Seduhan Tanah Pekarangan

Neo Hernando
Chapter #3

Warung Lindhu

Mata Sarkup terombang-ambing tiap kali mendengar kayu konstruksi warungnya meletus-letus kecil. Lelaki itu bahkan lupa berkedip meski debu berloncatan ke matanya. Dalam penglihatannya, atau mungkin dalam pendengarannya pula, rekahan kayu-kayu itu perlahan membongkar kemasygulan yang sudah lama terpendam. Sarkup amat hening, begitu khusyuk menghadirkan keberadaannya di tengah warung-warungnya.

Dan ketika angin berembus, bulatan hitam mata Sarkup gemetaran hebat. Ia seolah sedang berjuang mengarungi kobaran api. Barangkali tertatih-tatih untuk menuju sesuatu di balik sana. Timbul pula citra merah menyala-nyala di lapisan bening matanya. Meski asap berkepul-kepul dan membikin gelap sekitar, pancaran merah itu tak sedikit pun memudar. Malah makin merah hingga menyelubungi bola mata Sarkup.

Kaki yang mencagak tanah itu goyah oleh kobaran api. Kobaran yang mirip lidah manusia—jauh lebih lebar dan panjang. Tengkuk Sarkup berasa dipatahkan oleh panas, kemudian wajahnya seakan dijilati sebagai bentuk perolokan atas suratan hidupnya.

Namun Sarkup ingin melawan dengan mengencangkan otot lengannya. Gagang jeriken dipegang erat. Dan entahlah, Sarkup tiba-tiba takut. Bebauan minyak tanah bercampur bakaran kayu menyambangi hidung dan menutuk-nutuk dahinya. Otot perlahan mengendur. Jeriken yang isi sedikit makin lama makin berat dan akhirnya terjatuh. Mata Sarkup gosong, terbakar olokan lidah-lidah api.

***

Penduduk telah maklum, malam di pinggir jalan lintas provinsi itu selalu ditenggeri truk kilang papan. Pun bilamana truk-truk itu saling menggeram seperti hendak bersipukul. Setelahnya pasti akan bersibalap dengan ditenagai sorakan sopir-sopir di sepanjang pinggir jalanan kosong. Sorak-sorai itu malah bisa menyaingi geraman mesin truk yang dipecut sejadi-jadinya. Dan oleh karenanya, muatan di bak truk acap terjatuh.

Esok hari, ketika sinar matahari menyusup celah pepohonan jati, barulah keaslian jalan lintas provinsi itu terungkap: lengang. Barang satu-dua bus atau truk kilang papan lewat. Namu lebih sering terdengar suara mesin motor bebek penduduk. Memang kepulan asapnya tidak tebal, tetapi suaranya dapat membikin merinding dedaunan pohon jati. Kadang serak, kadang melengking. Yang pasti keduanya tak enak saat membentur gendang telinga.

Dan semenjak Sarkup membeli sepetak tanah di pinggir jalan lintas provinsi, saban subuh jalanan itu kelihatan lebih ramai sekaligus lebih kosong. Penduduk meniru Sarkup yang lebih dahulu mengutil gelondongan sengon untuk dijadikan konstruksi warung-warungnya. Mereka pun bersibalap sekadar menunjukkan keakuannya. Kadang keakuan itu mengembang menjadi adu mulut hingga adu jotos. Sarkup maklum, malah tak jarang membantu memboyong gelondongan. Boleh jadi karena ia pernah berteman dengan kepayahan hidup, jadilah timbul rasa persaudaraan sebagai sesama pejuang kehidupan.

Tiap bulan Sarkup tidak pernah lupa menengok tujuh warung yang disewakannya. Warung pertama disewa seorang perempuan, begitu pula warung kedua, ketiga, hingga ketujuh. Semua penyewanya perempuan, baik berkulit kencang maupun berkulit kendur. Sarkup juga maklum, tiap kali datang pastilah ada wajah-wajah baru yang menghiasi warung.

“Ini siapa, Mak?” tanya Sarkup.

“Ini Minah. Yang sebelumnya lagi sakit, jadi saya ajak dia saja.”

“Tiap hari dengan riasan menor juga?”

“Lo, sampean[1] bagaimana? Ya mesti menor. Menor itu keharusan. Coba sampean tengok warung-warung sebelah. Penyewanya muda dan warungnya selalu ramai. Saya pun kalau mau bertahan harus bisa menyiasati kecurangan mereka. Bukan begitu?”

Sarkup mengangguk-angguk.

“Toh, dengan riasan begini warung bisa tambah ramai. Tidak hanya para sopir, penduduk desa juga ikut mampir. Nah, sampean tambah untung, bukan?”

Sarkup cengar-cengir. “Tapi, jangan dibuat macam-macam. Saya ini kadang disembur kabar tidak enak. Bisa-bisa kopokan[2] telinga saya.”

“Kabar tidak enak bagaimana? Judi? Ini kan sudah ada dari dulu. Balapan sekadar balapan mana seru. Wajar kalau sopir-sopir kilang papan itu pasang taruhan. Oh, saya tahu. Itu karena mereka iri. Ya, ya, pasti begitu. Sampean sekarang kan tinggal duduk santai tiba-tiba dapat uang, benar? Nah, mereka kepengin hidup seperti sampean, tapi sadar kondisi pas-pasan ya mau tidak mau harus banting tulang.”

“Mak betul, mereka iri. Lha wong gelondongan sengon saja jadi bahan rebutan.”

Lihat selengkapnya