Vio menelepon berkali-kali dengan ponselnya, tetapi tidak ada jawaban. Sudah beberapa hari yang lalu dia berusaha menelepon nomor itu, tetapi selalu dialihkan. Dia memandang nomor yang terpampang di layar ponselnya, lalu berusaha menghubungi untuk kali terakhir. Dia berniat meninggalkan pesan suara.
“Pa, ini Vio. Vio butuh Papa saat ini. Bukan, lebih tepatnya orang lain yang lebih membutuhkan Papa. Vio mohon, Pa.”
Entah, pesan suara itu akan sampai atau tidak, tetapi Vio hanya ingin papanya tahu sesuatu. Vio mengembuskan napas penuh dengan perasaan yang sangat tak menentu. Saat ini yang dibutuhkannya adalah mengadu kepada seseorang. Vio tak berani mengadu kepada Karin karena sahabatnya itu tipe orang yang mudah khawatir, terlebih lagi Karin juga sedang memiliki masalahnya sendiri.
Vio memutuskan untuk masuk ke ruang perawatan, lalu langkahnya terhenti di depan pintu kamar yang tertutup itu. Pandangannya menatap kosong pintu di hadapannya. Pikirannya melayang ke kejadian masa kecilnya dan kejadian masa lalu yang terlintas jelas secara bergantian. Air matanya tiba-tiba mengalir, dia membiarkannya, tak ada niatan untuk menghapusnya sedikit pun. Menangis sekarang lebih baik, daripada menangis di dalam, begitulah pikirnya. Vio hendak membalikkan badan, hendak menuju kantin ketika menyadari perutnya belum diisi apa pun sejak kemarin sore. Langkahnya terhenti ketika menatap seseorang yang cukup dikenalnya sedang berdiri tak jauh darinya. Keduanya berpandangan. Di antara banyaknya tempat di rumah sakit ini, kenapa dia harus bertemu dengannya di lorong ini. Keduanya berpandangan cukup lama, lalu Vio menyadari kalau dia belum menghapus air matanya.
***
Seperti biasa Arjuna lebih memilih untuk tidur ketika jam pelajaran berlangsung. Bukan karena merasa bosan dengan pelajarannya, melainkan karena merasa lelah. Arjuna hendak memejamkan matanya, tetapi tak bisa. Dia memandang jendela kelasnya yang tepat ada di sebelah kirinya, setelah merasa bosan dia memandang sebelah kanannya. Nando, sahabatnya yang duduk sebangku dengannya, memandang heran kepadanya karena biasanya dia akan tertidur ketika pelajaran berlangsung. Arjuna masih dalam posisi tiduran, dia menyembunyikan mukanya di antara kedua lengannya, agar teman sekelasnya mengira dia sedang tertidur seperti biasanya. Pandangannya tertuju pada Vio yang duduk di bangku sebelah kanan Nando. Kejadian kemarin sore masih teringat jelas di kepalanya, pertemuan tak terduganya dengan Vio. Karena kejadian kemarin pula dia membatalkan kunjungannya untuk menjenguk teman SMP-nya di sana. Arjuna mencoba memejamkan matanya kembali, tetapi dia teringat dengan pertemuan tak terduganya dengan Vio.
Arjuna melangkahkan kakinya menuju ruangan Bayu, teman SMP-nya yang mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu. Karena Nando ada urusan keluarga, jadilah dia menjenguk Bayu sendirian. Arjuna terus berjalan di lorong rumah sakit bagian barat. Dia mendapatkan informasi ruang perawatan Bayu dari teman-teman SMP-nya yang lebih dahulu menjenguk. Saat itulah Arjuna melihat sosok yang begitu dikenalnya, cewek itu sedang duduk di kursi di depan sebuah kamar perawatan. Arjuna menghentikan langkahnya karena merasa bingung harus menyapa atau tidak. Walaupun sekelas, mereka tak terlalu akrab, dia hanya tahu namanya saja, Vio, si cewek yang tempo hari menarik-narik celananya.
Arjuna hendak menyapa cewek itu, tetapi diurungkannya karena melihat wajah putus asa dan sedih dari Vio. Vio seperti sedang berusaha menghubungi seseorang, tetapi tak tersambung.
“Pa, ini Vio. Vio butuh Papa saat ini. Bukan, lebih tepatnya orang lain yang lebih membutuhkan Papa. Vio mohon, Pa.”
Arjuna mendengar percakapan itu dan merasakan ada sesuatu yang tak beres. Ada nada kesedihan dalam ucapan Vio. Vio yang dikenalnya di kelas tak semurung ini. Vio yang sekarang dilihatnya seperti memiliki beribu-ribu beban di pundaknya.
Vio melangkahkan kakinya, hendak masuk ke ruang perawatan. Arjuna tak tahu ruang perawatan siapakah yang hendak dimasuki Vio. Yang dia tahu adalah keberadaannya saat ini tak disadari oleh Vio. Arjuna melihatnya, saat Vio meneteskan air mata. Jelas sekali masalah yang dihadapi Vio cukup berat hingga membuatnya menangis. Arjuna tetap berdiri di tempatnya sambil terus memperhatikan Vio. Saat cewek itu kaget karena mengetahui keberadaannya, Arjuna tetap berdiri di tempat yang sama. Dia tak berusaha menyapa ataupun pergi dari situ. Dia hanya terus memandang Vio.
Aku tak pernah menyangka akan melihat sisi lain dirimu, batinnya.
Saat Vio terburu-buru pergi dari pandangannya pun, Arjuna masih berdiri di tempatnya. Dia tak berusaha mengejarnya, yang dibutuhkan Vio saat ini adalah sendiri. Vio pasti merasa tak nyaman dipergoki menangis oleh teman sekelas. Akhirnya, dia memutuskan untuk melupakan kejadian yang barusan dilihatnya, tetapi ternyata tidak bisa.
Saat di sekolah, diam-diam dia memperhatikan Vio. Teman sekelasnya pasti mengira dia sedang tertidur seperti biasanya, tetapi sebenarnya dia sedang memperhatikan Vio.
Kenapa aku malah semakin penasaran dengan masalahmu. Ah, sial! ucap Arjuna dalam hatinya.
Arjuna masih terus memandang Vio secara diam-diam, bahkan saat Karin memergokinya dia bergeming. Yang ada di pikirannya saat ini adalah bagaimana caranya menghilangkan rasa penasarannya.
***
Akhirnya, acara yang paling ditunggu seluruh siswa baru di sekolah Vio, yaitu club festival, digelar juga. Selama seminggu ke depan club festival akan digelar, banyak acara menarik dan tentunya pengenalan masing-masing klub. Stan-stan tiap klub sudah berdiri di lapangan yang biasa digunakan untuk upacara. Tiap stan mengambil tema yang berbeda-beda, disesuaikan dengan jenis klubnya. Panggung utama juga sudah didirikan di dekat tiang bendera. Club festival sepertinya merupakan event besar di sekolah Vio yang memang dikhususkan untuk siswa baru, tetapi siswa lama pun tak kalah antusias untuk mempersiapkan club festival ini. Stan-stan yang ada pun hanya bisa dikunjungi saat jam istirahat, pulang sekolah ataupun hari Sabtu yang memang hari khusus untuk lebih mengembangkan bakat di klub. Selama seminggu ke depan, siswa baru diperbolehkan untuk mencoba masuk ke dalam semua klub sebelum akhirnya mereka harus memilih klub yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
“Ayo, Vi!” ajak Karin sambil menarik tangan Vio mendekati stan jurnalistik, Karin memang sangat menyukai dunia tulis-menulis sejak SMP.
Vio hanya pasrah ketika diajak Karin, Angeline, dan Siska, yang sekarang sudah menjadi teman mereka, juga mengikuti. Vio tak tertarik ketika anggota klub jurnalistik menjelaskan kegiatan klub mereka, tak begitu dengan Karin yang tampak berbinar-binar mendengar setiap detail penjelasan. Ada beberapa klub yang menjadi incarannya. Oleh karena itu, dia sibuk menengok ke sana kemari mencari stan klub yang dicarinya. Diam-diam, dia meninggalkan ketiga temannya dan menuju stan olimpiade.
Vio langsung disambut ramah anggota klub olimpiade yang rata-rata kelihatan cerdas. Vio membaca brosur klub olimpiade yang disediakan, dia sedang memikirkan harus memilih salah satu mata pelajaran yang ada di klub itu atau tidak.
“Kamu Violin dari kelas X-2?” tanya anggota klub yang sedari tadi kelihatan memperhatikannya.
“Iya, benar,” jawab Vio pendek.
Kakak kelas itu terlihat senang mendengar jawaban Vio. Dia lalu berbisik-bisik dengan anggota klub yang lain. Kini pandangan anggota klub olimpiade yang ada di stan tertuju pada Vio.