Merantau meski tak jauh tetaplah merantau. Jauh dari orangtua dan mulai hidup sendiri tanpa ada orang yang dikenal. Aku mengatakan pada bapak tentang jarak yang masih terbilang dekat. Menenangkan beliau jika aku akan tetap pulang seminggu sekali. Kenyataannya tak mudah untukku meski jarak kami hanya sejauh 4 jam saja. Banyak hal yang harus aku kenali untuk kelancaran hidupku di tempat baru. Maka aku memilih tak pulang setiap minggu. Semata agar aku lebih cepat terbiasa dan proses adaptasiku segera selesai. Maka aku bisa sedikit lebih santai menghadapi masa-masa perkuliahan.
Aku memulai dari tempat tinggalku lebih dulu. Hari pertama aku bermalam di tempat baru. Hanya ruangan seukuran 3x3 meter saja. Ada rasa tak betah, bukan karena ukuran kamarnya, tapi karena terlalu sepi (meski banyak orang yang sewa kamar di sana). Lebih tepatnya masih belum terbiasa dengan keadaan jauh dari ibu dan bapak. Sesekali aku menangis tanpa bisa ditahan. Rindu. Tapi aku bertahan untuk tidak menghubungi orangtuaku. Berusaha tak membuat mereka khawatir. Keadaan ini masih terus berlangsung selama satu sampai dua bulan, setiap harinya. Sampai aku menemukan orang-orang yang satu pikiran untuk diajak bicara dan membuatku nyaman dengan sendirinya.
Esok paginya aku mulai menelusuri lingkungan sekitar tempat tinggalku. Berjalan pagi sambil mencari sarapan. Sendirian. Lagi-lagi aku merasa tak betah. Bukan karena lingkungan atau sulitnya mencari makan, tapi karena aku tak melihat ibu dan bapak yang selalu sibuk di pagi hari. Tak lagi duduk manis di meja makan menunggu sarapan jadi sambil sesekali menggoda bapak yang sedang memandikan mobil jadulnya. Rindu. Aku menarik nafas panjang, berusaha menikmati segarnya udara pagi. Masih banyak pepohonan di sana. Sejuk. Tapi aku justru merasa sesak. Air mataku tumpah lagi untuk kesekian kalinya. Itu masih juga terus berlangsung satu hingga dua bulan kemudian.
Siang hari, aku bersiap untuk masa Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (ospek) di kampus pusat. Berjalan menuju tempat pemberhentian bus sambil mengabari Okta jika aku sedang dalam perjalanan. Lalu Menunggu bus menuju Serang dengan rasa tegang dan ragu jadi satu. Memastikan berkali-kali ketika hendak naik bus hingga aku benar-benar mantap. Aku memilih duduk di kursi paling depan dekat pintu yang masih kosong. Posisi tempat duduk yang paling aman, menurutku. Belum lama aku duduk, adalah seorang perempuan. Kira-kira seumuran denganku, memakai celana jeans panjang lurus dengan sweater besar warna hitam berkupluk, lengkap dengan jilbab segiempat berwarna hitam pula dengan model tersampir asal di bahu. Ia meminta izin padaku untuk duduk di sampingku. Aku mengangguk tersenyum. Ia mengucapkan terima kasih tanpa ekspresi. Aku tak ambil pusing dengannya, membuang pandangan ke jendela. Berusaha menikmati perjalanan Cilegon menuju Serang hingga selesai.
Okta sudah menunggu di depan gang ketika aku turun dari bus. Ia melambai-lambai sambil memanggil namaku. Aku balas melambai sambil mengangguk-angguk. Sekilas kulihat orang yang duduk di sampingku ikut turun pula setelah aku. Tapi lagi-lagi aku tak peduli. Kuanggap sebagai orang tak dikenal saja. Lalu aku dan Okta melanjutkan perjalanan menuju indekos Okta dengan berjalan kaki. Okta tak bohong soal dekatnya jarak indekos ia dengan kampus. Memang benar-benar dekat. Istilah hiperbolanya, "ngesot juga nyampe," karena saking dekatnya.
Sore harinya, Okta mengajakku berkeliling sekitaran indekosnya dan kampus. Kami mencari-cari perlengkapan Ospek yang masih belum ada sekalian mencari makan malam. Kota baru lagi dan aku masih belum bisa merasa betah. Tiba-tiba teringat ibu yang setiap malam tak pernah berhenti memanggil namaku jika aku belum makan malam. Ketika akhirnya aku menuju meja makan, bapak dan ibu juga makanan hangat nan sedap telah menunggu. Tanpa bisa ditahan lagi, aku menangis. Rindu.
"Kenapa Ais?" Okta bertanya bingung.
"Ngga apa-apa." Aku menjawab sambil mengelap tetesan air mata.
"Kangen orangtua ya? Inget rumah?" Okta bertanya lagi.
"Hehe, iya." Aku menjawab malu.
"Ngga apa-apa. Wajar ko. Aku juga kemarin-kemarin itu kaya kamu. Bapakku meninggal udah lama, sejak aku kelas 3 SD. Aku sangat kehilangan. Sering juga rindu dan nangis tiba-tiba. Lalu ibuku selalu bilang, setiap yang hidup pasti akan mati. Kita yang hidup lagi nunggu giliran aja. Terus kita nanti juga akan sendiri kan di alam kubur? Nah, sambil nunggu itu sebenernya kesempatan kita buat terus berbuat baik, beramal sholeh, menjaga apa yang memang harus kita jaga. Jadi ketika kemarin ini aku masih mendadak menangis karena rindu ibu dan adik-adikku yang kupikirkan hanya pesan ibuku itu. Lakukan segala kebaikan sambil menunggu ajal menjemput. Karena sejatinya manusia kelak akan mengalami masa-masa seorang diri. Benar-benar seorang diri. Anggap saat ini kita sedang melatih diri."
Aku terdiam sejenak, mencerna setiap kalimat yang Okta ucapkan. "Makasi ya Ta." Tak ada kalimat lain selain itu.