"Petarung sejati adalah mereka yang bisa melawan hawa nafsu dalam diri mereka sendiri."
•••
BELUM beberapa menit pelajaran pertama dimulai. Suara teriakan histeris anak-anak lain di luar kelas membuat seisi kelas panik untuk ikut melihat. Guru yang mengajar saat itu pun ikut keluar untuk memastikan keadaan. Membuat kelas 12 IPS 4 mendadak sepi, karena para siswanya ikut keluar untuk menonton langsung ke tempat kejadian perkara.
"Siapa tuh?" tanya Amanda memperhatikan gerombolan anak-anak berlarian menuju lapangan.
Melta memperhatikan arah jalan mereka. Ia sedang terpikirkan oleh seseorang saat ini.
Apa jangan-jangan ... ALFI?!
Tak perlu intruksi Melta meninggalkan tempat itu, berlari berlawanan arah dari anak-anak lainnya. Sedangkan tiga cewek yang lainnya masih berdiam menunggu informasi, tak tahu jika Melta sudah berpisah dari rombongan. Mereka hanya tak mau susah-susah berlari tapi akhirnya malah akan menemukan perkelahian antara bibi kantin dengan tukang sapu. Percuma bukan?
"Eh, eh, siapa yang kelahi?" tanya Lyra menghentikan salah satu dari mereka yang berlari.
"Gue juga gak tau, makanya mau liat."
Amanda pun ikut bertanya pada teman kelasnya yang terlihat paling cepat mengambil langkah. "Oi, siapa yang kelahi?"
Anak itu malah cemberut ketika diberikan pertanyaan yang hanya akan mengulur waktunya. Sambil terus memegangi bokong dan kaki berjalan di tempat anak itu menjawab ketus, "Kelahi apaan, gue pengen ke wc sakit perut, bego!"
Karena tak berhasil menemukan jawaban, Felicia pun ikut menghentikan siswa dari kelas sebelah. "Eh, siapa yang kelahi?"
Sayangnya lagi, anak yang ia tanya adalah seorang gagap. Ia menjawab sangat lama hingga membuat ketiganya menata kesabaran sebesar-besarnya. "I-itu, tu-tuh, a-anak ba-ba-ru sama ketua sosis! Eh, ketua o-osis maksud gu-gue."
Ketiganya membulatkan mata menahan mulut mereka terjatuh lebar.
"Udah ya, gue mau nonton nih, seru!" tutup anak tadi dengan lancar. Padahal sebelumnya ia berusaha keras untuk mengeluarkan sepatah kata saja.
Mereka tak pedulikan itu dan saling menatap. Felicia yang menerawang pun mengejakan pikirannya. "Anak baru? Ketua osis? Wah! Itu artinya ..."
"Lintang sama Gilang!" ucap mereka serempak. Tak ingin tertinggal sedikit pun mereka akhirnya berlari pontang-panting. Ikut saling menjejal bersama murid lainnya.
***
Dengan langkah gentarnya Melta masih mencari Alfi ke beberapa kelas yang sering disinggahi anak itu. Termasuk kelas XII IPA 1, kelasnya. Al! panggilnya keras ke dalam ruang kelas.
Bukannya menemukan Alfi, Melta malah melihat pemandangan tak senonoh di depan matanya. Ketika dua orang sedang berpacaran di pojokan kelas sepertinya sih akan ‘berciuman'. Namun, terhenti karena kedatangan dirinya.
"Oh, maaf," lontar Melta hingga kembali menutup pintu itu. Ia terus menepuk keningnya, merasa malu. Hal yang seharusnya dirasakan dua orang tadi. Mengapa pula mereka harus memanfaatkan kesempatan ricuh seperti ini untuk berduaan, atau mengapa pula dirinya harus masuk ke dalam kelas itu, huft.
"Mana sih tuh anak!" cetusnya mulai penat berkeliling. Setelah kembali mengedarkan pandangannya, Melta akhirnya berhenti. Ia mundur beberapa langkah untuk memastikan pandangannya tak salah di beberapa meter sebelumnya.
Melta menengok ke sebelah kanan, bagian belakang kantin. Taman kecil yang dipenuhi pohon kering dan kursi kayu tua. Cowok yang ia cari berada di sana. Sambil memegangi sebuah buku dan bersandar pada kursi. Sangat santai dengan satu kaki terlipat di atas paha serta earphone di telinganya.
Melta menggelengkan kepalanya keras. "Wah, seharusnya gue udah tau kalo dia bakal ada di sini." Ia pun melangkah tegap dengan bercekak pinggang langsung menarik earphone di telinga Alfi. "Al! Gue khawatir tau! Kirain aja lo yang lagi baku hantam di sana."
Alfi yang merasa terusik itupun memberi tatapan nanar. "Buat apa?" balasnya lalu kembali melirik buku, tak acuh.