YANG kukisahkan ini sesuatu yang sungguh-sungguh terjadi di dalam diriku. Memang semasa kecil atau waktu muda, sering aku diajari berbohong oleh berbagai kejadian di sekelilingku, oleh berbagai nilai hidup yang senantiasa timbul-tenggelam-timbul-tenggelam. Namun, kini tak mungkin aku berbohong. Pertama, aku sudah tua. Orang tua yang berbohong itu bukan hanya tidak jujur, melainkan juga bodoh: ia makin tidak mengerti dirinya. Kedua, karena aku ini seorang guru. Aku mengajar di sebuah universitas. Segala nilai yang diemban dalam nilai perguruan tidak akan pernah memperkenankanku berbohong. Nilai-nilai itu tak punya kodrat untuk berbohong. Yang berbohong hanyalah tangan-tangan yang menggenggamnya. Tanganku lebih lanjut usianya. Telah kenyang makan tanah dan minum samudra.
Sejak SMA, telah mulai kularang tanganku untuk berbohong. Karena itu, aku banyak kurang disukai guru-guruku. Misalnya, aku memberitahukan kepada mereka bahwa ada beberapa guru yang kurang berdisiplin dalam memenuhi kewajiban rutinnya untuk mengajar. Wali Kelas saya terperenyak. “Kamu, kok, mengkritik Guru?” tanyanya. Di saat lain aku mengemukakan tentang beberapa guru yang tidak konsisten menjalankan tata aturan sekolah. Aku ditegur, “Kamu berani, ya?” Ada lagi kejadian ketika saya melontarkan pendapat bahwa guru ini dan itu kurang mampu mengajar, kurang bisa mengomunikasikan pelajaran, sementara guru yang lain kurang memperhatikan efisiensi dan efektivitas dalam melaksanakan proses pengajaran. Untuk ini, aku digertak: “Kamu melawan guru!” Akhirnya ketika aku membantah beberapa bab keilmuan yang diajarkan, cap yang kuperoleh ialah “berkelakuan tidak baik”.