Karena tanpa menyebut kiriman-kiriman
itu sebagai surat-surat mulia dari Tuhan,
Boleh memazhabi Maradona, kan?
Surat-surat itu banyak jumlahnya. Tiga yang paling menarik ialah yang memaki-maki saya—“Berkelebatlah bayang-bayang yang menakutkan ke seantero desa-desa, seseorang yang entah mewakili siapa, naik ke puncak piramida meniupkan terompet sak kepenake dhewe”—dalam suatu tema duka mengenai “piramida mutakhir”, dengan “menggelinding berpuluh-puluh, beratus-ratus, bahkan beribu-ribu kepala, dari puncaknya”. Ia mengaku kambuh sakit ambeiennya oleh persoalan-persoalan politis ideologis.
Itu pertama. Kedua ialah surat cinta prihatin, bagi seorang ibu yang menyediakan pangkuannya bagi Oedipus Complex saya, berbisik—“Jangan pernah mengeluh, Sayang. Bumi ini haram menerima tetes air matamu. Ayo, jangan pernah menarik diri!” Ia, dalam kelembutannya, meradang—“Manusia maju telah menemukan dirinya dalam jalan buntu. Apakah mereka akan menarik diri dari kenyataan itu, atau bersedia hancur dalam proses kefanaannya yang lamban, tidaklah di luar tanggung jawab kita. Sebab betapapun mereka adalah anak kita sendiri, yang merasa sangat pandai, bukan fitrah kita untuk membiarkan mereka merintis kehancurannya sendiri dan berlarut-larut gagal menemukan keabadian dalam kefanaannya ….”
Adapun yang ketiga ialah surat-surat rutin, berasal dari entah siapa yang menyebut diri “sedang dalam gejala melankolia, alias depresi yang berlarut-larut dan patologis”. Mengaku hidup sekadar dalam “kegemparan-kegemparan sesaat, yang reda segera sesudah habis daya dukung energi saya”, ia bercita-cita untuk ngumpet saja dalam almari. Ia bertanya kepada saya apakah ada kemungkinan saya akan bunuh diri sebagai suatu pilihan untuk menjawab segala ketidak-menentuan ini; atau tidak perlu karena, toh, setiap hari kita sebenarnya sudah bunuh diri—seperti juga sejarah umat manusia yang merasa gagah.