Malam itu, jelas sekali di mata Rora bahwa Mama berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Berkali-kali dia mondar-mandir di depan kamar Rora, hendak mengetuk pintunya, tapi tidak jadi.
Rora mengernyit melihat bayangan Mama melalui celah pintu. Konsentrasinya buyar sudah. Dia harus bicara dengan Mama.
Akhirnya, terdengar bunyi ketukan di pintu. Rora melompat turun dari kasur dan membukanya pada ketukan kedua.
"Ma."
"Ra!" Mama terlonjak. "Mama kira, kamu sudah tidur."
"Bikin coklat panas yuk, Ma. Kita nonton maraton Mission Not Impossible," ajak Rora. Digamitnya lengan Mama menjauh dari kamar.
Tiba-tiba Mama berhenti. "Ra, ada yang perlu Mama ceritakan," ucapnya gelisah.
Hmm, salah satu rahasia Mama? Rora jadi penasaran.
"Apa?"
"Di bawah saja, deh," putus Mama.
***
Televisi menyala, menampilkan pemeran utama berlari-lari menghindari serangan musuh. Tidak masalah, meskipun suaranya dimatikan, Rora sudah hapal setiap dialognya.
Mata gadis itu membulat lebar mendengar cerita ibunya. Mata coklat besar itu menyiratkan keterkejutan, ketakutan, kemarahan, sekaligus sedikit rasa geli.
"Jadi, selama ini... waktu Mama pergi ke luar kota untuk bergabung dengan tim rias, sebetulnya Mama bekerja sebagai bodyguard?" ulang Rora tak percaya.
"Betul," jawab Mama. Matanya terpaku ke layar, tapi benaknya berkelana. Sungguh terpaksa dia mengakui pekerjaan sebenarnya pada Rora, tapi situasi akan lebih rumit bila dia tidak jujur.
Rora menatap mamanya dengan terkejut. Otaknya masih sulit menerima infornasi tersebut.
Setahu Rora, para bodyguard itu berbadan besar, dengan otot menggembung, serta bertampang menyeramkan. Rora tahu persis, karena dia kenal beberapa bodyguard Papa.
Om Benny, misalnya. Dia berbadan tinggi besar dan sangat kuat. Rora pernah terpental ketika dia secara tak sengaja menabraknya. Atau Steven, misalnya. Meskipun tidak sebesar Om Benny, Steven sangat kuat dan bertampang dingin menakutkan.