Aku menatap tumpukan buku-buku tebal di meja. Perasaan bersalah pada orangtua, lelah dan lega menyatu diwaktu bersamaan. Bukan aku mau mengeluh, hanya saja aku merasa tak sanggup menghadapi semua beberapa tahun belakangan. Perasaan salah memilih jurusan pun tidak berhenti bergejolak dalam hati hingga akhir. Sarjana teknik kimia yang selalu dibangga-banggakan ibu bapakku cukup memberatkan. Aku yang lebih suka berimajinasi, mendesain bahkan menulis cerita serasa sedang terjebak dalam ruangan sempit dan pengap selama masa perkuliahan. Pada akhirnya aku lulus juga. Gelar itu sudah kudapatkan meski dengan perjuangan panjang. Ijazah bertulisakan nama lengkap “Aisyah Rania” sudah ditangan. Bahkan sudah pernah kusebar ke banyak perusahaan demi mendapat pekerjaan yang cocok. Hingga akhirnya jadilah aku yang sekarang.
Semua berawal sekitar 12 tahun lalu. Ketika aku baru saja dinyatakan lulus ujian nasional SMA. Ibuku dengan bangga berkeliling komplek memberitahu para tetangga tentang kelulusanku. Entah apa yang ada dalam pikiran ibu, hanya saja aku merasa tak seharusnya ibu bersikap begitu. Menurutku, kelulusan adalah perkara sensitif. Belum tentu anak para tetangga bisa lulus dengan mudah atau bisa saja diantara kawan-kawan ibu ada anaknya yang tak lulus. Ditambah nilaiku tergolong tinggi dan ibupun tak lupa menyebar informasi. Sebenarnya aku tak heran jika ibu tak bisa menahan kegembiraannya karena hasil yang kudapat. Ujian nasional yang kujalani memang terbilang masa kelinci percobaan waktu itu. Tak tanggung-tanggung 3 mata pelajaran jurusan ikut di ujikan. Aku yang masuk jurusan IPA harus menjalani ujian fisika, kimia dan biologi juga. Belum ada gambaran soal-soal yang akan diujikan karena saat itu pertama kalinya pemerintah memberlakukan 6 mata pelajaran yang masuk ujian nasional. Perjuanganku dan kawan-kawan dimulai sejak pemerintah mengetuk palu tentang aturan baru. Kami menangis bersama dihari terakhir ujian. Semua hanya berharap keajaiban berpihak pada kami. Sesulit itu soal-soal ujian yang harus kami selesaikan. Tak hanya siswa jurusan IPA yang mengakhiri hari terakhir ujian dengan tangis, siswa IPS pun melakukan hal yang sama. Satu sekolah menangis massal saat itu. Maka, tak heran jika ibu bersikap berlebihan atas apa yang telah aku dapat.
Rasa tak nyaman masih terus berlanjut. Belum selesai rasa maluku bertemu tetangga karena ibu, tiba-tiba Bapak melakukan hal yang tak jauh berbeda. Kali itu aku dinyatakan lolos ujian masuk universitas negeri di Banten dengan jurusan teknik kimia. Bapak mendatangi teman-teman dekatnya untuk menceritakan kabar terbaru tentangku. Lagi-lagi aku tak suka dengan sikap yang agak berlebihan. Bapak yang bertahun-tahun bekerja di industri kimia sebagai pegawai kelas bawah karena terpentok gelar, berambisi untuk memasukkan aku ke jurusan teknik kimia. Agar kelak aku bisa mendapatkan pekerjaan layak di bidang itu. Maka ketika akhirnya Allah memberikan kesempatan itu padaku, bapak serasa mendapatkan secercah cahaya dalam gelap. Semua wajar bagi orangtua ketika berbangga atas prestasi yang didapat anaknya. Tapi tetap saja ada rasa tak nyaman yang aku rasakan.
Aku sempat berontak, protes besar-besaran pada Bapak karena keinginan kerasnya. Aku memiliki keinginan sendiri. Cita-citaku bukan bekerja di pabrik. Belum lagi aku ini seorang perempuan. Jabatan atau pekerjaan apa yang bisa kudapat di pabrik industri kimia, begitu pikirku. Namun, melawan Bapak adalah hal sia-sia. Semakin aku berkeras semakin bulat keputusan beliau. Bapak tak ingin mendengar sedikitpun. Ibu yang tak ingin aku ribut dengan bapak, berusaha membujukku hingga akhirnya aku luluh. Bukan karena ambisi besar bapak, semata hanya karena kesedihan ibu.
Akhirnya aku tetap berangkat. Ibu dan bapakku mengantar menuju tempatku menuntut ilmu. Perpisahan sementara kami cukup mengharukan. Bapak yang tak pernah menangis di hadapan siapapun, ketika itu tak dapat menahan air matanya meski hanya setetes.
“Kamu hati-hati ya Nia. Jaga diri baik-baik. Kuliah yang benar.” Bapakku berpesan ketika kami baru saja tiba di indekos, rumah baruku untuk sementara waktu.
“Makan yang benar, sholat 5 waktu jangan ditinggal. Pokonya tetap jadi anak baik kami.” Ibuku menambahkan sambil mulai membereskan kamar berukuran 3x3 meter yang akan menjadi tempatku melakukan segala kegiatan harian.
“Iya, insha Allah. Kapan Nia pernah mengecewakan ibu sama bapak?” aku bertanya agak ragu.
“Alhamdulillah, ngga pernah Ni. Cuma tetap kamu harus hati-hati. Sekarang kan sudah beda. Kamu jauh dari ibu bapak. Sendirian di kota orang.” Ibuku mulai khawatir.
“Kalau ada apa-apa langsung telepon bapak dan ibu. Ngga usah takut-takut.” Bapak masih terus bicara.
“Iya.” Aku menggangguk sambil mulai membantu ibu membereskan kamar.