dan memerangi mereka yang bersifat tidak benar.

Rasa bergairah serupa opium datang berulang-ulang jikalau dirimu merasa kesulitan ketika melumpuhkan 'orang-orang yang suka berbuat enggak benar dan seenaknya dalam mengarungi kehidupan' yang tengah kamu eksekusi. Namun kalau terlalu mudah, kamu cuma merasakan satu kali saja. Karena itulah, semakin kuat perlawanan dari mereka terhadapmu, hal itu semakin membuat dirimu senang. Kamu seakan-akan mendapat sebuah tantangan yang menjanjikan.

Sedangkan ... Bang Dzul, dia sama sekali tidak memberikan perlawanan apa-apa. Malahan sangat ketakutan, seperti bayi yang enggak dikasih nenen sama ibunya.

Ampuuuun dahh. Gumammu, merasa malas tapi tetap harus menerima.

Kirain suhu tahunya cupu.

Kamu ingat. Padahal kamu sudah memberitahu Bang Dzul, bahwa dirimu dipukuli orang saat sedang melabrak selingkuhan papahmu, dahulu, saat-saat sebelum berkenalan dengannya pertama kali.

Maksudmu; Supaya dia berani melawanmu. Supaya kamu mendapat tantangan. Supaya kamu bergairah merasakan sesuatu seperti orgasme yang berulang-ulang. Begitu, kan?

Kamu berpikir, jika dia ingkar perintah, terus tidak berani melakukan pembunuhan atas pelaku yang menabrak mati anak dan istrinya, maka dia pasti akan berhadapan denganmu. Padahal dia sudah tidak diberi tahu, jika dahulu kamu lebih memilih untuk berpura-pura kalah dan melarikan diri, sebab pada saat itu memang lagi banyak orang dan kamu tidak bisa melaksanakan eksekusi di tengah-tengah keramaian.

Benar saja ... Bang Dzul ketakutan duluan sebelum melakukan perlawanan balik.

Api biru yang keluar dari alat pemanggang yang kamu semprotkan padanya sudah pasti membuat pria bodoh itu mengalami mimpi buruk yang berkepanjangan.

Ya. Kamu benar-benar menikmati kondisi ketika seseorang berteriak kesakitan dengan raut wajah ketakutan.

Kamu pun meletakkan alat pembakar makanan ke lantai di belakang pintu masuk, kemudian bergegas menyepak kepala Bang Dzul. Entah, dia pingsan atau mati, toh kamu sudah berusaha mengukur kadar kerasnya tendangan. Kamu tentu berharap, dia tidak cedera apa-apa, atau maksimal, dia hanya pingsan saja. Kamu lantas bergerak keluar ruangan.

Ah, suasana jadi lebih terang saat kamu membuka pintu frameless.

"Nikeeeen." Sahabatmu Rachel menyapa dengan suara lirih. Tatapan mata dari raut wajah yang meratap itu justru membuat hormon endorfin dalam otakmu merangkak naik. Kamu mendekatinya, lalu menendang wajahnya dengan tumit sepatu kets yang kamu kenakan. Dia tersungkur sambil menangis.

Kamu langsung bergegas mengejar Vero, menaiki undakan tangga dengan perasaan yakin jika cewek sawo matang bertubuh langsing itu tidak berani ke luar dari vila ini. Kamu juga menduga, dia cuma berani menangis di pojokan dapur.

Ah, ternyata benar. Dia sedang menangis di dalam kamar mandi, dan tololnya tidak ia kunci.

Kamu langsung menjambak rambutnya, meminta paska dirinya untuk keluar.

"Nikeeeen ... Nikeeen ...."

Dia merintih, sesekali melihatmu, sesekali melihat ke tangga menuju ruang bawah tanah. Saat itu juga kamu langsung menendang pinggang belakangnya. Hal itu tentu akan membuat dia lebih cepat untuk menemui kedua sahabatnya di lantai bawah, ketimbang hanya menggiringnya dengan jambakan atau dengan ancaman parang. Pikirmu, seperti itu.

Kamu lantas menuruni undakan tangga sambil menenteng dan mengamati parang.

Jika tadi dilihat dari posisi jatuhnya, mungkin parang berlumuran darah yang kamu pegang adalah parang yang dipakai Silvie untuk mengantar nyawa Jericho menuju istananya Lucifer. Baguslah. Orang-orang bodoh memang wajib mati dengan senjata yang sama, supaya darah dan arwah mereka bisa bercampur. Pikirmu, kembali mengeja alam sadarmu.

Sesampainya di lantai bawah, kamu langsung berdiri menatap Vero yang mukanya sangat memelas. Apalagi tadi kamu sempat melihat, kepalanya terbentur lantai saat jatuh berguling dari undakan tangga. Namun, tiada kata iba bagi mereka yang bersifat tidak benar. Vero tetap harus dibunuh karena telah menabrak mati anak dan istri Bang Dzul.

"Selamat ulang tahun yaa, Vero," serumu, seraya menusuk perutnya dengan parang. Lengking suara teriakan terdengar begitu lantang. Mungkin bisa kedengaran sampai ke lokasimu mengejar kupu-kupu. Perempuan akademis berambut panjang itu pun meregang nyawa sembari menatap wajahmu.

Setelah itu kamu mencabut parang yang masih tertancap di perutnya.

Kamu berbalik badan, melihat Rachel yang berhenti teriak dan menatapmu dengan raut wajah sangat ketakutan. Dia beringsut-ingsut mundur dengan kedua tangan.

"Gue gak akan membiarkan lo jadi tokoh utama," ujarmu, lalu menyerangnya dengan parang. Tadinya kamu ingin mengajaknya berkelahi secara adil. Namun kamu tahu, itu bakalan percuma. Mungkin dia sudah paham kalau dirinya tidak akan menang.

Lihat selengkapnya