Secret Love Affair

Wonderwall
Chapter #1

Cerita ini baru saja dimulai....

Kepakan sayap kupu-kupu menjadi alarm untuknya membuka mata. Tubuh mungil yang tadi tergolek di atas ranjang, berbalut kain tipis, dengan selimut tebal, bangkit, meregangkan tubuh. Wajah cantiknya bersemu merah. Sisa kemarin ia bertemu seorang pemuda gagah, dengan paras hasil ukiran Maha Dahsyat Sang Pencipta. 


Di dalam hutan yang begitu rindang dan sejuk. Aroma pinus yang menenangkan. Serta suara serangga bersahutan menjadi musik pengiring mereka bermain panah. Tubuh tegap pemuda itu berdiri di belakang, tanpa jarak. Tangan kokohnya sabar membimbing supaya gadis dalam dekapannya sanggup membidik dengan tepat. 


Gadis itu goyah. Fokusnya terbagi. Aroma cemara milik sang Pemuda menguar merasuk indera penghidunya, entah bagaimana caranya mampu menembus jantung, dan memporak-porandakan debarannya. Tangan Shara sampai gemetar, busur panah tak tepat sasaran. Ia gagal. 


"Fokuslah pada titiknya, Puteri," kata Kashim, pemuda itu. Tak sejalan dengan ucapannya, sebab ia sedang berbisik tepat di telinga Shara. Hidung Kashim lembut meyapa telinganya. Sedikit berhasil menambah cepat irama jantungnya. Semakin merenggut kewarasannya. 


"Aku akan melakukannya, hanya saja ... bisakah kau sedikit memberi jarak?" kata Shara malu-malu. Pipinya tengah merona. Bukan sesuatu yang bagus bila Kashim melihatnya. 


Kashim terkekeh. Tanpa kata ia sedikit memundurkan langkah. Hanya sedikit, sebab sejujurnya ia juga sedang berada di antara dilema. Bila terlalu dekat ia takut Shara akan mendengar debaran jantungnya. Bila terlalu jauh ia tak sanggup, takut lupa bagaimana caranya bernapas. 


Bagi Kashim, wanita di hadapannya ini bagai bulan purnama. Begitu indah, hingga mampu membuat Kashim rela mempertaruhkan hidupnya. Shara adalah wujud betapa piawai sang Maha Pencipta dalam menciptakan sesuatu. Sorot mata Shara bagai lautan, membuat Kashim selalu membayangkan, bagaimana rasanya menyelam di sana. Senyumnya mengandung sihir, membuat dunia Kashim seketika berhenti hingga sampai senyumnya kembali lenyap. 


*


Seorang gadis berjalan begitu pelan. Langkah kakinya tak boleh terdengar, sebab dalam aturan kerajaan, itu sesuatu yang tidak sopan. Dunya mengetuk pintu dua kali, lantas membuka dan masuk ketika dari dalam terdengar suara lembut menjawabnya. "Putri, Pangeran Ameer memanggil," ucap Dunya, menunduk. 


Seorang pelayan, haram hukumnya mengangkat wajah ketika berbicara dengan anggota kerajaan. Walau demikian, Dunya sangat yakin bila wanita dua puluh tahun di hadapannya ini sangatlah cantik. 


Shara sedang menyisir rambut ketika Dunya datang. Ia tersenyum getir ketika nama Ameer disebut. Karena bersamaan dengan itu, seolah sebuah tangan besar mencubit hatinya, nyeri. Ameer hanya akan memanggil ketika dia butuh, sesuatu yang sangat menyakitkan karena ketika ia telah selesai, Shara kembali terlupakan. 


Gaun berbahan sutera dan mahkota dikelilingi berlian, tidak akan bisa menjadi suap agar seorang Shara memaafkannya. Bagi Shara, Ameer adalah laki-laki terkejam dalam hidupnya. Bagaimana tidak, Ameer membelenggunya dalam ikatan pernikahan tanpa cinta. Bagi Ameer, Shara hanyalah seonggok daging yang butuh kekuasaan dan harta untuk menjadikannya manusia. Rela mengorbankan harga diri demi menjadi isteri seorang pangeran. Ini tidak berlebihan, Ameer menyaksikan sendiri ketika Julie--ibu Shara dan juga sahabat dekat Ratu-memohon agar Ratu menjodohkan mereka. Sebab, Julie telah di dera sakit parah, takut bila Shara berakhir sendirian. Kenyatanya, kini Julie sehat bugar, tak nampak sedikitpun kesakitan. 


Beruntung Ratu sangat menyayangi Shara melebihi anaknya sendiri. Hanya saja, Ameer terlampau marah menerima kenyataan. Ia memutuskan untuk membangun dinding dalam hubungannya hingga hatinya yang beku mencair suatu hari nanti. 


"Saya sudah tiba, Pangeran." Shara melihat sosok Ameer berdiri menghadap jendela. Dari jarak beberapa meter saja ia sanggup menghirup aroma gaharu yang menenangkan. Andai yang berdiri di hadapan adalah Kashim, bukan Ameer, Shara pasti sudah menghambur dan memeluknya. 


"Duduklah!" Suara Ameer terdengar begitu dingin. Dahulu Shara sedikit takut, sekarang ia telah terbiasa. Baginya, sikap dingin Ameer tidaklah penting, karena di luar sana Kashim mampu menghangatkannya. Meski hingga kini belum ada titik terang dalam hubungan mereka. Setidaknya, Kashim satu-satunya laki-laki yang sudi membagikan senyumnya pada Shara. Kashim tak pernah menatapnya seperti yang Ameer lakukan. Kashim selalu menatapnya teduh dan begitu lekat. Membuat jantung Shara mampu berdebar hebat. Semua sentuhannya lembut, tak ada tuntutan yang menyiksa batin Shara. Meski Kashim bukan seorang pangeran, rasanya tidak berlebihan jika Shara memutuskan menjatuhkan hatinya pada laki-laki itu. 


Meski terasa berat, pada akhirnya Shara menurut juga. Wanita berambut pirang dengan netra kebiruan itu duduk tepat di tepi ranjang. Tak ada sesuatu yang menarik dari kamar ini. Meski ukiran dindingnya menakjubkan, dan berbalut emas. Meski ranjangnya luas dan begitu lembut. Rasanya percuma bila pemiliknya adalah manusia kejam, dan tidak memiliki hati. 


"Bisa kau membantuku melepas ini?" tanya Ameer, merujuk pada mahkota dan jubahnya. 


"Mengapa? Apa kini Pangeran Ameer lupa cara menggunakan tangan?" tanya Shara jelas tak suka. Ameer terkekeh kecil, lantas ia menggerakkan tangan, memberi kode agar Shara segera melakukannya saja. 


Dengan rasa kesal, Shara mendekat padanya. Tubuh Ameer yang menjulang, sedikit membuat Shara kualahan hingga ia perlu menaiki kursi. 


Shara meletakkan mahkota dengan hati-hati. Kini giliran jubah. 


"Saya tidak mengerti mengapa anggota kerajaan harus memakai jubah. Sungguh ini sangat berat dan tidak nyaman." Shara menggerutu, tetapi tangannya cekatan melepas jubah dan melipat, lalu meletakkannya.


"Apakah bagimu ini terasa berat?"


"Sangat berat."


"Mahkota dan jubah, serta gaun ini memang tidak layak kau kenakan."


Shara mengepalkan tangannya. Entah mengapa perkataan yang begitu ringan Ameer ucapkan terasa menyakitkan bagi Shara. 


Lihat selengkapnya