Pulang sehabis bekerja sebagai kuli angkut, Kayem akan dongkol. Dan Warsini, istrinya, bisa menebak kelakuan Kayem; lelaki itu menyelonong masuk rumah, menuju dapur dengan tangan berdebu atau bertepung, dan mulai menepuk-nepuk udara. Sehabis itu, pekarangan belakang bakal bising oleh cedokan dan gebyuran air serta bunyi gemeletuk badan Kayem. Wajar, sebab Kayem mandi pukul enam.
Selama suaminya mandi, Warsini beres-beres. Lalat-lalat di meja makan harus segera dibuang. Paling tidak disingkirkan ke lantai, maka Kayem akan tenang dan mau makan. Bahkan dia bisa lupa keluarganya punya sendok dan garpu. Dari telunjuk mengarah ke kelingking lalu balik ke jempol, Kayem suka menjilati sisa-sisa bumbu masakan Warsini. Enak, katanya.
Pernah suatu kali Warsini kelupaan menyingkirkan lalat-lalat itu. Tanpa diduga Warsini, mata Kayem yang sejuk mendadak berubah merah dan nyalang. Keletuk giginya seolah membikin kecil Warsini. Dia dimaki sampai kecut dan tak berani menjawab. Namun Warsini segera melepas kucir rambut, membiarkan mahkotanya terurai di punggung, dan menggandeng Kayem ke kamar. Kayem tidak marah lagi. Tidak bisa.
Atau manakala Warsini sedang bercemar kain, dia cuma bisa duduk diam. Kayem sendirilah yang akan memberesi serangga kotor itu sambil mengaduh. Kalau dia melihat kaki lalat masih bergerak-gerak, Kayem menepuknya hingga matanya yakin serangga kotor itu benar-benar mati. Barangkali sampai penyek, Kayem tak ada soal. Toh bisa cuci tangan lagi, pikirnya. Dan Warsini tidak mau berkomentar. Dia membiarkan suaminya menepuki lalat yang sudah sekarat. Urusan lalat selalu mengherankan dirinya.
“Memang harus begini.” Kayem tiba-tiba berbicara. Barangkali tersindir oleh tatapan Warsini. “Kamu tahu? Lalat adalah serangga bebal. Saking bebalnya, mereka sampai lupa punya otak. Tidak percaya? Kamu tengok serangga ini, tiap hari dibunuh, tapi tak pernah jera masuk rumah kita. Pun sudah tahu ada tudung saji, malah maksa masuk celahnya yang sempit. Aduh, aduh.”
Sesungguhnya rumah kecil Kayem resik. Debu tidak menyempil di kolong ranjang atau di balik lemari. Warsini rajin berbenah. Lantai yang tanah itu pun seolah terbuat dari tegel. Aneh, lalat masih suka datang. Kayem pernah menduga bahwasanya lalat-lalat itu datang dari lantai rumahnya. Namun ketika dia mengunjungi rumah kawan sesama kuli angkut—yang lantainya juga dari tanah—tidak ada lalat berkeliaran. Apalagi sampai mengerubungi tudung saji di dapur. Padahal rumahnya awur-awuran, tidak sedikit pun bisa dianggap bersih. Maka Kayem menduga lagi: lalat-lalat itu berasal dari tetangga sebelah.
“Wong rumah kita sudah rapi, sudah bersih, kok lalat masih sering mampir. Memang sialan tetangga kita. Habis makan akan kulabrak mereka!”
Dan niatan itu lebih sering, bukan, selalu urung. Kayem lemas kekenyangan di kursi. Perut membulat dan secara ajaib menumpulkan emosinya. Kayem minta dibuatkan kopi kemudian dia berjalan dengan menumpukan beban tubuhnya ke telapak tangan kanannya. Dia tertatih-tatih menuju ruang depan. Warsini maklum pula, di meja sudah berjejer lotre yang diurutkan dari nomor terkecil.
“Mas beli lotre lagi?” tanya Warsini ketika disadarinya lotre Kayem bertambah dua.