Genting peranginan depan rumah itu jatuh empat biji. Padahal, selama belasan tahun rumah kayu itu berdiri, dan meski atap peranginan sudah bergelombang, nyatanya genting rumah itu tak pernah jatuh. Ataupun semisal ada badai mengguncang jagat, rupanya susunan tanah liat bakar itu tak pernah berubah. Sungguh. Barang sekali pun tidak. Namun, kali ini, tepat tengah malam, genting peranginan rumah itu jatuh empat biji. Tiga di antaranya hanya cuil, sedang satu lagi terbelah menjadi dua bagian.
Muskir melangkah tanpa ragu, tangannya mengepal-ngepal di udara sambil berteriak, “Neptu rolikur isine mung bala tok![1] Terkutuk kamu, Inah!”
Sedang para peronda memandangi Muskir dari jauh, fokus mereka terpecah. Di ambang pintu terdengar isak seorang perempuan. Tak lain dan tak bukan adalah Inah sendiri. Seorang peronda lantas bersiul, agak-agaknya karena melihat perempuan itu sedang mengenakan kemben[2] dan sewek[3]. Disahut kekeh oleh seorang lain. Beberapa saat kemudian ibu perempuan itu muncul, mengajaknya ke dalam, dan pintu tertutup.
“Hus, orang lagi susah kok malah diguyu![4]” seru saya.
“Ya bagaimana tidak kita guyu, wong Muskir sudah dinasihati berkali-kali tetap ndablek[5]. Sekarang lihat akibatnya!”
“Lah, Sudah dipanggilkan Tetua Desa untuk bantu hitungkan weton[6]. Lebih-lebih sudah tahu dapat topo[7], eh, ngotot nikah. Ya beginilah hasilnya.”
“Meski dapat topo, kan masih ada harapan bakal langgeng,”
“Lo, sampean[8] kok melawak. Buktinya kan sudah jelas. Kita lihat sendiri tadi Muskir nendang tiang sampai genting peranginan jatuh empat biji. Teriak-teriak pula. Apa ini yang disebut langgeng? Keh-keh-keh.”
Saya memalingkan muka ke arah jalanan, agaknya masih pengin bersikukuh. “Mereka kan baru menikah, wajar kalau sifat keakuannya masih ada. Apa sampean-sampean tidak begitu, dulu?”
Dibalas hening dan kali ini saya yang terkekeh.
“Wong kita bukan siapa-siapa, untuk makan pun perlu banting tulang, kok enggak ada rasa waswas dan seenaknnya sendiri menghakimi orang lain. Atau sampean-sampean mau perkawinannya dikomentari tetangga?”
Para peronda cengar-cengir, saya pun ikut sekadar mencairkan suasana.
Dan belum matahari tampak bulat penuh, rupanya kabar jatuhnya empat genting peranginan rumah itu sudah meluber ke mana-mana. Tidak mengherankan jikalau mulut warga megap-megap menyampaikan gosip, tetapi yang bikin heran para warga, khususnya saya, Muskirlah yang menabur pergunjingan mengenai istrinya sendiri.
Subuh, sewaktu beberapa warga hendak menuaikan salat di masjid, Muskir berteriak-teriak di depan mereka, “Oh, neptu rolikur isine mung bala tok! Belum dijamah ternyata jebol duluan. Memang terkutuk kau, Inah!”
Mula-mula saya tidak percaya kabar burung itu, toh kebanyakan kabar burung berisi tahinya saja. Saya berusaha maklum dan sebisanya tersenyum ringan. Namun, ketika makin banyak burung yang membuang tahi sembarangan, saya pun akhirnya kejatuhan tahi juga. Rasanya gurih sekaligus membikin telinga gatal. Ya, ya, inilah kabar burung. Kena tahinya sekali, pengin minta tambah berkali-kali. Yang seperti ini saya juga berusaha maklum, pun berusaha memaklumi diri sendiri.
Sekarang, mertua dan istri Muskir—yang mampu membikin laki-laki bersiul cabul—datang ke hadapan saya. Alis kanan saya terangkat. Tanpa sadar saya memandangi Inah dari ubun-ubun, berhenti sebentar di tengah, lanjut lagi, lalu berhenti lama di area bawah pusar. Ujung rokok saya terus berasap, untunglah ibu Inah terbatuk—barangkali tak kuat menghirup asap tembakau. Semisal tak begitu, entahlah bakal jadi apa saya.
“Mau ketemu Emak?” tanya saya tiba-tiba.
“Ya, ya, tolonglah kami, cah bagus[9].”
“Mari masuk, Bu,” kata Emak. Dari arah belakang Emak terlihat buru-buru menghampiri kami. “Setelah saya dengar kabar tentang ocehan Muskir, saya langsung cepat-cepat menyiapkan peralatan. Entah kenapa saya punya firasat kalau sampean dan cah ayu[10] bakal ke sini.”
“Wadhuh[11], Mak. Kok sudah mirip dukun saja bisa menerawang begitu. He-he.”