Sekarang Darya membelalakkan mata kirinya. Bulatan hitam kecil berselaput biru itu seolah menyoroti Lintuk lama sekali. Dan ketika Lintuk bermaksud menjetikkan jarinya, lelaki itu kecolongan. Darya lebih dahulu mbekur[1] sambil menodongkan kepalanya yang abu-abu ke arah sang majikan. Lintuk seketika tertunduk, kesadaran dirinya tiba-tiba lenyap. Baru kali ini dekut Darya sangat dalam, berat, dan mistis. Baru kali itu pula—setelah hitungan bulan mengopeni Darya—Lintuk kangen lembunya melenguh.
“Rasakna, ben kapok duwe rambut,[2]” ejek istri Lintuk.
Lintuk menjawab dengan merabai kepala. Ia yakin, tepat di tengah ubun-ubun, ada rambut sepanjang dua ruas jari manusia. Selanjutnya Lintuk bergeming, mukanya memerah.
“Ingat, rambut itu mahkota, lebih-lebih kalau masih hitam. Ini sebuah pertanda. Jangan coba-coba dicabut,” ejek istri Lintuk untuk kedua kali.
Muka Lintuk kini benar-benar merah, memucat sebentar, dan akhirnya menggelap. Diembuskannya napas dari mulut. Namun perasaan Lintuk makin kusut. Pun kesadarannya kembali melayang, seolah mendobrak batasan-batasan kodrat. Lintuk kini dipertontonkan masa yang sudah lewat sekaligus dipaksa menjadi saksi atas dirinya sendiri.
“Ah, tidak, tidak. Kamu cepat ganti pakaian. Istri kades kok penampilannya begini. Kurang pantas, eh, tidak pantas malahan!”
“Bukannya Mas sendiri yang kurang pantas? Masih nyalon kok berani mengaku-ngaku kades.”
“Lo, kamu tidak lihat kepala saya? Coba sini tengok, bagaimana?”
Cerminan diri Lintuk menunduk, Lintuk sendiri menggigit bibir kuat-kuat. Dada ditekan, diremas, bahkan dipukul. Percuma. Udara leluasa keluar-masuk tenggorokan dan membikin normal aliran darah di paru-paru. Sepersekian detik itu Lintuk mendamba dadanya dipalang, kalaupun bisa biarlah disegel sekalian. Namun Yang Mahahidup tidak berkenan, Ia senantiasa menyegarkan kesadaran Lintuk.
“Kok malah diam. Coba sebut apa yang kamu lihat.”
“Ram—rambut.”
“Ya, ya, bagus! Masih baik rupanya penglihatanmu. Kepala saya yang plontos sejak orok sudah tumbuh rambut! Kamu percaya itu? Saya saja yang mengalaminya sendiri masih kaget, tapi inilah adanya: kepala saya, Lintuk si Plontos, sudah berambut.”