Vio menatap bangga bangunan sekolah barunya yang berdiri megah di hadapannya. Di sekolah inilah dia akan menghabiskan masa-masa SMA yang merupakan masa tak terlupakan menurut kebanyakan orang. Sebenarnya, masih banyak sekolah favorit di kotanya, tetapi Vio lebih memilih sekolah barunya ini karena beberapa alasan. Salah satunya adalah banyaknya kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah ini. Mereka menyebut ekstrakurikuler dengan sebutan klub. Bagi siswa yang lebih menyukai tantangan dan banyak kegiatan, sekolah Vio merupakan primadonanya. Sekolah ini memiliki banyak klub, dari klub yang biasa ditemui di sekolah-sekolah umum sampai klub yang nyeleneh pun ada.
Vio berjalan dengan riang ketika memasuki sekolahnya. Vio sudah tak sabar untuk memulai hari pertamanya di sekolah ini. Hari pertama Vio dimulai dengan upacara penyambutan siswa baru yang tak jauh berbeda seperti SMP-nya dahulu. Yang berbeda adalah tidak adanya Masa Orientasi Siswa (MOS) di sekolah yang disampaikan langsung oleh kepala sekolahnya. Tentu saja hal itu disambut gembira oleh siswa baru yang merasa tak perlu takut dengan kegiatan MOS. Kegiatan MOS digantikan oleh club festival yang akan diadakan seminggu kemudian. Club festival bertujuan memperkenalkan sekolah dan klub-klub yang ada di sekolah.
Vio menyambut antusias setiap ucapan kepala sekolahnya yang terasa sangat berharga. Dia tak salah ketika memilih sekolah ini. Sekolah yang tepat, begitulah batinnya. Vio langsung menuju kelasnya bersama Karin, sahabatnya sejak SMP. Kelasnya begitu rapi, sudah banyak orang yang berada di kelas. Vio dan Karin pun memilih duduk di bangku barisan nomor dua yang berada di depan papan tulis.
Vio mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kelas, dia merasa kelasnya akan sangat menyenangkan. Terlebih teman barunya pun juga ramah, terlebih lagi Siska dan Angeline yang sedang terlibat obrolan dengan Karin. Vio menghentikan pandangannya kepada seorang cowok yang berada di sebelah kirinya. Cowok tersebut sedang asyik menyandarkan kepalanya ke meja, tipikal cowok pemalas menurut Vio. Kini, Vio memandang ke arah cowok lain yang berbeda 180 derajat dengan cowok yang tadi. Cowok itu duduk di dekat pintu kelasnya. Vio tadi mendengar beberapa siswi di kelasnya memanggilnya Bagas. Bagas tipikal cowok populer dan murah senyum, tempat duduknya saja sudah dikelilingi oleh siswi-siswi di kelas yang mengajaknya berkenalan.
“Kenapa mereka berdua berbeda sekali, sih?” gumam Vio sembari bergantian menatap Bagas dan si cowok pemalas.
“Sebenarnya, aku ingin kenalan dengan Bagas juga, tapi banyak sekali cewek yang mengelilinginya,” ucap Angeline, yang duduk di depannya dengan ekspresi muka penuh kekecewaan.
“Kamu siap punya rival seperti mereka?” tanya Siska tak bisa menahan tawanya.
Angeline hampir mencubit Siska kalau tidak dicegah Karin. Siska mengatakan itu bukan tanpa alasan, cewek-cewek yang sedang mengelilingi Bagas termasuk cewek cantik di kelasnya. Jadi, tidak mengherankan bila cewek yang memiliki tampang biasa lebih memilih mundur walau hanya untuk berkenalan dengan Bagas. Cowok-cowok di kelasnya pun tampak iri melihat kepopuleran Bagas di hari pertamanya masuk sekolah.
“Aku malah heran satu cewek cantik tidak bergabung dengan mereka dan malah nyangkut di sini,” ucap Siska yang kini memandang jail kepada Vio. Angeline dan Karin ikut memandang Vio.
“Siapa? Aku?” tanya Vio gelagapan.
Ketiganya mengangguk.
“Aku nggak merasa cantik kok, mereka lebih cantik dibandingkan aku.”
Ketiganya tak terima dengan penolakan Vio.
“Vio memang seperti ini kok, selalu rendah hati, tetapi cuek apabila masalah cowok,” jawab Karin yang langsung mendapat jawaban “oh” panjang dari yang lain.
“Kamu terlalu fokus belajar, ya?” tanya Angeline yang dijawab anggukan kepala oleh Vio.
“Pantes aja nilai ujian masuk kamu termasuk tiga besar. Omong-omong soal nilai ujian masuk, kalian tahu tidak kalau ketiganya sekarang berada di kelas kita semua,” ucap Angeline yang sukses membuat yang lain membelalakkan mata.
“Tiga besar ada di sini semua? Yang dua lainnya siapa?” tanya Karin sangat penasaran.
“Bagas sama Arjuna.”
“Arjuna yang mana?” tanya Siska.
“Itu,” tunjuk Angeline kepada seorang cowok yang sedang tiduran di meja, si cowok pemalas. Vio tak menyangka cowok itu hebat juga, padahal dari awal masuk ke kelas dia tiduran saja. Percakapan mereka terhenti ketika wali kelas mereka datang, terlambat 30 menit karena rapat guru.
***
Karin menguap lebar setelah Pak Angga, guru Matematika-nya keluar, dari kelas. Dua jam mata pelajaran Matematika cukup membuatnya mengantuk. Dia sempat heran Vio tidak mengantuk sama sekali, padahal cara mengajar Pak Angga sedikit membosankan walau di tengah pembelajaran, Pak Angga sempat mengeluarkan guyonan yang sebenarnya sangat garing, tetapi mau tak mau dia harus tertawa juga. Teman sekelasnya juga terlihat bosan selama proses pembelajaran, bahkan Arjuna tidur selama kelas berlangsung, itu yang membuat Karin heran.
Karin memandang Vio yang masih sibuk menulis di buku catatan. Selama pembelajaran, Vio memang tak henti-hentinya menulis sesuatu. Karin sempat mengira Vio mencatat materi yang disampaikan Pak Angga, tetapi sepertinya dia keliru.
“Kamu lagi mencatat apa, Vi?” tanya Karin sambil menguap lagi.
“Lagi mencatat klub apa yang kira-kira menarik berdasarkan cerita teman-teman,” jawab Vio tak melepaskan pandangan dari buku catatannya.
“Selama pelajaran kamu nggak dengerin Pak Angga?”
Kali ini Vio menoleh. “Aku dengerin kok, tetapi setelah Pak Angga ngasih guyonan yang garing, aku langsung inget ucapan teman-teman soal club festival,” jawab Vio sambil tertawa.
“Aku sedang mendata klub-klub yang ada di sekolah ini,” lanjut Vio kembali menekuni buku catatannya.
“Kamu serius banget sih, cari klub.”
“Mencari pengalaman sebanyak mungkin. Kamu nggak ke kantin?” tanya Vio yang membuat Karin menepuk jidatnya, lupa sudah jam istirahat karena terlalu asyik mengobrol dengan Vio.
“Ini gara-gara kamu, aku melewatkan jam istirahat,” rengek Karin pura-pura ngambek.
Vio memasang wajah sebal mendengarnya, “Aku bahkan sibuk menulis dari tadi.”
“Dasar! Nggak ngaku. Memang kamu nggak lapar?”
“Aku nggak selera makan,” ucap Vio, sedikit sedih saat mengucapkannya. Karin merasa Vio sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Untuk sesaat sahabatnya terlihat rapuh dan putus asa, Karin merasa sedih melihatnya.
“Bagas!”
Teriakan itu membuat Vio dan Karin langsung menoleh ke sumber suara. Seorang cewek cantik yang sepertinya berasal dari kelas sebelah sedang berjalan menuju tempat duduk Bagas. Keduanya tak menyadari Bagas sedang di kelas sejak tadi.
“Perlu ya, teriak-teriak gitu? Padahal, tempat duduk Bagas di dekat pintu,” protes Vio sudah tak terlihat sedih.
“Kamu perlu banyak belajar, Vio. Itu adalah trik untuk menarik perhatian orang lain,” jawab Karin.